‘Des Moines International Airport…’ Aruna mengeja dalam hati, tulisan yang terpampang besar yang terbaca olehnya, tak lama setelah turun dari pesawat yang ditumpangi. Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh jam penerbangan, akhirnya Aruna dan Brahmana kini berada di dalam roda empat yang menjemput masuk hingga ke dekat pesawat. Ia juga masih terkagum-kagum dengan kenyataan bahwa Dananjaya Group pun memiliki jet pribadi sendiri. “Jetlag?” Suara dalam Brahmana memecah keheningan yang tercipta karena Aruna yang terdiam dan asyik menikmati pemandangan sekitar. “Nope (tidak),” jawab Aruna sambil menggelengkan kepala sedikit. “Aku belum lama juga mendarat dari Amerika ke ibukota. Jadi tubuhku masih bisa beradaptasi dengan baik.” “Apa selama dua setengah tahun itu kau sering bolak-balik pulang ke tanah air?” Brahmana penasaran. “Tidak. Hanya tiga kali saja,” jawab Aruna. “Satu kali saat mengantar ayah pulang dan tinggal di rumah yang kubeli. Dua, saat nengok ayah empat bulan lalu
Namun alih-alih melakukan apa yang diperintahkan Aruna, Brahmana justru melingkari lengan kokohnya melewati bahu kekasihnya itu, untuk menghentikannya pergi. “Tolong, tunggu…” Brahmana berbisik dengan sedikit terengah, bukan karena berlari mengejar wanita itu, tapi karena jantungnya yang berdebar cepat dan kaget melihat kemarahan Aruna. Rahang kokoh Brahmana menempel di sisi kepala wanitanya, menumpu dagu di bahu yang bergetar menahan tangis itu. “Sayang!” Brahmana membalikkan tubuh Aruna cepat dan menarik lembut kedua tangan Aruna yang menangkup wajahnya. “Jangan.. hentikan.. Tolong, jangan menangis..” lirih Brahmana. Dadanya ikut tercubit dan terasa sakit demi melihat Aruna yang tengah tersedu sedan seperti ini. “Sayang…” “Jika kau telah memiliki kekasih, mengapa kau menerimaku?” ujar Aruna disela isak tangisnya. “Kekasih?” “Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Aruna dengan mata memerah. Kini wajahnya terekspos, setelah tangan Brahmana menarik kedua tangan Aruna yang semula me
“Ammi, jawab dulu pertanyaanku. Bagaimana bisa mengenal Aruna?” Tatapan Brahmana juga beralih pada wanita yang ia panggil Ammi itu, meminta penjelasan. “Kekasihku itu bahkan sempat berpikir bahwa kau adalah kekasihku yang lain..” imbuhnya sambil melirik Aruna. “Agha!” Wanita muda itu memekik protes. “Kenapa?” Kerlingan Brahmana pada Aruna menandakan ia tidak akan menghentikan kalimatnya. “Bahkan dia tadi menangis begitu banyak, karena merasa aku menduakannya, Ammi.” “Jangan mengadu!” Tatapan Aruna memelas. “Benarkah? Sayangku menangis banyak?” Wanita berpakaian serba putih itu mengulur tangan ke bawah dagu Aruna dan mengusapnya penuh kasih. “Lagian siapa yang gak curiga, mendengar dia berucap ‘I love you too’ terus ‘rindu’. Lalu panggilannya padamu, Bu. ‘Ammi’, itu kan seperti nama wanita!” protes Aruna, dengan menggebu membela diri di hadapan ibu kandung Brahmana. Wanita paruh baya cantik itu terkekeh. “Ammi adalah panggilan kesayangan almarhum suamiku, Pandhu, ditujukan untuk
Tantri menarik napas dalam. “Kedekatan dan pengungkapan kasih sayang yang sangat tulus, begitu terlihat antara Aruna dan Erwin. Aku betul-betul tersentuh. Sejak saat itu pula, aku bertekad untuk keluar dari depresi-ku demi Bram dan menjadi ibu yang baik baginya.”“Ibu memang sangat ekspresif, sejak saat itu,” goda Aruna.“Ya kau benar!” Tantri mengiyakan. “Aku merasa perlu mendengar semua kata-kata cinta. Baik yang aku ucapkan sendiri, maupun dari mulut orang-orang yang kucintai. Rasanya, seperti tidak cukup untuk menebus semua waktuku yang hilang bersama Bram.”“I love you, Ammi..” Brahmana tersenyum saat mengucapkannya penuh kelembutan.“I love you too, Cintaku..”“Bukankah takdir itu sangat lucu?” ujar ibu kandung Brahmana. “Tidak aku sangka, bahwa putraku akan menikahi wanita yang sudah seperti putriku ini. Aku dan Runa begitu dekat, aku menceritakan banya
