Haiii GoodReaders!! Hari ini bonus jadi 3 bab ya. Apakah ada yang ingin kalian sampaikan pada Brahmana atau Aruna? Berikan komen kalian di kolom komentar yaa. Bantu author juga untuk menyalakan bintang 5 di bagian cover depan. Thank Youuu... See U tomorrow.
Pria bertubuh tinggi itu membuang jas miliknya ke atas sofa dan melangkah cepat menghampiri Aruna yang terpaku di depan pintu ruangan.Kini pria itu menjulang tepat di hadapan Aruna, dengan sebelah tangan mengayun mendorong pintu di belakang Aruna, hingga tertutup rapat.“Katakan ini benar-benar dirimu.” Suara Brahmana --pria itu-- terdengar serak.Ia bergerak maju hingga membuat Aruna ikut mundur lalu sempurna terjebak di antara dinding sisi pintu juga lengan kokoh Brahmana.Napas pria tampan itu terdengar memburu dengan embusan pendek. Netra kelamnya mengunci manik kecoklatan wanita yang kini tersudut olehnya itu.Ia sungguh tersiksa sepanjang presentasi tadi. Hanya mampu menatap Aruna dan menahan diri membiarkan Aruna menyelesaikan presentasinya pada para klien Niskala.Ia jelas tidak ingin mengacaukan apapun yang sedang dikerjakan oleh wanita yang dicintainya itu.“Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membuatm
Di ruang CEO, gedung Dananjaya Group. Brahmana dengan cepat membaca berkas pegawai milik Niskala, yang baru saja diserahkan Fathan padanya. “Aruna Maheswari, MS.” Brahmana terjeda. “Master of Science?” Matanya lalu merangkak turun melihat keterangan di kolom histori pendidikan. “Dia.. mengambil pascasarjana di Massachusetts Institute of Technology?” “Itu universitas teknologi paling top dan bergengsi di dunia, Tuan,” cetus Fathan yang mendengar gumaman Brahmana. “Saya tahu!” sentak Brahmana merasa terganggu. Tentu saja, Fathan langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Jadi selama ini… Aruna ada di kota Cambridge, Amerika?” desah Brahmana tanpa daya. Matanya mengerjap beberapa kali --untuk mencerna informasi, yang perlahan mengurai benang kusut yang selama ini menghantui dirinya. “Apa yang terjadi.. bagaimana bisa Aruna berada dan tinggal di sana--” Brahmana terhenti. “Apakah…” Pria tampan itu langsung mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi satu nomor kontak. “Kakek,” s
Wanita muda yang telah menjadi manajer di Niskala itu terpaku sesaat. Dengan mengeratkan genggaman pada satchel bag miliknya, ia melangkah anggun mendekati mobil sedan putih mengilat yang terparkir di basement khusus tingkat manajer ke atas. Seorang pria bertubuh tinggi atletis, tengah bersandar di pintu mobil sedan putih miliknya itu dengan tangan terlipat di dada, menonjolkan garis urat maskulin di sepanjang lengan yang terbuka, karena lengan kemeja yang telah tergulung hingga siku. “Sudah pulang, Sayang?” sapa pria itu dengan suara dalamnya yang sensual. “Kenapa kau ke sini?” Aruna menatap Brahmana, pria yang menghalangi dirinya dari pintu kemudi mobil. “Kebetulan lewat,” ujar pria itu asal. “Aku kan sudah bilang, aku minta--” “Aku tahu,” potong Brahmana cepat. “Kau minta agar aku tidak mengganggumu sampai akhir bulan ini, kan?” “Bagus kalau kau ingat. Baru siang tadi aku mengatakannya.” “Tapi apa kau lupa? Aku pemilik gedung ini. Aku hanya kebetulan lewat dan ingin memanta
“Kenapa baru bilang sekarang, Mas?!” Shanti menatap sewot pada Fathan yang tengah duduk menyandar dengan santai di kursi ruang tamu rumah Shanti. “Saya langsung tidak punya waktu setelah itu,” Fathan menjawab sambil menaikkan bahu. “Kamu bisa bayangin kan, reaksi Bos setelah melihat Aruna ada di depan matanya. Saya harus langsung mencari tahu semua tentang sahabatmu itu.” Shanti mengembus napas kesal. “Iya sih. Tapi setidaknya kabarin gue!” decaknya dongkol. “Situasi masih terlalu mengagetkan tadi siang. Saya sendiri masih shock dan sempet kaya orang linglung beberapa saat.” Shanti terdiam, dengan dahi berkerut. “Dan setelah bertahun-tahun kagak bertemu, trus Bos Mas Fathan malah mau kencan buta? Malam ini? Dia gila!” umpatnya. Bahu Fathan naik sekilas. “Itu perintah Tuan Besar. Pak Bos tidak bisa menghindarinya lagi.” “Tapi kan--” “Daripada nanti pak Bos memancing kemarahan Tuan Besar dan memisahkan mereka lagi? Apa boleh buat..” “Tapi--” “Lagipula Runa sendiri meminta pak Bo
