“Apa kau baik-baik saja?”Pertanyaan yang meluncur dari bibir Ardiya itu dijawab oleh anggukan kepala Aruna.Mereka berdua berada dalam satu kafe yang sedikit jauh dari pusat kota.Ardiya sebelumnya tengah bersantai di apartemen miliknya, ketika Aruna mendatangi dirinya di sana.Aruna kehilangan nomor kontak Ardiya karena ponselnya yang hilang, lalu berkata ingin berbicara khusus dengan Ardiya, namun menolak bicara di dalam apartemen milik Ardiya tersebut.Tentu saja Ardiya memahami kekhawatiran Aruna. Akhirnya pria muda sepupu Brahmana itu mengajak Aruna berbicara di luar.Usulan itu diterima Aruna, namun tetap meminta Ardiya untuk menuju kafe biasa yang tidak berada di pusat kota.“Aku baik.”Suara Aruna mengayun pelan untuk menjawab pertanyaan pembuka dari pembicaraan mereka.Ardiya menyipitkan matanya. “Yakin? Kau terlihat pucat, Runa.”“Ya. Aku baik-baik saja Diya.&rd
“Ya. Sebaiknya segera Anda lakukan apa yang saya minta.” Syam lalu menutup sambungan teleponnya pada seseorang. Ia menekan nomor kontak lain dan mulai berbicara lagi secara singkat. Entah apa yang dibicarakannya, namun saat ia telah selesai, ia mengempas tubuh dengan kasar di atas sofa panjang ruang tengahnya. Tangannya mengusap wajah dengan gelisah, berusaha mengenyahkan rasa bersalah dan juga gundah yang terus menerpa dirinya sejak semalam. “Tuan Pandhu.. maafkan aku. Aku tidak punya jalan lain untuk menyelamatkan putraku satu-satunya,” bisik lirih pria paruh baya itu seolah berbicara pada seseorang di depannya. “Dia satu-satunya harta berharga milikku…” desahnya lagi dengan kelopak mata yang menutup, seakan hal itu bisa meredam rasa berat di kepalanya. Syam baru saja menikmati berat di kepalanya itu beberapa menit, ketika ponselnya kembali mengeluarkan suara. Satu panggilan masuk memaksa Syam untuk membuka mata kembali. Ia bangkit dan meraih ponsel miliknya. Keningnya berke
‘Ayaaaah!! Tidak!’‘Korban telat mendapatkan penanganan, Dok. Kondisinya mungkin tidak tertolong.’‘Kami mohon maaf karena menyampaikan ini. Bapak Erwin dalam keadaan koma.’‘Kasian kamu Nak. Berdoa saja agar ayah kamu bisa segera bangun kembali..’‘Kamu anak cantik, mungkin bisa sedikit membantuku. Coba ke ataskan rok kamu. Mungkin saya akan pertimbangkan untuk mengusut kasus ini lebih jauh…’‘Ingat kata-kataku baik-baik anak kecil. Jika kamu datang lagi membuat keributan, maka kami tak akan segan-segan menyeretmu ke dalam kurungan!’‘Lepaskan aku!! Lepaskan!’Pandangan sekeliling seketika gelap.“Hah!!”Aruna meraup udara sebanyak-banyaknya.Ia bangun terduduk dengan peluh jagung di pelipisnya.Kedua tangan kemudian terangkat dan meremas rambut di sisi kanan dan kiri, dengan napas tersengal.Matan
Langkah kaki itu terhenti di depan pintu dalam salah satu ruangan di lantai dua. Tangan rampingnya mendorong pelan setelah memutar handel pintu, hingga membuka. Aruna menahan napas ketika pintu itu terbuka lebar dan menampilkan ruang gelap tanpa pencahayaan. Setelah sarapan bersama Brahmana tadi pagi dan memastikan Brahmana pergi bekerja, ia menguatkan hati untuk tetap naik ke atas dan mencari tahu apa yang telah mengganggunya belakangan ini. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan akan ada yang mengganggunya, karena ia yakin --meskipun tanpa dikatakan, Ima mengetahui Aruna mendapat perlakuan khusus dari Brahmana. Dan itu membuat wanita paruh baya yang telah mengabdi di kediaman ini mungkin akan berpikir ulang untuk menegurnya, sekalipun Aruna kedapatan memasuki ruangan ini. Tangan Aruna terangkat dan menekan saklar lampu, hingga membuat ruangan itu seketika terang. Pandangannya teredar ke sekeliling dan lagi-lagi berhenti pada pigura besar yang memajang gambar diri seorang wanita cant
“Semua berjalan sesuai yang kita harapkan. Syam telah menggerakkan orang-orang yang loyal pada Pandhu untuk menjualnya pada kita.” Joe tersenyum puas. Matanya lekat pada tablet di tangannya memantau laporan yang masuk di sana. Ardiya menghirup dan menyesap minuman berwarna kuning keemasan yang sedari tadi ia pegang. Heningnya Ardiya membuat Joe berpaling pada pria muda itu dengan alis menurun. “Kau mendengarkan?” “Hm.” Joe lalu meletakkan tablet dan berpindah duduk di sisi kanan Ardiya. “Apa yang kau pikirkan? Apa ada masalah dengan proses ini?” Ardiya menyesap lagi minuman dalam gelas berkaki itu. “Tidak ada masalah,” ucapnya santai. “Kau terlihat tidak fokus.” “Tidak. Aku fokus. Hanya menunggu sesuatu.” “Menunggu sesuatu?” Tepat setelah ujung kalimat Joe itu, ponsel milik Ardiya berdering. Pria muda itu tidak tergesa meraih ponsel dan menjawab panggilan tersebut. ‘Diya…’ Suara bergetar itu lalu terdengar. “Ya. Aku di sini. Ada apa?” Ardiya menjawab dengan nada intens.