Sesak padat orang-orang memenuhi ballroom mewah yang telah dihiasi begitu indah dan megah. Ribuan bunga mawar segar dirangkai cantik dengan anggrek bulan, menghiasi langit-langit ballroom. Seluruh sudut pun telah penuh dengan hiasan kristal bak stalaktit dengan pendar cahaya kebiruan nan cantik. Sungguh, tidak akan ada mata yang mampu menutupi sorot kekaguman yang terpancar, tatkala langkah kaki memasuki pintu ballroom yang juga telah disulap bak lorong yang penuh dengan gemerlap kristal. Chocolate fountain menjulang tinggi di empat sudut ballroom dengan hamparan bermacam bentuk permen cantik yang mengelilinginya. Beberapa anak-anak bergaun indah tampak tengah mengagumi coklat pancur yang mengalir berundak-undak itu. Sementara para orang dewasa --juga dengan pakaian mahal dan bagus milik mereka, terlihat saling bercakap dengan akrab dan menikmati limpahan hidangan beraneka ragam yang ditata sangat artistik dan cantik. “Ah! Aku bosan. Aku mau ke temenku. Boleh Yah? Kak Una?” Mair
“Selamat lagi ya Runa..” Fathan tiba-tiba ada di dekat Aruna dan memberikan ucapan selamat yang tulus pada wanita itu. “Makasih Mas..” senyum Aruna. “Mohon maaf, saya ingin mengamankan seseorang di sini yang berpotensi merusak acara pernikahan ini,” ujar pria berkacamata itu lagi sambil memandang Shanti lekat. “Hah? Gue?” Shanti menunjuk dirinya sendiri tak terima. “Oh boleh, silakan..” jawab Aruna cepat. Pengantin wanita itu mengulum senyum. Fathan lalu menarik tangan Shanti dan membawanya menjauh setelah sekali lagi meminta izin dari Aruna. Jasmine dan Najla terdiam dan saling melempar pandangan. “Apa undangan pernikahan lainnya akan segera datang ke kita?” Najla bergumam. “Kayanya…” respon Aruna. “Hah? Siapa yang nikah?” Jasmine menoleh bergantian pada Aruna dan juga Najla, yang kemudian sama-sama menepuk jidat atas kelemotan teman mereka yang satu itu. Kedua sahabat itu tertawa lagi, menggoda Jasmine. Sedang asyiknya mereka bertiga, seseorang menghampiri meja Aruna dan
Holaaaa GoodReaders teman setia Aruna dan Brahmana! Akhirnya kita sampai di penghujung cerita mereka berdua. Terima kasih yaa kalian sudah melanjut bersama Author hingga di bab terakhir. Terima kasih juga Author sampaikan pada kalian untuk semua gems, ulasan positif, komentar penyemangat yang membuat Author terus dalam Mode On menulis... ^^ Maapken juga kalau ada beberapa typo dan kesalahan-kesalahan diksi pada penuturan kalimat yang Author tulis. Semoga ke depan Author lebih baik lagi. Ditunggu saja ya, karya lain author di aplikasi GoodNovel ini. ^^ By the waayyyy..... Apakah ada yang mau extra part Runa dan Agha di malam pertama mereka?? Cungg yang mau, berikan ulasan dan komentar kalian di bawah ini yaa. Extra Part akan segera meluncur malam ini juga, jika author mendapatkan selusin lebih komentar kalian..! Ditunggu komennya! Muuacch!
Okee baiklaah.. Author luncurkan nih extra part malam pertama Aruna dan Brahmana.Plis, yang dibawah umur, menyingkir dulu yaa ^,^=== * * * ===Aruna membuka pintu kamar mandi lalu berjalan menyusuri walk in closet untuk tiba di ruang tidur utama dalam kediaman Brahmana.Malam ini adalah malam pertama Aruna tidur di kediaman ini dengan status sebagai Nyonya Muda Dananjaya.Dadanya berdebar cepat dengan irama tak beraturan, hingga tanpa sadar ia menekan dadanya dengan tangan.Ia baru selesai membersihkan diri dan menunggu kedatangan Brahmana ke kamar, karena sebelumnya, Brahmana menyelesaikan satu pertemuan melalui video call conference di ruang kerjanya.Langkah wanita muda itu terhenti di tengah kamar besar dengan mata terpaku pada satu sudut di dalam kamar itu.Napasnya tercekat dan tertahan, saat melihat sosok bak patung dewa Yunani itu berdiri di dekat jendela kaca besar menghadap balkon.Helaian vitrase yang lembut
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m