Derap langkah tergesa dan dipenuhi entakan amarah, terdengar menggema dalam ruang besar di mansion milik Dananjaya.
Brahmana sama sekali tidak menghiraukan sapaan beberapa pelayan yang ia lalui, saat hendak menuju ke ruang kerja milik kakeknya.
Namun belum sempat ia tiba di lantai dua, seorang pelayan paruh baya dan berseragam terlihat menuruni tangga dengan tergesa dan panik.
Brahmana mengerutkan kening melihat kepanikan pelayan yang merupakan kepala pelayan dalam mansion itu.
“Pak. Ada apa?” Brahmana menegur kepala pelayan itu begitu si pelayan tiba di lantai dasar.
“Tuan Besar.. Tuan Besar pingsan..” jawab Kepala Pelayan itu terbata.
Brahmana terkejut, namun ia menahan mimik wajahnya tetap tenang.
“Sudah panggil dokter?”
“Sudah, Tuan Muda.” Kepala pelayan mengangguk cepat. “Saya sekarang akan menyuruh bagian dapur untuk membuatkan ramuan obat untuk Tuan Besar.”
Brahmana termenung dalam perjalanan menuju kantor. Percakapan singkatnya dengan Aruna tadi pagi, membuat dirinya kian tenggelam dalam kemelut. Sudah beberapa hari ini kekasihnya itu memang terlihat bersikap biasa dan tidak menghindari dirinya seperti ketika Aruna tengah marah padanya, namun Brahmana dapat merasakan perbedaan yang sangat nyata dari diri Aruna. Aura yang menguar dari tubuh wanita muda itu, terasa sangat sepi dan sedikit memilukan. Brahmana merasa tidak tahan lagi, menunggu Aruna mengungkapkan ganjalan hatinya. Ia lalu memberanikan diri mengungkap yang ia yakini menjadi biang keladi-nya. “Aruna…” Wanita muda itu menoleh dari kegiatannya menata bekal untuk Maira. “Ya?” “Bisa kita bicara sebentar?” “Bukankah kau bilang hari ini ada rapat penting?” “Sebentar saja. Aku merasa tidak tenang sebelum kita bicara,” ujar Brahmana. “Kenapa?” Aruna memutar tubuh menghadap Brahmana. Tangannya berpindah ke depan tubuh dan saling berkait. “Aku tahu kau ingin menghindari per
Gedung Dananjaya Pusat menjulang tinggi dengan gagah. Gedung megah yang menjadi kebanggaan serta ikon Dananjaya Group itu, dinyatakan sebagai gedung kantor termewah dan termegah di seluruh penjuru negara ini. Namun berbanding terbalik dengan kemegahan yang menakjubkan itu, ketegangan menyelimuti satu ruangan besar. Dalam dua sisi saling berhadapan dengan pemisah satu meja oval panjang yang dilengkapi set mikrofon, telah duduk berderet pria dan juga wanita dalam balutan setelan jas mahal mereka. Beberapa dari mereka berbincang dengan berbisik, sementara yang lainnya duduk tenang sambil beberapa kali melirik jam tangan di pergelangan tangan. Pintu ruang rapat terbuka, Harsa datang dengan diikuti Ardiya di belakangnya. Mereka mengambil tempat sisi kanan paling depan, dekat kursi utama di ujung meja oval tersebut. Beberapa orang menatap Ardiya dengan tatapan bingung, namun yang lainnya mengangguk dan tersenyum penuh hormat pada Harsa dan Ardiya. Tidak lama berselang, pintu kembali
BRAAKKK!! PRAAANGG!! Amukan Ardiya membuat dua orang pelayan bersembunyi ketakutan. Tidak ada satu orang pun di dalam rumah itu yang berkata apapun. Bukan karena sama ketakutan dengan dua pelayan tadi, namun karena mereka sama marah dan kecewanya. “Lalu apa setelah ini?!” Melissa memekik histeris. “Mengapa kamu tidak tahu bahwa persentase milik publik ternyata telah beralih menjadi milik Brahmana?!” Mata berkilat marah Melissa beralih pada Ardiya yang terengah setelah melempar guci cukup besar. “Dan bahkan Brahmana bisa membuat afiliasi pengendali berpihak padanya! Dua puluh tiga persen sisanya mutlak berada di sisi Brahmana! Bodoh kamu!!” Kini giliran wanita itu melempar vas bunga di dekatnya yang bisa ia raih. Di saat-saat genting tadi, pihak pengendali afiliasi datang dan memberikan sikap. Namun yang lebih membuat mereka semua terkejut, saham publik sebesar empat persen ternyata telah dikendalikan oleh Brahmana juga. Itu artinya, meski Pengendali Afiliasi yang memegang 19% s
