“Hah! Anak Nakal itu memutus telepon ku begitu saja! Dasar tidak sopan!” gerutu Dananjaya sambil menatap ponselnya dengan kesal. Nuh mendekat dan mengambil ponsel itu dari Dananjaya. “Kalau saja Anak Keras Kepala itu memenuhi kencan buta yang aku atur, Aruna sudah lama ku suruh pulang!” dengkusnya lagi masih dengan sisa kesal. “Tuan Muda seorang yang setia, sama seperti Anda, Tuan Besar,” cetus Nuh tersenyum kecil. Kalimat itu membuat Dananjaya terdiam sejenak lalu mengembus napas pelan. “Mungkin kau benar.” “Dia memang benar-benar keturunan ku. Pemilik darah Dananjaya sejati,” imbuhnya terselip nada bangga. “Anda memang seorang penyayang dan selalu memikirkan kebaikan untuk keluarga.” Nuh mengucapkan dengan sungguh-sungguh, membuat Dananjaya mendesah samar. Netra tua itu mengerjap. Lalu ingatannya melayang pada percakapan dengan wanita pengasuh Maira, dua setengah tahun lalu. “Aku minta kamu pergi jauh dari sini.” Dananjaya berkata tegas dengan tatapan lurus pada Aruna yang b
Tanpa berkedip, Brahmana menatap makhluk menawan yang duduk di hadapannya.“Apakah… Anda kecewa?” Wanita muda itu menatap balik Brahmana penuh arti.Bibir penuh dan sensual milik Brahmana terkatup. Iris matanya bergetar tanpa kelopak yang bersedia menutup sklera putih cemerlang yang berbinar itu.“Kenapa diam?”Sungguh, demi apapun.Suara yang keluar dari bibir madu berpulas lipstik warna coral itu bagaikan senandung yang berdenting indah di lorong pendengaran Brahmana. Ia ingin berlama-lama mendengar nada merdu yang terlahir dari dua kata singkat itu.“Agha… kau membuatku takut…” Kali ini wanita muda itu berkata lirih.Tanpa menjawab, Brahmana mengulurkan tangan melintasi dua gelas kaki di antara mereka dan meraih tangan wanita muda itu yang terlipat di atas meja.“Aku hanya--” Brahmana menatap kian lekat dengan jemari yang mengisi semua celah k
“Mengapa kau diam saja? Ayo turun.” Aruna mengerutkan dahi ketika melihat Brahmana masih diam di balik kemudi dengan wajah gugup dan tegang. Mereka telah satu menit lebih berdiam di dalam sedan mewah milik Brahmana yang berhenti di depan sebuah rumah minimalis moderen. “Ini tempat tinggalmu?” tanya Brahmana tanpa mengalihkan pandangannya pada rumah yang terbangun indah di atas tanah seluas dua ratus delapan puluh meter itu. “Kau sudah menanyakan itu dua kali, Agha. Iya, itu tempat tinggalku dan ayah, dan kita sudah sampai. Rumah yang kau tahu dari Fathan, itu rumah pemberian dari Tuan Besar.” “Kenapa tidak kau tinggali saja rumah pemberian kakek itu?” “Kan tadi juga sudah kujawab, Agha. Karena aku lebih suka tinggal di tempat yang merupakan hasilku sendiri.” Terjadi jeda beberapa detik. Namun tanpa memalingkan tatapan, Brahmana melemparkan pertanyaan lain. “Apa.. sebaiknya kita berputar dulu? Untuk membeli buah tangan untuk ayah.” “Buah tangan?” Kening Aruna kian berkerut. “Ya
Aruna mendekat dan membimbing Brahmana dengan menggamit lengan pria bertubuh tinggi itu untuk duduk di sofa kulit panjang. Ia sendiri kemudian mengambil kantong bawaan yang dijatuhkan Brahmana, lalu beranjak ke dapur, meninggalkan kedua pria kesayangannya itu duduk berhadapan di ruang tamu. Terjadi keheningan yang kaku di ruang tamu untuk sesaat, sebelum Erwin mengurai senyum dan bertanya ramah pada Brahmana. “Bagaimana kabar Nak Brahmana?” CEO tampan, pemimpin Dananjaya Group itu masih menundukkan kepala. Gestur tubuhnya memperlihatkan betapa ia masih resah dan dipenuhi rasa bersalah. “Nak Brahmana?” “Ah --oh, iya. Saya.. saya baik, Pak.” Brahmana menaikkan kepala dan menjawab dengan canggung. Netra kelam itu bergetar menatap pria paruh baya yang duduk tegak di hadapannya. Sungguh, bagai mimpi. Pria paling dikasihi Aruna itu, kini telah mampu bergerak normal. Menopang tubuhnya sendiri dengan kuat dan mantap, seakan tidak pernah mengalami kelumpuhan nyaris total. Brahmana meng
