Maaf bab ini agak telat. Enjoy!!
Wanita muda yang telah menjadi manajer di Niskala itu terpaku sesaat. Dengan mengeratkan genggaman pada satchel bag miliknya, ia melangkah anggun mendekati mobil sedan putih mengilat yang terparkir di basement khusus tingkat manajer ke atas. Seorang pria bertubuh tinggi atletis, tengah bersandar di pintu mobil sedan putih miliknya itu dengan tangan terlipat di dada, menonjolkan garis urat maskulin di sepanjang lengan yang terbuka, karena lengan kemeja yang telah tergulung hingga siku. “Sudah pulang, Sayang?” sapa pria itu dengan suara dalamnya yang sensual. “Kenapa kau ke sini?” Aruna menatap Brahmana, pria yang menghalangi dirinya dari pintu kemudi mobil. “Kebetulan lewat,” ujar pria itu asal. “Aku kan sudah bilang, aku minta--” “Aku tahu,” potong Brahmana cepat. “Kau minta agar aku tidak mengganggumu sampai akhir bulan ini, kan?” “Bagus kalau kau ingat. Baru siang tadi aku mengatakannya.” “Tapi apa kau lupa? Aku pemilik gedung ini. Aku hanya kebetulan lewat dan ingin memanta
“Kenapa baru bilang sekarang, Mas?!” Shanti menatap sewot pada Fathan yang tengah duduk menyandar dengan santai di kursi ruang tamu rumah Shanti. “Saya langsung tidak punya waktu setelah itu,” Fathan menjawab sambil menaikkan bahu. “Kamu bisa bayangin kan, reaksi Bos setelah melihat Aruna ada di depan matanya. Saya harus langsung mencari tahu semua tentang sahabatmu itu.” Shanti mengembus napas kesal. “Iya sih. Tapi setidaknya kabarin gue!” decaknya dongkol. “Situasi masih terlalu mengagetkan tadi siang. Saya sendiri masih shock dan sempet kaya orang linglung beberapa saat.” Shanti terdiam, dengan dahi berkerut. “Dan setelah bertahun-tahun kagak bertemu, trus Bos Mas Fathan malah mau kencan buta? Malam ini? Dia gila!” umpatnya. Bahu Fathan naik sekilas. “Itu perintah Tuan Besar. Pak Bos tidak bisa menghindarinya lagi.” “Tapi kan--” “Daripada nanti pak Bos memancing kemarahan Tuan Besar dan memisahkan mereka lagi? Apa boleh buat..” “Tapi--” “Lagipula Runa sendiri meminta pak Bo
“Hah! Anak Nakal itu memutus telepon ku begitu saja! Dasar tidak sopan!” gerutu Dananjaya sambil menatap ponselnya dengan kesal. Nuh mendekat dan mengambil ponsel itu dari Dananjaya. “Kalau saja Anak Keras Kepala itu memenuhi kencan buta yang aku atur, Aruna sudah lama ku suruh pulang!” dengkusnya lagi masih dengan sisa kesal. “Tuan Muda seorang yang setia, sama seperti Anda, Tuan Besar,” cetus Nuh tersenyum kecil. Kalimat itu membuat Dananjaya terdiam sejenak lalu mengembus napas pelan. “Mungkin kau benar.” “Dia memang benar-benar keturunan ku. Pemilik darah Dananjaya sejati,” imbuhnya terselip nada bangga. “Anda memang seorang penyayang dan selalu memikirkan kebaikan untuk keluarga.” Nuh mengucapkan dengan sungguh-sungguh, membuat Dananjaya mendesah samar. Netra tua itu mengerjap. Lalu ingatannya melayang pada percakapan dengan wanita pengasuh Maira, dua setengah tahun lalu. “Aku minta kamu pergi jauh dari sini.” Dananjaya berkata tegas dengan tatapan lurus pada Aruna yang b
Tanpa berkedip, Brahmana menatap makhluk menawan yang duduk di hadapannya.“Apakah… Anda kecewa?” Wanita muda itu menatap balik Brahmana penuh arti.Bibir penuh dan sensual milik Brahmana terkatup. Iris matanya bergetar tanpa kelopak yang bersedia menutup sklera putih cemerlang yang berbinar itu.“Kenapa diam?”Sungguh, demi apapun.Suara yang keluar dari bibir madu berpulas lipstik warna coral itu bagaikan senandung yang berdenting indah di lorong pendengaran Brahmana. Ia ingin berlama-lama mendengar nada merdu yang terlahir dari dua kata singkat itu.“Agha… kau membuatku takut…” Kali ini wanita muda itu berkata lirih.Tanpa menjawab, Brahmana mengulurkan tangan melintasi dua gelas kaki di antara mereka dan meraih tangan wanita muda itu yang terlipat di atas meja.“Aku hanya--” Brahmana menatap kian lekat dengan jemari yang mengisi semua celah k
