“Beres Pak. Saya tunggu transfer sisanya,” Ferliana berkata dengan senyum terkembang. Ia mengayunkan sebelah kaki yang ditumpangkan.
‘Tidak secepat itu. Tugasnya belum selesai,’ ujar orang di seberang telepon.
Ferliana mengerucutkan bibirnya. “Itu hanya tinggal nunggu beberapa menit saja, Pak. Yang utama, dia sudah berhasil menyingkirkan penjaga yang menempel pada CEO itu.”
Terdengar kekehan di sana. ‘Kita belum tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Tidak boleh sampai mereka curiga sedikitpun. Begitu salah satu pengawalnya tahu ada yang tidak beres, semua akan kacau dan rencana kita sia-sia.’
Ferliana mengembuskan napas dengan kesal. Ia telah membayangkan uang puluhan juta yang akan masuk ke rekeningnya, begitu mengetahui kawannya berhasil melaksanakan rencana mereka.
Namun tak peduli seberapa kesalnya Ferliana, ia menahannya.
Meskipun ia tidak tahu seberapa banyak uang yang
Shanti nyaris terlonjak dari tempat duduknya. Ia menatap tak percaya ke layar ponsel. Tangannya sedikit terasa dingin saat ia menggulir ke samping dan melihat beberapa gambar lainnya. “Ya Tuhan..” Shanti menutup mulut dengan sebelah tangan. Tanpa mengindahkan adonan kue yang tadi sempat membuatnya berkutat sekian jam, ia berbalik dan mematikan tombol oven. Bahkan tanpa mencuci tangan, ia menyambar kunci motor sambil menekan satu kontak. “Come on… angkat…” gumamnya gelisah. “Run! Lu di mana?!” ‘Apaan sih Shan, kok teriak-teriak?’ Jawaban di seberang telepon terdengar memprotes Shanti. “Lu dimanaa??” ‘Di rumah. Ada apa?’ “Temuin gue di Resort Triserra! Sekarang” sahut Shanti cepat. ‘Tapi gue--’ “Runa, please! Genting! Gue tunggu di Resort Triserra, sekarang!” Shanti mematikan sambungan sebelum Aruna sempat menanggapi. Dengan gerakan serba cepat Shanti memasukkan ponselnya ke saku celana, dan setengah berlari keluar dari rumah menuju motornya yang diparkir di halaman depan.
Siang menjelang sore itu langit masih terik. Di luar, panas matahari yang bergeser ke Barat begitu menggigit, tanpa pilih kasih dan tanpa peduli. Aruna menggigil, dadanya terpecut serta tercabik bersamaan. Rasa dingin yang membekukan telah menyerang sekujur tubuhnya sejak ia membuka pintu ruang VIP itu. Di atas karpet tebal dalam ruangan, tercecer jas, kemeja, dan celana panjang. Bercampur dengan helaian dress seragam berwarna hitam putih serta bra dan celana dalam berwarna hitam. Ketika manik kecoklatan Aruna merangkak naik, di atas sofa panjang itu, Brahmana dalam keadaan tidur dan dipeluk seorang wanita tanpa busana. Satu helai kain linen menjadi penutup tubuh bawah mereka berdua, sementara dada telanjang Brahmana dan juga dada wanita itu terlihat saling menempel. Tangan Aruna gemetar dengan rasa sesak luar biasa dan rasa dingin yang menjalari tulang belakang hingga terasa melumpuhkannya seketika. Nyawanya serasa melayang namun dengan netra terikat pada sofa panjang tersebut.
Fathan tertegun di ambang pintu untuk beberapa saat.Sapaan hormat dari tiga bodyguard Brahmana yang berjaga di depan pintu, tidak ia hiraukan.“Ada apa ini?” tanya Fathan begitu ia masuk ke dalam.Dapat dilihat olehnya, Brahmana baru selesai dipakaikan celana panjang oleh ketua tim bodyguard, sementara di satu sudut sana, meringkuk seorang wanita berpakaian pelayan dengan kedua tangan dan kaki diikat kain linen yang telah disobek.“Lepaskan aku! Aku tidak salah! Aku hanya melayani permintaan tamu!” seru wanita pelayan itu tatkala melihat tatapan Fathan mengarah padanya.Dari sikap bodyguard dan juga penampilannya, ia yakin pria berkacamata itu adalah orang kepercayaan sang CEO. Karena itulah dia berteriak-teriak meminta agar dirinya dilepaskan.Melihat kekacauan ini, Fathan langsung berujar dingin, “Berisik sekali. Pindahkan dia ke tempat lain. Jangan dilepaskan sampai jelas apa yang terjadi.”Body