“Ini off the record ya.” Sandra memelankan volume suara. “Gue denger dari OB, saat kemaren beres meeting, Aruna masuk ke ruangan Direktur. Dan lama berada di sana.”“Apa?! Lu gak boong? Masuk ke ruangan Direktur?! Ngapain? Sama pak GM?”“Justru di situ anehnya. Dia masuk sendirian, pak GM kan dah turun ke ruangannya sendiri. Makanya, ngapain coba? Lebih dari setengah jam lho Aruna di dalam sana.” Sandra berkata meyakinkan.“Kalo memang dipanggil, dan urusan kerjaan, kita semua tau, gak ada yang pernah masuk langsung ke ruangan pak Dir. Paling kalo kerjaan, pak GM yang manggil. Plus kagak pernah lama kan? Paling sepuluh menitan doang.”“Iya sih. Kamu bener San.” Rekan wanita di sisi kiri Sandra mengangguk membenarkan.“Wah, ini sih berita besar! Ternyata dia bisa masuk dan langsung pegang jabatan manajer, karena ada hubungan sama Direktur!”“Tadi juga gu
Nesya juga menyadari ada bayangan aneh di depan, lalu mengangkat pandangan perlahan dan terhenti di atas meja, di depannya. “Run… kok tangan yang ada di foto sekarang ada di meja kita?” Nesya mengerjap. Matanya menatapi satu tangan yang bertumpu di sisi meja Aruna duduk, bersanding dengan kedua tangan Aruna yang terlipat di atas meja. Nesya perlahan mendongak mengikuti tangan maskulin itu. Dan saat itu juga ia tertegun. “Ru-Ru.. Runa…” Mulut Nesya terbuka nyaris lebar. Ia kini melihat satu sosok menakjubkan tengah berdiri di sisi Aruna dengan satu tangan bertopang pada sandaran kursi Aruna dan tangan satu lagi bertopang di atas meja. “Agha… ngapain kesini?” bisik Aruna sedikit mendelik. “Kau akan membuat keributan!” omelnya lagi, masih tetap berbisik. “Benarkah?” Suara dalam dan berat itu mengalun pelan. “Tapi faktanya, kantin ini menjadi sepi setelah aku di sini.” Nesya nyaris lupa bernapas. Kedua matanya membelalak sempurna dan tak kunjung berkedip. Brahmana --Sosok yang m
Holaaaa GoodReaders!! Beberapa bab lagi, kisah Aruna dan Brahmana akan segera menuju ending yaa. Terima kasih teramat sangat Author sampaikan pada semua teman-teman GoodReaders yang setia menemani Runa dan Agha hingga menjelang tamat. Author juga sangat berterima kasih pada teman-teman setia Runa yang memberi dukungan, baik dalam bentuk review positif, komentar di tiap bab, maupun pemberian GEMS / Vote pada Author. Sebagai bentuk rasa syukur dan apresiasi Author, Author ingin sedikiiit berbagi pada teman-teman di peringkat 1 sampai 5 dalam jumlah pemberian Gems untuk karya Author DIBUANG MANTAN, DIKEJAR CEO SULTAN ini, berupa pulsa. Follow I*G Author di storiesbybintang untuk mengetahui S&K nya yaa... Pemenang akan Author lihat pada posisi peringkat di tanggal 31 Januari 2024 jam 19.00 besok yaaa... See you tomorrow!! ^,^
“Kak Unaaaa!” Pekikan nyaris histeris itu langsung bergema memenuhi seantero halaman sekolah.Senyum Aruna mengembang lebar saat melihat seorang gadis kecil menyerbu.Ia lalumelebarkan kedua tangan dan menurunkan tubuh, bersiap menerima hantaman pelukan dari gadis kecil bermata bulat, yang kini telah berusia delapan tahunan.Kedua keturunan hawa berbeda generasi itu lalu berpelukan erat.“Kak Una jahaat! Kenapa baru sekarang kak Una temuin Mai!” Suara isakan kemudian keluar, namun teredam dengan baik di dada Aruna.Dielusnya penuh kasih dan rasa penyesalan yang dalam kepala Maira oleh Aruna. Ia memiringkan kepala dan mengecup berkali-kali puncak kepala Maira.“Maafin kak Una ya, Sayang. Maafin kak Una..” pinta Aruna dengan lembut. Suaranya yang sedikit parau tidak dapat menyembunyikan betapa dirinya juga teramat sedih campur haru, bisa bertemu gadis kecil itu lagi.“Apa kak Una membenci
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m