Aruna melambaikan tangan pada Maira yang berangkat sekolah. Gadis kecil itu menggoyangkan kepalanya dengan sangat riang dan melambai kuat-kuat pada Aruna. “Daah kak Una!!” Pekikan nyaring itu mengecil seiring menjauhnya mobil yang membawa gadis kecil itu. Hari ini memang Aruna berjanji membuatkan sarapan buat Maira dan Brahmana, hingga ia pun datang ke kediaman Brahmana pagi-pagi sekali. Rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya, karena ia bisa merasakan kegiatan ini lagi, setelah dua setengah tahun hanya mampu membayangkan dan mengenang masa lalu saja. Aruna tersenyum lalu membalikkan tubuh, saat mobil yang membawa Maira mengecil menuju gerbang utama di ujung jalan sana. “Astaga, Agha!” Aruna memekik tertahan, karena saat berbalik Brahmana telah ada di belakangnya. “Kau belum berangkat kerja?” “Pasangkan dasi ini,” pinta pria itu tanpa merasa bersalah karena telah mengagetkan Aruna. Tubuh tingginya berdiri tegap dan membusung, memperlihatkan dada bidang yang terlihat liat dan kok
Dentum dan rasa dingin yang berputar di dada serta area perut, sungguh tak terelakkan. Aruna sedikit tersengal. Apa yang ia dengar, sungguh sangat jelas. Tapi apa maksud Brahmana dengan kalimat-kalimat itu, sungguh sangat tidak jelas. Apa Brahmana memiliki wanita lain? Apa selama dua setengah tahun ini Brahmana tidak sepenuhnya menunggu dirinya? Apakah ada seseorang untuk mengisi hari-hari CEO itu, selama masa penantian? Tapi jikapun demikian, bukankah itu bukan salah Brahmana sepenuhnya? Bukankah dirinya sendiri yang meminta Brahmana untuk mencari kebahagiaan-nya sendiri? Yang ia tulis dalam surat yang ia tinggalkan untuk dibaca Brahmana? Aruna menarik napas dalam-dalam dan meredakan gejolak panas di hatinya begitu juga rasa dingin yang mengaduk-aduk perut. Ia memutar tubuh lalu berjalan sedikit menjauh dari pintu ruang CEO, hanya untuk kembali mendekat dengan langkah dan ketukan yang sengaja ia hentakkan untuk diperdengarkan dengan jelas. Aruna ingin membuat Brahmana menge
‘Des Moines International Airport…’ Aruna mengeja dalam hati, tulisan yang terpampang besar yang terbaca olehnya, tak lama setelah turun dari pesawat yang ditumpangi. Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh jam penerbangan, akhirnya Aruna dan Brahmana kini berada di dalam roda empat yang menjemput masuk hingga ke dekat pesawat. Ia juga masih terkagum-kagum dengan kenyataan bahwa Dananjaya Group pun memiliki jet pribadi sendiri. “Jetlag?” Suara dalam Brahmana memecah keheningan yang tercipta karena Aruna yang terdiam dan asyik menikmati pemandangan sekitar. “Nope (tidak),” jawab Aruna sambil menggelengkan kepala sedikit. “Aku belum lama juga mendarat dari Amerika ke ibukota. Jadi tubuhku masih bisa beradaptasi dengan baik.” “Apa selama dua setengah tahun itu kau sering bolak-balik pulang ke tanah air?” Brahmana penasaran. “Tidak. Hanya tiga kali saja,” jawab Aruna. “Satu kali saat mengantar ayah pulang dan tinggal di rumah yang kubeli. Dua, saat nengok ayah empat bulan lalu
Namun alih-alih melakukan apa yang diperintahkan Aruna, Brahmana justru melingkari lengan kokohnya melewati bahu kekasihnya itu, untuk menghentikannya pergi. “Tolong, tunggu…” Brahmana berbisik dengan sedikit terengah, bukan karena berlari mengejar wanita itu, tapi karena jantungnya yang berdebar cepat dan kaget melihat kemarahan Aruna. Rahang kokoh Brahmana menempel di sisi kepala wanitanya, menumpu dagu di bahu yang bergetar menahan tangis itu. “Sayang!” Brahmana membalikkan tubuh Aruna cepat dan menarik lembut kedua tangan Aruna yang menangkup wajahnya. “Jangan.. hentikan.. Tolong, jangan menangis..” lirih Brahmana. Dadanya ikut tercubit dan terasa sakit demi melihat Aruna yang tengah tersedu sedan seperti ini. “Sayang…” “Jika kau telah memiliki kekasih, mengapa kau menerimaku?” ujar Aruna disela isak tangisnya. “Kekasih?” “Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Aruna dengan mata memerah. Kini wajahnya terekspos, setelah tangan Brahmana menarik kedua tangan Aruna yang semula me
