“Semuanya telah siap, Tuan.” Fathan memberitahukan persiapan Dananjaya Group hari ini dalam menerima kunjungan dari kementerian perindustrian.
Brahmana terlihat mengangguk kecil dengan mata tetap fokus pada beberapa dokumen yang tengah ia periksa.
Ia lalu menarik satu berkas ke sisi dan berkata pada Fathan, “Berikan ini ke departemen legal. Sore ini sudah harus ada di meja saya lagi.”
“Baik Tuan.”
Setelah beberapa instruksi lagi dari Brahmana, Fathan keluar ruangan, meninggalkan Brahmana yang kemudian termenung memandang satu berkas di atas meja.
Fathan menyerahkan berkas itu sebelum keluar ruangan.
Tentang Michael Moore.
“Orang ini seperti niat sekali menyembunyikan asal dana yang ia donasikan untuk organisasi amal.” Brahmana nyaris bergumam.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa tidak ditemukan rekening atas nama Michael Moore dalam transaksi tidak wajar atau transaksi jumlah besar.
“Ah, terima kasih,” ucap Mike saat Ningsih meletakkan secangkir teh melati di atas meja.Ningsih tersipu, menerima senyuman manis yang dilempar Mike kepadanya. Aruna yang melihat reaksi bodyguard-nya itu terkekeh geli.Sungguh, siapa akan mengira, Ningsih yang berperilaku imut dan malu-malu itu sesungguhnya sangat garang saat berkelahi.Aruna tidak mengatakan apa-apa pada Mike mengenai jati diri Ningsih, sehingga Mike mengira Ningsih ‘hanyalah’ seorang asisten pribadi Aruna, seperti kebanyakan orang mengira.“Cobalah,” kata Aruna pada Mike dengan menunjuk teh melati itu.Tanpa ragu dan sungkan, Mike mengulur tangan untuk mengambil cangkir itu dari atas meja. Dengan gerakan hati-hati ia mendekatkan bibir cangkir dan menghirup uap panas yang mengepul di sana.“Ini wangi…” gumam Mike tersenyum. Tak kalah hati-hati pula, ia kemudian mencoba menyeruput sedikit teh itu.“Hati-hati
“Ya Tuan, Saya bersama Nyonya Muda. Nyonya bertemu teman-temannya. Nona Shanti dan Nona Jasmine.” Ningsih melirik Aruna yang kini duduk bersama Shanti dan Jasmine dengan ponsel menempel di telinganya. “Ya Tuan, Saya mengerti.”Tubuh Ningsih yang tegang lalu melemas, saat sambungan telepon itu usai.Sangat jarang Bos Besar sendiri yang menelepon dirinya secara langsung. Biasanya itu dilakukan oleh Fathan, atas perintah CEO Dananjaya Group itu.Namun Ningsih mengerti situasinya tengah tidak terlalu baik.Wajahnya menjadi muram dengan tatapan lekat kepada majikannya itu.Aruna biasanya terlihat begitu riang dan ceria, namun saat ini ia melihat Nyonya Muda Dananjaya itu berwajah sendu dan terlihat tidak begitu menikmati pembicaraannya dengan para sahabatnya, Shanti dan Jasmine.Selepas pergi dari kantor dengan gusar tadi, Aruna tidak langsung pulang ke rumah. Alih-alih, ia menelepon kedua temannya itu dan mengajak mereka
“Iya, iya!” Aruna menyerah mendengarkan celoteh Shanti, lalu mengalihkan dengan tepat. “Gimana perkembangan kamu ama mas Fathan?”Shanti langsung menutup mulut.“Kenapa malah jadi kesana sih!” sungutnya tetiba kesal.“Ya kan bahasan soal suami gue, dah kelar. Gue dah nangkap maksud kamu dan gue tau gue harus jaga suami gue baik-baik,” kata Aruna. “Tinggal kamu Shan. Kapan mau ada kemajuan kalo kamu terus gengsian kaya gini?”“Gengsi apaa, ah.”“Nih, gue balikin ya, kata-katamu barusan. Laki model mas Fathan juga langka lho.”Shanti mencebik. “Langka apaan. Ada juga landak. Durinya itu nancep, ga liat situasi, nyakitin orang mulu.”Mendengar itu, Aruna terkekeh. “Kamu gak nyadar? Mas Fathan ama Agha tuh nyaris sebelas dua belas.”Shanti memutar bola matanya. “Mana ada.”“Mereka sama-sama profesiona
“Agha!!” Aruna berusaha menggapai lengan Brahmana untuk menghentikan tangan kokoh itu yang akan melayangkan tinjunya lagi. “Hentikan!” Pekikan Aruna itu memang menghentikan Brahmana, hingga tangannya menggantung di udara. “Apa yang kau lakukan?!” Aruna menggeser tubuh hingga berdiri berhadapan dengan Brahmana. Brahmana mengerutkan kening. Posisi ini menunjukkan seolah Aruna tengah melindungi pria bule itu. “Minggirlah, Runa.” Suara dalam itu terdengar serak dan bermuatan amarah yang ditekan. “Mengapa kau langsung memukulnya? Mike gak salah apa-apa, Agha.” “Runa.” “Hey Bro, calm down! Apa kau gak malu main kasar seperti ini?” Brahmana menatap lurus Mike melalui bahu Aruna. Amarah yang tersembunyi di balik tatapan tenangnya membuat suami Aruna itu justru tampak lebih mengerikan. Ningsih yang berdiri tak jauh dari ketiga orang itu, terpancang di tempat tanpa berani berkata apalagi bergerak. “Bawa istri saya keluar dari sini,” perintah Brahmana pada Ningsih. “Agha--” “Cepat!”
