Tanpa berkedip, Brahmana menatap makhluk menawan yang duduk di hadapannya.
“Apakah… Anda kecewa?” Wanita muda itu menatap balik Brahmana penuh arti.
Bibir penuh dan sensual milik Brahmana terkatup. Iris matanya bergetar tanpa kelopak yang bersedia menutup sklera putih cemerlang yang berbinar itu.
“Kenapa diam?”
Sungguh, demi apapun.
Suara yang keluar dari bibir madu berpulas lipstik warna coral itu bagaikan senandung yang berdenting indah di lorong pendengaran Brahmana.
Ia ingin berlama-lama mendengar nada merdu yang terlahir dari dua kata singkat itu.
“Agha… kau membuatku takut…” Kali ini wanita muda itu berkata lirih.
Tanpa menjawab, Brahmana mengulurkan tangan melintasi dua gelas kaki di antara mereka dan meraih tangan wanita muda itu yang terlipat di atas meja.
“Aku hanya--” Brahmana menatap kian lekat dengan jemari yang mengisi semua celah k
“Mengapa kau diam saja? Ayo turun.” Aruna mengerutkan dahi ketika melihat Brahmana masih diam di balik kemudi dengan wajah gugup dan tegang. Mereka telah satu menit lebih berdiam di dalam sedan mewah milik Brahmana yang berhenti di depan sebuah rumah minimalis moderen. “Ini tempat tinggalmu?” tanya Brahmana tanpa mengalihkan pandangannya pada rumah yang terbangun indah di atas tanah seluas dua ratus delapan puluh meter itu. “Kau sudah menanyakan itu dua kali, Agha. Iya, itu tempat tinggalku dan ayah, dan kita sudah sampai. Rumah yang kau tahu dari Fathan, itu rumah pemberian dari Tuan Besar.” “Kenapa tidak kau tinggali saja rumah pemberian kakek itu?” “Kan tadi juga sudah kujawab, Agha. Karena aku lebih suka tinggal di tempat yang merupakan hasilku sendiri.” Terjadi jeda beberapa detik. Namun tanpa memalingkan tatapan, Brahmana melemparkan pertanyaan lain. “Apa.. sebaiknya kita berputar dulu? Untuk membeli buah tangan untuk ayah.” “Buah tangan?” Kening Aruna kian berkerut. “Ya
Aruna mendekat dan membimbing Brahmana dengan menggamit lengan pria bertubuh tinggi itu untuk duduk di sofa kulit panjang. Ia sendiri kemudian mengambil kantong bawaan yang dijatuhkan Brahmana, lalu beranjak ke dapur, meninggalkan kedua pria kesayangannya itu duduk berhadapan di ruang tamu. Terjadi keheningan yang kaku di ruang tamu untuk sesaat, sebelum Erwin mengurai senyum dan bertanya ramah pada Brahmana. “Bagaimana kabar Nak Brahmana?” CEO tampan, pemimpin Dananjaya Group itu masih menundukkan kepala. Gestur tubuhnya memperlihatkan betapa ia masih resah dan dipenuhi rasa bersalah. “Nak Brahmana?” “Ah --oh, iya. Saya.. saya baik, Pak.” Brahmana menaikkan kepala dan menjawab dengan canggung. Netra kelam itu bergetar menatap pria paruh baya yang duduk tegak di hadapannya. Sungguh, bagai mimpi. Pria paling dikasihi Aruna itu, kini telah mampu bergerak normal. Menopang tubuhnya sendiri dengan kuat dan mantap, seakan tidak pernah mengalami kelumpuhan nyaris total. Brahmana meng
“Ini off the record ya.” Sandra memelankan volume suara. “Gue denger dari OB, saat kemaren beres meeting, Aruna masuk ke ruangan Direktur. Dan lama berada di sana.”“Apa?! Lu gak boong? Masuk ke ruangan Direktur?! Ngapain? Sama pak GM?”“Justru di situ anehnya. Dia masuk sendirian, pak GM kan dah turun ke ruangannya sendiri. Makanya, ngapain coba? Lebih dari setengah jam lho Aruna di dalam sana.” Sandra berkata meyakinkan.“Kalo memang dipanggil, dan urusan kerjaan, kita semua tau, gak ada yang pernah masuk langsung ke ruangan pak Dir. Paling kalo kerjaan, pak GM yang manggil. Plus kagak pernah lama kan? Paling sepuluh menitan doang.”“Iya sih. Kamu bener San.” Rekan wanita di sisi kiri Sandra mengangguk membenarkan.“Wah, ini sih berita besar! Ternyata dia bisa masuk dan langsung pegang jabatan manajer, karena ada hubungan sama Direktur!”“Tadi juga gu
Nesya juga menyadari ada bayangan aneh di depan, lalu mengangkat pandangan perlahan dan terhenti di atas meja, di depannya. “Run… kok tangan yang ada di foto sekarang ada di meja kita?” Nesya mengerjap. Matanya menatapi satu tangan yang bertumpu di sisi meja Aruna duduk, bersanding dengan kedua tangan Aruna yang terlipat di atas meja. Nesya perlahan mendongak mengikuti tangan maskulin itu. Dan saat itu juga ia tertegun. “Ru-Ru.. Runa…” Mulut Nesya terbuka nyaris lebar. Ia kini melihat satu sosok menakjubkan tengah berdiri di sisi Aruna dengan satu tangan bertopang pada sandaran kursi Aruna dan tangan satu lagi bertopang di atas meja. “Agha… ngapain kesini?” bisik Aruna sedikit mendelik. “Kau akan membuat keributan!” omelnya lagi, masih tetap berbisik. “Benarkah?” Suara dalam dan berat itu mengalun pelan. “Tapi faktanya, kantin ini menjadi sepi setelah aku di sini.” Nesya nyaris lupa bernapas. Kedua matanya membelalak sempurna dan tak kunjung berkedip. Brahmana --Sosok yang m
