“Ya Pak. Saya sudah melakukannya.” Ferliana berdiri dan menjauh sesaat dari sekumpulan wanita berpakaian seronok dan minim.
Suara gelak tawa dan kata-kata kotor yang mewarnai pembicaraan mereka menjauh, tatkala Ferliana menekan ponsel ke telinganya.
“Baik Pak.” Ferliana mengangguk setelah terlihat menyimak sesaat. “Ya Pak. Baik.”
Wanita muda itu kemudian menutup telepon dan memandangi ponselnya, seolah menantikan sesuatu.
Ding.
Suara notifikasi itu muncul dan dengan cepat Ferliana membukanya.
Bibir berlapis gincu merah cabe itu kemudian tersenyum lebar penuh kepuasan melihat layar yang menampilkan deretan angka dari satu aplikasi mobile-banking.
Setelah puas memandanginya, ia pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas selempang yang menggantung di bahu kirinya.
“Hey Girls!! Kita pesta!” seru Ferliana ketika berbalik kembali ke kumpulan wanita berpakaian minim itu.
Sorak sorai d
“Apa?” Brahmana mengerutkan kening, hingga alisnya menukik turun. “Belum keluar untuk makan dari pagi?” Ningsih mengangguk gugup. Brahmana tidak mengeluarkan suara keras, namun tekanan dalam nadanya cukup membuat telapak tangan Ningsih berkeringat. Suami Aruna itu melirik arloji di tangannya dan seketika kemuraman menerpa raut wajah tampannya. Ia baru saja selesai dengan urusannya di kantor dan tiba sekitar jam delapan malam. Mengetahui Aruna belum makan sejak pagi, tentunya bukanlah berita yang ingin ia dengar ketika tiba di kediamannya. Dengan langkah gusar, Brahmana menghampiri pintu kamar Aruna dan mengetuk cepat. “Runa…” Tidak ada jawaban, Brahmana kembali memanggil dan mengetuk pintu lebih keras. “Runa!” Merasa tindakan itu membuang-buang waktunya, ia berbalik pada Ningsih dan memberi perintah. “Ke bu Ima mintakan kunci cadangan.” Ningsih mengangguk patuh dan bergegas melakukan perintah tersebut. Tak lama, ia kembali dan menyerahkan apa yang diminta Brahmana. Brahmana l
“Kau…” Tatapan kompleks Aruna menghunus pada sang suami. “Kau menyuruh orang meneror Mike?” “Aku.. apa?” Manik kecokelatan Aruna menatap penuh rasa ketidakpercayaan. “Kau menyuruh orang mengikuti Mike?” ulangnya. “Itu--” “Jawab aku. Kau melakukannya? Menyuruh orang untuk mengikuti Mike di sana?” Brahmana mengembus pelan, tanpa mengangguk, ia menjawab, “Ya. Aku menyuruh orang mengikutinya.” Aruna menggeleng pelan. Ia bangun untuk duduk, dari posisi berbaringnya. Aruna bahkan menepis tangan Brahmana yang hendak membantu dirinya. “Kau sungguh tega, Agha. Seolah belum cukup kau memukulinya hingga dia babak belur begitu, lalu kini kau menyuruh orang untuk meneror dirinya?” “Bagaimana dia bisa babak belur, sementara aku hanya memukulnya dua kali?” Brahmana mengernyitkan kening. “Dua kali? Kau yakin hanya dua kali? Bagaimana orang yang marah bisa mengontrol dirinya dan sadar apa yang dilakukan?” “Tapi aku benar-benar hanya memukulnya dua kali, saat itu--” “Jadi maksudmu dia hendak
Fathan tengah membaca beberapa email masuk, tatkala ponselnya berbunyi. Ia melirik dan mendapati nama Shanti sebagai penelepon. Seperti biasa --entah Shanti menyadarinya atau tidak, Fathan tidak pernah membiarkan lebih dari tiga dering untuk menjawab panggilan dari sahabat Aruna itu. ‘Mas, maaf ganggu sebentar,’ buka Shanti begitu Fathan terhubung dengannya. “Ada apa?” Suara datar Fathan menjawab. Jarinya kembali mengetik untuk membalas satu email masuk. ‘Boleh… tau jadwal pak CEO kemarin?’ Jari Fathan di papan tombol terhenti sesaat. Meskipun ia tidak segera menjawab, tapi ia bertanya balik, “Ada apa memang?” ‘Mereka sedang ribut ya?’ tanya Shanti pelan. Fathan kembali mengetik. “Saya tidak terlalu tahu urusan pribadi mereka. Tapi..” Ia kemudian melirik ke arah pintu ruang CEO di sebelah kanan tempat ia berada. “Memang mood pak Bos terlihat tidak terlalu baik beberapa hari ini.” ‘Oh…’ Sambil terus mengetik, Fathan menunggu Shanti mengungkapkan tujuan sesungguhnya menelepon di