“Besok akan menjadi hari paling membahagiakan, bukankah begitu Suamiku?” Melissa dengan riang meletakkan secangkir kopi di hadapan Harsa.“Kevin kita benar-benar anak berbakti dan pintar,” ujarnya lagi saat tidak mendapati Harsa menanggapi kata-katanya.Harsa menatap Melissa dengan pandangan kompleks, setelah ia meletakkan selembar undangan rapat umum pemegang saham luar biasa yang akan dilakukan di Dananjaya Group besok.“Apakah kau mengetahui ini dari lama?” tanyanya.“Tidak penting kapan atau bagaimana aku mengetahuinya. Yang penting, apa yang kita harapkan akan segera terwujud.” Melissa mengembangkan senyumnya.“Apa yang kita harapkan?” Harsa membeo dengan kedua mata Harsa menyipit.“Ya. Tentu saja.”“Aku tidak pernah berpikir untuk merebut DG dari ayah!”Senyuman di wajah Melissa memudar. “Apa maksudmu kau tidak pernah berpikir hal it
Brahmana tengah duduk di kursi CEO miliknya di gedung pusat Dananjaya Group. Matanya memang mengarah pada tumpukan dokumen di atas meja, namun pikirannya melanglang buana sejak ia selesai meeting beberapa saat lalu. Entah apa ia mendengarkan Fathan yang sejak tadi menyebutkan serentetan jadwal Brahmana selanjutnya di sisa sore hari ini. Namun suara Fathan tidak terdengar lagi. Berganti hening tatkala ia menjawab satu telepon masuk. Brahmana masih menyadari keheningan itu dan melirik sekilas pada Fathan. “Oke. Amankan mereka.” Kalimat Fathan tersebut menarik perhatian Brahmana, sehingga pria tampan berjas hitam itu mengangkat wajahnya kembali pada sang sekretaris. Tatapannya datar, menunggu penjelasan dari Fathan. “Tuan. Orang yang membawa Nona Aruna ke dalam mobil, telah ditemukan.” “Apa?” Desisan Brahmana tertangkap jelas oleh Fathan yang buru-buru melanjutkan penjelasannya. “Mereka telah ditangkap dan diamankan di satu tempat.” Brahmana segera berdiri dan berjalan melalui
Derap langkah tergesa dan dipenuhi entakan amarah, terdengar menggema dalam ruang besar di mansion milik Dananjaya.Brahmana sama sekali tidak menghiraukan sapaan beberapa pelayan yang ia lalui, saat hendak menuju ke ruang kerja milik kakeknya.Namun belum sempat ia tiba di lantai dua, seorang pelayan paruh baya dan berseragam terlihat menuruni tangga dengan tergesa dan panik.Brahmana mengerutkan kening melihat kepanikan pelayan yang merupakan kepala pelayan dalam mansion itu.“Pak. Ada apa?” Brahmana menegur kepala pelayan itu begitu si pelayan tiba di lantai dasar.“Tuan Besar.. Tuan Besar pingsan..” jawab Kepala Pelayan itu terbata.Brahmana terkejut, namun ia menahan mimik wajahnya tetap tenang.“Sudah panggil dokter?”“Sudah, Tuan Muda.” Kepala pelayan mengangguk cepat. “Saya sekarang akan menyuruh bagian dapur untuk membuatkan ramuan obat untuk Tuan Besar.”
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m