“Apa yang terjadi?!” Brahmana turun dari mobil dan melangkah cepat mendekati Ningsih. Tatapannya beredar pada delapan penjaga khusus Aruna yang semuanya dalam posisi menunduk dan wajah penuh penyesalan dan rasa bersalah yang lekat. Terdapat luka-luka di sekujur tubuh juga wajah mereka. Brahmana dan Fathan serta tim pengaman Brahmana baru tiba di satu ruas jalan tol dengan pemandangan yang sama sekali tidak terbayangkan oleh Brahmana. Dua mobil tim pengawal Aruna nyaris hancur dengan satu mobil bahkan berposisi terbalik. Mobil patroli juga telah berada di sana, namun mereka tidak berani mendekat begitu Brahmana tiba di tempat. “Apa yang terjadi?!!” Suara menggelegar Brahmana membangunkan Ningsih dari kegugupannya. Kedua tangannya telah mengepal dengan gemetar dan menatap liar pada Ningsih yang dianggapnya lambat menjawab. “Saya mengikuti Nyonya. Nyonya menggunakan mobil hadiah dari Tuan. Tapi saat di simpang menuju tugu, mobil Nyonya berbelok dan masuk ke tol. Kami mengejarnya mas
“Kita akan menemukan Nyonya Muda,” Fathan berkata pelan, di samping Brahmana yang terlihat tegang dan pucat.Pria tampan CEO Dananjaya Group itu kini duduk, setelah sejam sebelumnya berdiri dan terus mengawasi tim IT yang tengah melakukan pengecekan dan peretasan terhadap kamera-kamera pengawas.Kedua netra Brahmana terpaku pada monitor lebar dan besar di depannya yang menampilkan cuplikan kondisi jalan.Seorang ketua tim IT mendekati Brahmana dengan tegang. “Beberapa kamera di pintu keluar tol rusak setengah jam sebelum kejadian, kami tidak bisa menemukan apa-apa di ruas jalan tersebut. Kami--” kalimatnya terhenti, begitu Brahmana menoleh padanya dengan tatapan yang dingin dan menusuk.“Kami akan berusaha mencari cara untuk mengetahuinya,” ujar ketua tim IT itu cepat. Ia segera berbalik dan kembali memberikan perintah kepada anggota tim-nya.CEO Dananjaya Group terlihat memejamkan matanya sambil bergumam d
Brak!!Suara hantaman tangan ke meja di sisi brankar, bergema dengan kencang. “Apa maksud kalian dengan mereka sudah tidak ada?!”Dua orang yang berjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina memucat. Punggung serta telapak tangan mereka telah basah oleh peluh yang mengucur deras.“Ma-maafkan kami Tuan. Kami baru menyadarinya tadi pagi. Tapi kami masih mencoba mencari hingga siang ini kami masih belum menemukannya.”Brahmana mengusap wajahnya dengan kasar. Kenyataan dan laporan yang ia hadapi saat ini, sama sekali tidak ia harapkan akan terjadi.Ia bergegas ke Rumah Sakit tempat Katrina dirawat, untuk langsung menemui Elya.Meskipun ia sempat merasa khawatir Elya melarikan diri, ia tidak benar-benar khawatir akan hal itu, Ia telah menempatkan dua penjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina, tentu saja kedua wanita itu tidak akan bisa pergi kemana pun, bukan?Terutama lagi, Katrina masih membutuhkan perawat
“Kalian siapa?! Hey!! Lepaskan kami!!” Shanti berseru marah saat sekelompok orang membawa dirinya dan juga Aruna keluar dari kontainer dan memindahkan mereka ke dalam mobil van berwarna hitam.“Hey!!”Sementara Shanti terus meronta dan berusaha melepaskan diri, Aruna memperhatikan sekeliling dengan cepat.Dugaannya benar, mereka berada di pelabuhan, tapi jelas terlihat, ini bukan pelabuhan besar. Terlalu sepi.Ia hanya melihat dermaga dengan beberapa kran atau derek untuk mengangkut barang. Dan di ujung sana ia juga bisa melihat gudang tempat penyimpanan, namun bukan dalam skala besar.Ini lebih seperti pelabuhan transit.Tapi yang tidak dimengerti Aruna adalah, ia semula berpikir berada di kapal kargo besar yang memang membawa kontainer. Nyatanya, mereka keluar dari kontainer yang sudah berada di atas dermaga. Ia tidak melihat satu pun kapal laut atau bahkan kapal ferry berlabuh di sana.Ar
Erwin terpaku di tempat, nyaris tidak percaya, satu sosok yang begitu dihormati dan disegani di negeri ini, ada di ruang tamunya.Dengan seorang asisten yang berdiri di samping, dan beberapa pengawal di teras, sosok agung Dananjaya memang langsung memberikan kesan kuat dan dominan.“Pak Dananjaya… Anda… Anda--?” Erwin melangkah mendekati tamu agung itu.“Ya, Saya datang ke sini, Pak Erwin,” penggal Dananjaya Tua berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Erwin.Erwin menyambut uluran tangan itu dengan sedikit kikuk, lalu mengangguk tersenyum. Dengan benak yang masih terkejut dan pikiran yang bertanya-tanya, ia pun mengambil tempat dan duduk berseberangan dengan Dananjaya Tua.“Pak Erwin pasti terkejut dengan kedatangan saya ke sini,” Dananjaya Tua membuka percakapan mereka.Erwin mengangguk. Ia tidak menutupinya. “Ya. Saya memang terkejut, Pak.”Dananjaya berdeham. “Saya minta maaf baru bertandang sekarang, semenjak kita berbesan.”“Tidak, Pak. Saya yang minta