Holaaaa GoodReaders!! Beberapa bab lagi, kisah Aruna dan Brahmana akan segera menuju ending yaa. Terima kasih teramat sangat Author sampaikan pada semua teman-teman GoodReaders yang setia menemani Runa dan Agha hingga menjelang tamat. Author juga sangat berterima kasih pada teman-teman setia Runa yang memberi dukungan, baik dalam bentuk review positif, komentar di tiap bab, maupun pemberian GEMS / Vote pada Author. Sebagai bentuk rasa syukur dan apresiasi Author, Author ingin sedikiiit berbagi pada teman-teman di peringkat 1 sampai 5 dalam jumlah pemberian Gems untuk karya Author DIBUANG MANTAN, DIKEJAR CEO SULTAN ini, berupa pulsa. Follow I*G Author di storiesbybintang untuk mengetahui S&K nya yaa... Pemenang akan Author lihat pada posisi peringkat di tanggal 31 Januari 2024 jam 19.00 besok yaaa... See you tomorrow!! ^,^
“Kak Unaaaa!” Pekikan nyaris histeris itu langsung bergema memenuhi seantero halaman sekolah.Senyum Aruna mengembang lebar saat melihat seorang gadis kecil menyerbu.Ia lalumelebarkan kedua tangan dan menurunkan tubuh, bersiap menerima hantaman pelukan dari gadis kecil bermata bulat, yang kini telah berusia delapan tahunan.Kedua keturunan hawa berbeda generasi itu lalu berpelukan erat.“Kak Una jahaat! Kenapa baru sekarang kak Una temuin Mai!” Suara isakan kemudian keluar, namun teredam dengan baik di dada Aruna.Dielusnya penuh kasih dan rasa penyesalan yang dalam kepala Maira oleh Aruna. Ia memiringkan kepala dan mengecup berkali-kali puncak kepala Maira.“Maafin kak Una ya, Sayang. Maafin kak Una..” pinta Aruna dengan lembut. Suaranya yang sedikit parau tidak dapat menyembunyikan betapa dirinya juga teramat sedih campur haru, bisa bertemu gadis kecil itu lagi.“Apa kak Una membenci
Meskipun suara bising dari luar teredam dengan baik, namun suara Lisa itu tetap terdengar oleh Aruna dan juga Brahmana. “Hey kamu! Mobilmu paling bagus dari semua deretan mobil di lampu merah ini! Mobil ini berharga belasan miliar! Masa iya ngasih aja gak bisa?!” Lisa merutuk pemilik mobil, yang sesungguhnya adalah calon suami dari anak tirinya sendiri. Dari samping, Brahmana bisa melihat Aruna yang mengetatkan rahang, lalu menunduk. Wanita terkasihnya itu meraih satchel bag miliknya dan mengeluarkan dompet. Dengan gerakan cepat dan wajah muram, Aruna mengeluarkan semua lembaran uang yang tersisa di dalam dompet itu. Tangan kirinya menekan pelan panel di sisi, lalu kaca jendela itu bergerak turun seperempat-nya, dengan masih melindungi wajah Aruna dari terlihat Lisa. Ia mengulurkan tangan memberikan lembaran uang itu. Lisa, membelalak kaget saat melihat uluran tangan yang menampakkan lembaran berwarna merah. Dengan cepat, ia menyambar dan menghitung lembar demi lembar uang itu.
Aruna melambaikan tangan pada Maira yang berangkat sekolah. Gadis kecil itu menggoyangkan kepalanya dengan sangat riang dan melambai kuat-kuat pada Aruna. “Daah kak Una!!” Pekikan nyaring itu mengecil seiring menjauhnya mobil yang membawa gadis kecil itu. Hari ini memang Aruna berjanji membuatkan sarapan buat Maira dan Brahmana, hingga ia pun datang ke kediaman Brahmana pagi-pagi sekali. Rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya, karena ia bisa merasakan kegiatan ini lagi, setelah dua setengah tahun hanya mampu membayangkan dan mengenang masa lalu saja. Aruna tersenyum lalu membalikkan tubuh, saat mobil yang membawa Maira mengecil menuju gerbang utama di ujung jalan sana. “Astaga, Agha!” Aruna memekik tertahan, karena saat berbalik Brahmana telah ada di belakangnya. “Kau belum berangkat kerja?” “Pasangkan dasi ini,” pinta pria itu tanpa merasa bersalah karena telah mengagetkan Aruna. Tubuh tingginya berdiri tegap dan membusung, memperlihatkan dada bidang yang terlihat liat dan kok