“Ya Pak. Saya sudah melakukannya.” Ferliana berdiri dan menjauh sesaat dari sekumpulan wanita berpakaian seronok dan minim.Suara gelak tawa dan kata-kata kotor yang mewarnai pembicaraan mereka menjauh, tatkala Ferliana menekan ponsel ke telinganya.“Baik Pak.” Ferliana mengangguk setelah terlihat menyimak sesaat. “Ya Pak. Baik.”Wanita muda itu kemudian menutup telepon dan memandangi ponselnya, seolah menantikan sesuatu.Ding.Suara notifikasi itu muncul dan dengan cepat Ferliana membukanya.Bibir berlapis gincu merah cabe itu kemudian tersenyum lebar penuh kepuasan melihat layar yang menampilkan deretan angka dari satu aplikasi mobile-banking.Setelah puas memandanginya, ia pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas selempang yang menggantung di bahu kirinya.“Hey Girls!! Kita pesta!” seru Ferliana ketika berbalik kembali ke kumpulan wanita berpakaian minim itu.Sorak sorai d
“Apa?” Brahmana mengerutkan kening, hingga alisnya menukik turun. “Belum keluar untuk makan dari pagi?” Ningsih mengangguk gugup. Brahmana tidak mengeluarkan suara keras, namun tekanan dalam nadanya cukup membuat telapak tangan Ningsih berkeringat. Suami Aruna itu melirik arloji di tangannya dan seketika kemuraman menerpa raut wajah tampannya. Ia baru saja selesai dengan urusannya di kantor dan tiba sekitar jam delapan malam. Mengetahui Aruna belum makan sejak pagi, tentunya bukanlah berita yang ingin ia dengar ketika tiba di kediamannya. Dengan langkah gusar, Brahmana menghampiri pintu kamar Aruna dan mengetuk cepat. “Runa…” Tidak ada jawaban, Brahmana kembali memanggil dan mengetuk pintu lebih keras. “Runa!” Merasa tindakan itu membuang-buang waktunya, ia berbalik pada Ningsih dan memberi perintah. “Ke bu Ima mintakan kunci cadangan.” Ningsih mengangguk patuh dan bergegas melakukan perintah tersebut. Tak lama, ia kembali dan menyerahkan apa yang diminta Brahmana. Brahmana l
“Kau…” Tatapan kompleks Aruna menghunus pada sang suami. “Kau menyuruh orang meneror Mike?” “Aku.. apa?” Manik kecokelatan Aruna menatap penuh rasa ketidakpercayaan. “Kau menyuruh orang mengikuti Mike?” ulangnya. “Itu--” “Jawab aku. Kau melakukannya? Menyuruh orang untuk mengikuti Mike di sana?” Brahmana mengembus pelan, tanpa mengangguk, ia menjawab, “Ya. Aku menyuruh orang mengikutinya.” Aruna menggeleng pelan. Ia bangun untuk duduk, dari posisi berbaringnya. Aruna bahkan menepis tangan Brahmana yang hendak membantu dirinya. “Kau sungguh tega, Agha. Seolah belum cukup kau memukulinya hingga dia babak belur begitu, lalu kini kau menyuruh orang untuk meneror dirinya?” “Bagaimana dia bisa babak belur, sementara aku hanya memukulnya dua kali?” Brahmana mengernyitkan kening. “Dua kali? Kau yakin hanya dua kali? Bagaimana orang yang marah bisa mengontrol dirinya dan sadar apa yang dilakukan?” “Tapi aku benar-benar hanya memukulnya dua kali, saat itu--” “Jadi maksudmu dia hendak
Fathan tengah membaca beberapa email masuk, tatkala ponselnya berbunyi. Ia melirik dan mendapati nama Shanti sebagai penelepon. Seperti biasa --entah Shanti menyadarinya atau tidak, Fathan tidak pernah membiarkan lebih dari tiga dering untuk menjawab panggilan dari sahabat Aruna itu. ‘Mas, maaf ganggu sebentar,’ buka Shanti begitu Fathan terhubung dengannya. “Ada apa?” Suara datar Fathan menjawab. Jarinya kembali mengetik untuk membalas satu email masuk. ‘Boleh… tau jadwal pak CEO kemarin?’ Jari Fathan di papan tombol terhenti sesaat. Meskipun ia tidak segera menjawab, tapi ia bertanya balik, “Ada apa memang?” ‘Mereka sedang ribut ya?’ tanya Shanti pelan. Fathan kembali mengetik. “Saya tidak terlalu tahu urusan pribadi mereka. Tapi..” Ia kemudian melirik ke arah pintu ruang CEO di sebelah kanan tempat ia berada. “Memang mood pak Bos terlihat tidak terlalu baik beberapa hari ini.” ‘Oh…’ Sambil terus mengetik, Fathan menunggu Shanti mengungkapkan tujuan sesungguhnya menelepon di