“Ammi, jawab dulu pertanyaanku. Bagaimana bisa mengenal Aruna?” Tatapan Brahmana juga beralih pada wanita yang ia panggil Ammi itu, meminta penjelasan. “Kekasihku itu bahkan sempat berpikir bahwa kau adalah kekasihku yang lain..” imbuhnya sambil melirik Aruna. “Agha!” Wanita muda itu memekik protes. “Kenapa?” Kerlingan Brahmana pada Aruna menandakan ia tidak akan menghentikan kalimatnya. “Bahkan dia tadi menangis begitu banyak, karena merasa aku menduakannya, Ammi.” “Jangan mengadu!” Tatapan Aruna memelas. “Benarkah? Sayangku menangis banyak?” Wanita berpakaian serba putih itu mengulur tangan ke bawah dagu Aruna dan mengusapnya penuh kasih. “Lagian siapa yang gak curiga, mendengar dia berucap ‘I love you too’ terus ‘rindu’. Lalu panggilannya padamu, Bu. ‘Ammi’, itu kan seperti nama wanita!” protes Aruna, dengan menggebu membela diri di hadapan ibu kandung Brahmana. Wanita paruh baya cantik itu terkekeh. “Ammi adalah panggilan kesayangan almarhum suamiku, Pandhu, ditujukan untuk
Tantri menarik napas dalam. “Kedekatan dan pengungkapan kasih sayang yang sangat tulus, begitu terlihat antara Aruna dan Erwin. Aku betul-betul tersentuh. Sejak saat itu pula, aku bertekad untuk keluar dari depresi-ku demi Bram dan menjadi ibu yang baik baginya.”“Ibu memang sangat ekspresif, sejak saat itu,” goda Aruna.“Ya kau benar!” Tantri mengiyakan. “Aku merasa perlu mendengar semua kata-kata cinta. Baik yang aku ucapkan sendiri, maupun dari mulut orang-orang yang kucintai. Rasanya, seperti tidak cukup untuk menebus semua waktuku yang hilang bersama Bram.”“I love you, Ammi..” Brahmana tersenyum saat mengucapkannya penuh kelembutan.“I love you too, Cintaku..”“Bukankah takdir itu sangat lucu?” ujar ibu kandung Brahmana. “Tidak aku sangka, bahwa putraku akan menikahi wanita yang sudah seperti putriku ini. Aku dan Runa begitu dekat, aku menceritakan banya
Sesak padat orang-orang memenuhi ballroom mewah yang telah dihiasi begitu indah dan megah. Ribuan bunga mawar segar dirangkai cantik dengan anggrek bulan, menghiasi langit-langit ballroom. Seluruh sudut pun telah penuh dengan hiasan kristal bak stalaktit dengan pendar cahaya kebiruan nan cantik. Sungguh, tidak akan ada mata yang mampu menutupi sorot kekaguman yang terpancar, tatkala langkah kaki memasuki pintu ballroom yang juga telah disulap bak lorong yang penuh dengan gemerlap kristal. Chocolate fountain menjulang tinggi di empat sudut ballroom dengan hamparan bermacam bentuk permen cantik yang mengelilinginya. Beberapa anak-anak bergaun indah tampak tengah mengagumi coklat pancur yang mengalir berundak-undak itu. Sementara para orang dewasa --juga dengan pakaian mahal dan bagus milik mereka, terlihat saling bercakap dengan akrab dan menikmati limpahan hidangan beraneka ragam yang ditata sangat artistik dan cantik. “Ah! Aku bosan. Aku mau ke temenku. Boleh Yah? Kak Una?” Mair
“Selamat lagi ya Runa..” Fathan tiba-tiba ada di dekat Aruna dan memberikan ucapan selamat yang tulus pada wanita itu. “Makasih Mas..” senyum Aruna. “Mohon maaf, saya ingin mengamankan seseorang di sini yang berpotensi merusak acara pernikahan ini,” ujar pria berkacamata itu lagi sambil memandang Shanti lekat. “Hah? Gue?” Shanti menunjuk dirinya sendiri tak terima. “Oh boleh, silakan..” jawab Aruna cepat. Pengantin wanita itu mengulum senyum. Fathan lalu menarik tangan Shanti dan membawanya menjauh setelah sekali lagi meminta izin dari Aruna. Jasmine dan Najla terdiam dan saling melempar pandangan. “Apa undangan pernikahan lainnya akan segera datang ke kita?” Najla bergumam. “Kayanya…” respon Aruna. “Hah? Siapa yang nikah?” Jasmine menoleh bergantian pada Aruna dan juga Najla, yang kemudian sama-sama menepuk jidat atas kelemotan teman mereka yang satu itu. Kedua sahabat itu tertawa lagi, menggoda Jasmine. Sedang asyiknya mereka bertiga, seseorang menghampiri meja Aruna dan