Holaaaa GoodReaders!! Beberapa bab lagi, kisah Aruna dan Brahmana akan segera menuju ending yaa. Terima kasih teramat sangat Author sampaikan pada semua teman-teman GoodReaders yang setia menemani Runa dan Agha hingga menjelang tamat. Author juga sangat berterima kasih pada teman-teman setia Runa yang memberi dukungan, baik dalam bentuk review positif, komentar di tiap bab, maupun pemberian GEMS / Vote pada Author. Sebagai bentuk rasa syukur dan apresiasi Author, Author ingin sedikiiit berbagi pada teman-teman di peringkat 1 sampai 5 dalam jumlah pemberian Gems untuk karya Author DIBUANG MANTAN, DIKEJAR CEO SULTAN ini, berupa pulsa. Follow I*G Author di storiesbybintang untuk mengetahui S&K nya yaa... Pemenang akan Author lihat pada posisi peringkat di tanggal 31 Januari 2024 jam 19.00 besok yaaa... See you tomorrow!! ^,^
“Kak Unaaaa!” Pekikan nyaris histeris itu langsung bergema memenuhi seantero halaman sekolah.Senyum Aruna mengembang lebar saat melihat seorang gadis kecil menyerbu.Ia lalumelebarkan kedua tangan dan menurunkan tubuh, bersiap menerima hantaman pelukan dari gadis kecil bermata bulat, yang kini telah berusia delapan tahunan.Kedua keturunan hawa berbeda generasi itu lalu berpelukan erat.“Kak Una jahaat! Kenapa baru sekarang kak Una temuin Mai!” Suara isakan kemudian keluar, namun teredam dengan baik di dada Aruna.Dielusnya penuh kasih dan rasa penyesalan yang dalam kepala Maira oleh Aruna. Ia memiringkan kepala dan mengecup berkali-kali puncak kepala Maira.“Maafin kak Una ya, Sayang. Maafin kak Una..” pinta Aruna dengan lembut. Suaranya yang sedikit parau tidak dapat menyembunyikan betapa dirinya juga teramat sedih campur haru, bisa bertemu gadis kecil itu lagi.“Apa kak Una membenci
Meskipun suara bising dari luar teredam dengan baik, namun suara Lisa itu tetap terdengar oleh Aruna dan juga Brahmana. “Hey kamu! Mobilmu paling bagus dari semua deretan mobil di lampu merah ini! Mobil ini berharga belasan miliar! Masa iya ngasih aja gak bisa?!” Lisa merutuk pemilik mobil, yang sesungguhnya adalah calon suami dari anak tirinya sendiri. Dari samping, Brahmana bisa melihat Aruna yang mengetatkan rahang, lalu menunduk. Wanita terkasihnya itu meraih satchel bag miliknya dan mengeluarkan dompet. Dengan gerakan cepat dan wajah muram, Aruna mengeluarkan semua lembaran uang yang tersisa di dalam dompet itu. Tangan kirinya menekan pelan panel di sisi, lalu kaca jendela itu bergerak turun seperempat-nya, dengan masih melindungi wajah Aruna dari terlihat Lisa. Ia mengulurkan tangan memberikan lembaran uang itu. Lisa, membelalak kaget saat melihat uluran tangan yang menampakkan lembaran berwarna merah. Dengan cepat, ia menyambar dan menghitung lembar demi lembar uang itu.