“Mengapa kau diam saja? Ayo turun.” Aruna mengerutkan dahi ketika melihat Brahmana masih diam di balik kemudi dengan wajah gugup dan tegang. Mereka telah satu menit lebih berdiam di dalam sedan mewah milik Brahmana yang berhenti di depan sebuah rumah minimalis moderen. “Ini tempat tinggalmu?” tanya Brahmana tanpa mengalihkan pandangannya pada rumah yang terbangun indah di atas tanah seluas dua ratus delapan puluh meter itu. “Kau sudah menanyakan itu dua kali, Agha. Iya, itu tempat tinggalku dan ayah, dan kita sudah sampai. Rumah yang kau tahu dari Fathan, itu rumah pemberian dari Tuan Besar.” “Kenapa tidak kau tinggali saja rumah pemberian kakek itu?” “Kan tadi juga sudah kujawab, Agha. Karena aku lebih suka tinggal di tempat yang merupakan hasilku sendiri.” Terjadi jeda beberapa detik. Namun tanpa memalingkan tatapan, Brahmana melemparkan pertanyaan lain. “Apa.. sebaiknya kita berputar dulu? Untuk membeli buah tangan untuk ayah.” “Buah tangan?” Kening Aruna kian berkerut. “Ya
Aruna mendekat dan membimbing Brahmana dengan menggamit lengan pria bertubuh tinggi itu untuk duduk di sofa kulit panjang. Ia sendiri kemudian mengambil kantong bawaan yang dijatuhkan Brahmana, lalu beranjak ke dapur, meninggalkan kedua pria kesayangannya itu duduk berhadapan di ruang tamu. Terjadi keheningan yang kaku di ruang tamu untuk sesaat, sebelum Erwin mengurai senyum dan bertanya ramah pada Brahmana. “Bagaimana kabar Nak Brahmana?” CEO tampan, pemimpin Dananjaya Group itu masih menundukkan kepala. Gestur tubuhnya memperlihatkan betapa ia masih resah dan dipenuhi rasa bersalah. “Nak Brahmana?” “Ah --oh, iya. Saya.. saya baik, Pak.” Brahmana menaikkan kepala dan menjawab dengan canggung. Netra kelam itu bergetar menatap pria paruh baya yang duduk tegak di hadapannya. Sungguh, bagai mimpi. Pria paling dikasihi Aruna itu, kini telah mampu bergerak normal. Menopang tubuhnya sendiri dengan kuat dan mantap, seakan tidak pernah mengalami kelumpuhan nyaris total. Brahmana meng
“Ini off the record ya.” Sandra memelankan volume suara. “Gue denger dari OB, saat kemaren beres meeting, Aruna masuk ke ruangan Direktur. Dan lama berada di sana.”“Apa?! Lu gak boong? Masuk ke ruangan Direktur?! Ngapain? Sama pak GM?”“Justru di situ anehnya. Dia masuk sendirian, pak GM kan dah turun ke ruangannya sendiri. Makanya, ngapain coba? Lebih dari setengah jam lho Aruna di dalam sana.” Sandra berkata meyakinkan.“Kalo memang dipanggil, dan urusan kerjaan, kita semua tau, gak ada yang pernah masuk langsung ke ruangan pak Dir. Paling kalo kerjaan, pak GM yang manggil. Plus kagak pernah lama kan? Paling sepuluh menitan doang.”“Iya sih. Kamu bener San.” Rekan wanita di sisi kiri Sandra mengangguk membenarkan.“Wah, ini sih berita besar! Ternyata dia bisa masuk dan langsung pegang jabatan manajer, karena ada hubungan sama Direktur!”“Tadi juga gu
Nesya juga menyadari ada bayangan aneh di depan, lalu mengangkat pandangan perlahan dan terhenti di atas meja, di depannya. “Run… kok tangan yang ada di foto sekarang ada di meja kita?” Nesya mengerjap. Matanya menatapi satu tangan yang bertumpu di sisi meja Aruna duduk, bersanding dengan kedua tangan Aruna yang terlipat di atas meja. Nesya perlahan mendongak mengikuti tangan maskulin itu. Dan saat itu juga ia tertegun. “Ru-Ru.. Runa…” Mulut Nesya terbuka nyaris lebar. Ia kini melihat satu sosok menakjubkan tengah berdiri di sisi Aruna dengan satu tangan bertopang pada sandaran kursi Aruna dan tangan satu lagi bertopang di atas meja. “Agha… ngapain kesini?” bisik Aruna sedikit mendelik. “Kau akan membuat keributan!” omelnya lagi, masih tetap berbisik. “Benarkah?” Suara dalam dan berat itu mengalun pelan. “Tapi faktanya, kantin ini menjadi sepi setelah aku di sini.” Nesya nyaris lupa bernapas. Kedua matanya membelalak sempurna dan tak kunjung berkedip. Brahmana --Sosok yang m