“Hah! Anak Nakal itu memutus telepon ku begitu saja! Dasar tidak sopan!” gerutu Dananjaya sambil menatap ponselnya dengan kesal. Nuh mendekat dan mengambil ponsel itu dari Dananjaya. “Kalau saja Anak Keras Kepala itu memenuhi kencan buta yang aku atur, Aruna sudah lama ku suruh pulang!” dengkusnya lagi masih dengan sisa kesal. “Tuan Muda seorang yang setia, sama seperti Anda, Tuan Besar,” cetus Nuh tersenyum kecil. Kalimat itu membuat Dananjaya terdiam sejenak lalu mengembus napas pelan. “Mungkin kau benar.” “Dia memang benar-benar keturunan ku. Pemilik darah Dananjaya sejati,” imbuhnya terselip nada bangga. “Anda memang seorang penyayang dan selalu memikirkan kebaikan untuk keluarga.” Nuh mengucapkan dengan sungguh-sungguh, membuat Dananjaya mendesah samar. Netra tua itu mengerjap. Lalu ingatannya melayang pada percakapan dengan wanita pengasuh Maira, dua setengah tahun lalu. “Aku minta kamu pergi jauh dari sini.” Dananjaya berkata tegas dengan tatapan lurus pada Aruna yang b
Tanpa berkedip, Brahmana menatap makhluk menawan yang duduk di hadapannya.“Apakah… Anda kecewa?” Wanita muda itu menatap balik Brahmana penuh arti.Bibir penuh dan sensual milik Brahmana terkatup. Iris matanya bergetar tanpa kelopak yang bersedia menutup sklera putih cemerlang yang berbinar itu.“Kenapa diam?”Sungguh, demi apapun.Suara yang keluar dari bibir madu berpulas lipstik warna coral itu bagaikan senandung yang berdenting indah di lorong pendengaran Brahmana. Ia ingin berlama-lama mendengar nada merdu yang terlahir dari dua kata singkat itu.“Agha… kau membuatku takut…” Kali ini wanita muda itu berkata lirih.Tanpa menjawab, Brahmana mengulurkan tangan melintasi dua gelas kaki di antara mereka dan meraih tangan wanita muda itu yang terlipat di atas meja.“Aku hanya--” Brahmana menatap kian lekat dengan jemari yang mengisi semua celah k
“Mengapa kau diam saja? Ayo turun.” Aruna mengerutkan dahi ketika melihat Brahmana masih diam di balik kemudi dengan wajah gugup dan tegang. Mereka telah satu menit lebih berdiam di dalam sedan mewah milik Brahmana yang berhenti di depan sebuah rumah minimalis moderen. “Ini tempat tinggalmu?” tanya Brahmana tanpa mengalihkan pandangannya pada rumah yang terbangun indah di atas tanah seluas dua ratus delapan puluh meter itu. “Kau sudah menanyakan itu dua kali, Agha. Iya, itu tempat tinggalku dan ayah, dan kita sudah sampai. Rumah yang kau tahu dari Fathan, itu rumah pemberian dari Tuan Besar.” “Kenapa tidak kau tinggali saja rumah pemberian kakek itu?” “Kan tadi juga sudah kujawab, Agha. Karena aku lebih suka tinggal di tempat yang merupakan hasilku sendiri.” Terjadi jeda beberapa detik. Namun tanpa memalingkan tatapan, Brahmana melemparkan pertanyaan lain. “Apa.. sebaiknya kita berputar dulu? Untuk membeli buah tangan untuk ayah.” “Buah tangan?” Kening Aruna kian berkerut. “Ya
Aruna mendekat dan membimbing Brahmana dengan menggamit lengan pria bertubuh tinggi itu untuk duduk di sofa kulit panjang. Ia sendiri kemudian mengambil kantong bawaan yang dijatuhkan Brahmana, lalu beranjak ke dapur, meninggalkan kedua pria kesayangannya itu duduk berhadapan di ruang tamu. Terjadi keheningan yang kaku di ruang tamu untuk sesaat, sebelum Erwin mengurai senyum dan bertanya ramah pada Brahmana. “Bagaimana kabar Nak Brahmana?” CEO tampan, pemimpin Dananjaya Group itu masih menundukkan kepala. Gestur tubuhnya memperlihatkan betapa ia masih resah dan dipenuhi rasa bersalah. “Nak Brahmana?” “Ah --oh, iya. Saya.. saya baik, Pak.” Brahmana menaikkan kepala dan menjawab dengan canggung. Netra kelam itu bergetar menatap pria paruh baya yang duduk tegak di hadapannya. Sungguh, bagai mimpi. Pria paling dikasihi Aruna itu, kini telah mampu bergerak normal. Menopang tubuhnya sendiri dengan kuat dan mantap, seakan tidak pernah mengalami kelumpuhan nyaris total. Brahmana meng
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m