‘Pelayan,’ Brahmana berujar dalam hati. Sosok yang muncul tersebut adalah seorang wanita dengan seragam pelayan. Wanita itu membawa daftar menu dan nampan berisi satu gelas berisi cairan berwarna bening dengan hiasan irisan lemon di pinggir gelas. Wanita pelayan itu menghampiri meja Brahmana dengan sangat sopan. “Silakan Pak, ini welcome drink untuk Bapak dan ini daftar menunya,” kata pelayan itu dengan sangat hormat, setelah meletakkan gelas dan juga buku menu di atas meja. Ia lalu mundur dan berdiri tidak terlalu jauh dari Brahmana, dengan sikap pelayan yang sempurna, menanti tamu membaca daftar menu dan memesannya. “Saya tidak akan memesan makanan, saya--” Ucapan Brahmana terhenti tatkala melihat satu tulisan yang menempel di dalam buku menu. [Ada alat perekam dan penyadap di sini. Tolong bantu saya untuk tidak mengeskpos keberadaan saya. Nyawa saya taruhannya. Kita bicara setelah berpindah ke tempat yang aman sekitar sini. Mohon ikuti petunjuk saya dan pesanlah menu seperti t
“Beres Pak. Saya tunggu transfer sisanya,” Ferliana berkata dengan senyum terkembang. Ia mengayunkan sebelah kaki yang ditumpangkan.‘Tidak secepat itu. Tugasnya belum selesai,’ ujar orang di seberang telepon.Ferliana mengerucutkan bibirnya. “Itu hanya tinggal nunggu beberapa menit saja, Pak. Yang utama, dia sudah berhasil menyingkirkan penjaga yang menempel pada CEO itu.”Terdengar kekehan di sana. ‘Kita belum tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Tidak boleh sampai mereka curiga sedikitpun. Begitu salah satu pengawalnya tahu ada yang tidak beres, semua akan kacau dan rencana kita sia-sia.’Ferliana mengembuskan napas dengan kesal. Ia telah membayangkan uang puluhan juta yang akan masuk ke rekeningnya, begitu mengetahui kawannya berhasil melaksanakan rencana mereka.Namun tak peduli seberapa kesalnya Ferliana, ia menahannya.Meskipun ia tidak tahu seberapa banyak uang yang
Shanti nyaris terlonjak dari tempat duduknya. Ia menatap tak percaya ke layar ponsel. Tangannya sedikit terasa dingin saat ia menggulir ke samping dan melihat beberapa gambar lainnya. “Ya Tuhan..” Shanti menutup mulut dengan sebelah tangan. Tanpa mengindahkan adonan kue yang tadi sempat membuatnya berkutat sekian jam, ia berbalik dan mematikan tombol oven. Bahkan tanpa mencuci tangan, ia menyambar kunci motor sambil menekan satu kontak. “Come on… angkat…” gumamnya gelisah. “Run! Lu di mana?!” ‘Apaan sih Shan, kok teriak-teriak?’ Jawaban di seberang telepon terdengar memprotes Shanti. “Lu dimanaa??” ‘Di rumah. Ada apa?’ “Temuin gue di Resort Triserra! Sekarang” sahut Shanti cepat. ‘Tapi gue--’ “Runa, please! Genting! Gue tunggu di Resort Triserra, sekarang!” Shanti mematikan sambungan sebelum Aruna sempat menanggapi. Dengan gerakan serba cepat Shanti memasukkan ponselnya ke saku celana, dan setengah berlari keluar dari rumah menuju motornya yang diparkir di halaman depan.
Siang menjelang sore itu langit masih terik. Di luar, panas matahari yang bergeser ke Barat begitu menggigit, tanpa pilih kasih dan tanpa peduli. Aruna menggigil, dadanya terpecut serta tercabik bersamaan. Rasa dingin yang membekukan telah menyerang sekujur tubuhnya sejak ia membuka pintu ruang VIP itu. Di atas karpet tebal dalam ruangan, tercecer jas, kemeja, dan celana panjang. Bercampur dengan helaian dress seragam berwarna hitam putih serta bra dan celana dalam berwarna hitam. Ketika manik kecoklatan Aruna merangkak naik, di atas sofa panjang itu, Brahmana dalam keadaan tidur dan dipeluk seorang wanita tanpa busana. Satu helai kain linen menjadi penutup tubuh bawah mereka berdua, sementara dada telanjang Brahmana dan juga dada wanita itu terlihat saling menempel. Tangan Aruna gemetar dengan rasa sesak luar biasa dan rasa dingin yang menjalari tulang belakang hingga terasa melumpuhkannya seketika. Nyawanya serasa melayang namun dengan netra terikat pada sofa panjang tersebut.
Fathan tertegun di ambang pintu untuk beberapa saat.Sapaan hormat dari tiga bodyguard Brahmana yang berjaga di depan pintu, tidak ia hiraukan.“Ada apa ini?” tanya Fathan begitu ia masuk ke dalam.Dapat dilihat olehnya, Brahmana baru selesai dipakaikan celana panjang oleh ketua tim bodyguard, sementara di satu sudut sana, meringkuk seorang wanita berpakaian pelayan dengan kedua tangan dan kaki diikat kain linen yang telah disobek.“Lepaskan aku! Aku tidak salah! Aku hanya melayani permintaan tamu!” seru wanita pelayan itu tatkala melihat tatapan Fathan mengarah padanya.Dari sikap bodyguard dan juga penampilannya, ia yakin pria berkacamata itu adalah orang kepercayaan sang CEO. Karena itulah dia berteriak-teriak meminta agar dirinya dilepaskan.Melihat kekacauan ini, Fathan langsung berujar dingin, “Berisik sekali. Pindahkan dia ke tempat lain. Jangan dilepaskan sampai jelas apa yang terjadi.”Body
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m