Aruna melambaikan tangan pada Maira yang berangkat sekolah. Gadis kecil itu menggoyangkan kepalanya dengan sangat riang dan melambai kuat-kuat pada Aruna. “Daah kak Una!!” Pekikan nyaring itu mengecil seiring menjauhnya mobil yang membawa gadis kecil itu. Hari ini memang Aruna berjanji membuatkan sarapan buat Maira dan Brahmana, hingga ia pun datang ke kediaman Brahmana pagi-pagi sekali. Rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya, karena ia bisa merasakan kegiatan ini lagi, setelah dua setengah tahun hanya mampu membayangkan dan mengenang masa lalu saja. Aruna tersenyum lalu membalikkan tubuh, saat mobil yang membawa Maira mengecil menuju gerbang utama di ujung jalan sana. “Astaga, Agha!” Aruna memekik tertahan, karena saat berbalik Brahmana telah ada di belakangnya. “Kau belum berangkat kerja?” “Pasangkan dasi ini,” pinta pria itu tanpa merasa bersalah karena telah mengagetkan Aruna. Tubuh tingginya berdiri tegap dan membusung, memperlihatkan dada bidang yang terlihat liat dan kok
Dentum dan rasa dingin yang berputar di dada serta area perut, sungguh tak terelakkan. Aruna sedikit tersengal. Apa yang ia dengar, sungguh sangat jelas. Tapi apa maksud Brahmana dengan kalimat-kalimat itu, sungguh sangat tidak jelas. Apa Brahmana memiliki wanita lain? Apa selama dua setengah tahun ini Brahmana tidak sepenuhnya menunggu dirinya? Apakah ada seseorang untuk mengisi hari-hari CEO itu, selama masa penantian? Tapi jikapun demikian, bukankah itu bukan salah Brahmana sepenuhnya? Bukankah dirinya sendiri yang meminta Brahmana untuk mencari kebahagiaan-nya sendiri? Yang ia tulis dalam surat yang ia tinggalkan untuk dibaca Brahmana? Aruna menarik napas dalam-dalam dan meredakan gejolak panas di hatinya begitu juga rasa dingin yang mengaduk-aduk perut. Ia memutar tubuh lalu berjalan sedikit menjauh dari pintu ruang CEO, hanya untuk kembali mendekat dengan langkah dan ketukan yang sengaja ia hentakkan untuk diperdengarkan dengan jelas. Aruna ingin membuat Brahmana menge
‘Des Moines International Airport…’ Aruna mengeja dalam hati, tulisan yang terpampang besar yang terbaca olehnya, tak lama setelah turun dari pesawat yang ditumpangi. Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh jam penerbangan, akhirnya Aruna dan Brahmana kini berada di dalam roda empat yang menjemput masuk hingga ke dekat pesawat. Ia juga masih terkagum-kagum dengan kenyataan bahwa Dananjaya Group pun memiliki jet pribadi sendiri. “Jetlag?” Suara dalam Brahmana memecah keheningan yang tercipta karena Aruna yang terdiam dan asyik menikmati pemandangan sekitar. “Nope (tidak),” jawab Aruna sambil menggelengkan kepala sedikit. “Aku belum lama juga mendarat dari Amerika ke ibukota. Jadi tubuhku masih bisa beradaptasi dengan baik.” “Apa selama dua setengah tahun itu kau sering bolak-balik pulang ke tanah air?” Brahmana penasaran. “Tidak. Hanya tiga kali saja,” jawab Aruna. “Satu kali saat mengantar ayah pulang dan tinggal di rumah yang kubeli. Dua, saat nengok ayah empat bulan lalu
Namun alih-alih melakukan apa yang diperintahkan Aruna, Brahmana justru melingkari lengan kokohnya melewati bahu kekasihnya itu, untuk menghentikannya pergi. “Tolong, tunggu…” Brahmana berbisik dengan sedikit terengah, bukan karena berlari mengejar wanita itu, tapi karena jantungnya yang berdebar cepat dan kaget melihat kemarahan Aruna. Rahang kokoh Brahmana menempel di sisi kepala wanitanya, menumpu dagu di bahu yang bergetar menahan tangis itu. “Sayang!” Brahmana membalikkan tubuh Aruna cepat dan menarik lembut kedua tangan Aruna yang menangkup wajahnya. “Jangan.. hentikan.. Tolong, jangan menangis..” lirih Brahmana. Dadanya ikut tercubit dan terasa sakit demi melihat Aruna yang tengah tersedu sedan seperti ini. “Sayang…” “Jika kau telah memiliki kekasih, mengapa kau menerimaku?” ujar Aruna disela isak tangisnya. “Kekasih?” “Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Aruna dengan mata memerah. Kini wajahnya terekspos, setelah tangan Brahmana menarik kedua tangan Aruna yang semula me
“Ammi, jawab dulu pertanyaanku. Bagaimana bisa mengenal Aruna?” Tatapan Brahmana juga beralih pada wanita yang ia panggil Ammi itu, meminta penjelasan. “Kekasihku itu bahkan sempat berpikir bahwa kau adalah kekasihku yang lain..” imbuhnya sambil melirik Aruna. “Agha!” Wanita muda itu memekik protes. “Kenapa?” Kerlingan Brahmana pada Aruna menandakan ia tidak akan menghentikan kalimatnya. “Bahkan dia tadi menangis begitu banyak, karena merasa aku menduakannya, Ammi.” “Jangan mengadu!” Tatapan Aruna memelas. “Benarkah? Sayangku menangis banyak?” Wanita berpakaian serba putih itu mengulur tangan ke bawah dagu Aruna dan mengusapnya penuh kasih. “Lagian siapa yang gak curiga, mendengar dia berucap ‘I love you too’ terus ‘rindu’. Lalu panggilannya padamu, Bu. ‘Ammi’, itu kan seperti nama wanita!” protes Aruna, dengan menggebu membela diri di hadapan ibu kandung Brahmana. Wanita paruh baya cantik itu terkekeh. “Ammi adalah panggilan kesayangan almarhum suamiku, Pandhu, ditujukan untuk