“Saya memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kakek. Tapi mengapa kakek mengecewakan saya?” ujar Brahmana dengan nada datar. Dananjaya terdiam dan mengerutkan kening. “Apa maksud kamu, Anak Nakal?” “Kakek sangat tahu maksud saya.” Brahmana menarik napas lalu mengembusnya perlahan. Ia berusaha menata dirinya untuk tidak tergerus amarah di hadapan sang kakek. “Kakek tidak paham. Apa kamu kecewa karena kakek tidak datang dan menghadiri rapat tadi pagi? Dengar, meski kakek tidak hadir, tapi kakek berencana akan memberi pelajaran kepada mereka yang berpihak melawan kakek. Jadi kamu--” “Saya tidak bicara soal itu. Dan saya tidak peduli dengan mereka, karena setelah ini mereka pasti tidak akan berani melakukan apa-apa lagi jika masih ingin menjadi bagian dari DG.” Brahmana menyela. Ia lalu menoleh pada Nuh dan menatap tajam. “Tentang Aruna.” “Apa?” Dananjaya mengikuti arah tatapan Brahmana pada asistennya. “Ada apa dengan pengasuh itu? Nuh?” Brahmana menoleh lagi pada sang kak
“Tidak saya sangka, Tuan Muda Kevin sampai hati melakukan adu domba ini pada Anda dan Tuan Besar.” Fathan berkata pelan.Ia melirik melalui spion tengah, Brahmana yang duduk di belakang dengan arah pandangan yang terus berada ke luar jendela.Telah beberapa menit mereka berada di dalam mobil kembali dalam keadaan hening. Meskipun itu bukan hal aneh bagi Fathan, namun keheningan yang terjadi saat ini sedikit berbeda.Ia paham sang Bos Besar-nya tengah berpikir keras dan berada dalam dilema, karena yang ia hadapi saat ini bukanlah benar-benar rival, melainkan adik sepupunya sendiri.Belum lagi saat ia mendengar Ferliana menjelaskan bahwa ternyata kejadian Aruna dibawa ke dalam mobil, bukan semata-mata untuk menakut-nakuti Aruna.Tapi untuk dibawa bertemu Aruna.Menurut pengakuan Ferliana pula, seseorang datang dan membayar Ferliana untuk menyerahkan sebuah amplop pada Aruna.Raut wajah sang CEO terlihat menggelap dengan alis
Kedua kaki Aruna terpasak di lantai beberapa saat lamanya. Kedua tangannya terkepal kuat dan menahan gemuruh di dada. Beberapa kalimat lainnya telah terdengar dan membuat Aruna memahami sesuatu. Ardiya, membohongi dan membodohinya. Ardiya, adalah orang berbahaya lainnya dari keluarga Dananjaya. Tidak ada satu pun dari keluarga itu yang bisa ia percaya. Keluarga konglomerat itu memang ternyata hanya bisa menginjak-injak harga diri orang biasa seperti dirinya dan ayahnya. Aruna mundur dua langkah lalu menutup pelan pintu apartemen itu, tanpa menimbulkan suara. Menarik napas dalam-dalam dan menahan gejolak dalam dadanya, ia lalu menekan bel. Tidak menunggu lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok ceria Ardiya seperti yang biasanya Aruna kenali. “Kau datang, Runa. Masuklah,” ujar Ardiya riang. Aruna menatap Ardiya sekilas lalu melangkah masuk. Ia mengikuti Ardiya setelah pria muda itu menutup pintu. “Aku dah nungguin dari tadi, lho..” Pria itu berjalan sambil berkata riang lagi
Mohon maaf Author baru update lagi setelah dua hari absen. Semoga GoodReaders tetap setiap mengikuti kisah Aruna ini ya...Enjoy!! ^.^=== * * * ===Langkah Brahmana limbung seketika.Tangannya meremas amplop berisi sejumlah uang dengan bertuliskan ‘Uang pengganti kontrakan di awal kerja’, yang ia temukan di atas meja tamu begitu masuk ke rumah yang ditinggali Aruna.Netra kelam itu memindai dengan liar, namun berapa kali pun ia mencari dan mengobrak abrik isi di rumah itu, ia tidak menemukan tanda-tanda bahwa Aruna masih tinggal di sana.Seluruh barang pribadi Aruna, tidak ada.“Cari sekali lagi!” perintahnya pada Fathan.Fathan memberi kode pada lima pengawal pribadi Brahmana yang mengikutinya ke dalam rumah yang sempat dihuni Aruna.Mereka mencari benda atau apapun itu yang tertinggal, yang bisa dijadikan petunjuk keberadaan Aruna.Brahmana masuk lagi ke kamar Aruna dengan tangan m
“Apa maksudmu?!”“Sa-saya tidak tahu Tuan. Tiba-tiba Nona mengatakan sepertinya ban mobil bocor dan meminta berhenti di tengah jalan. Saat saya keluar, seseorang membius saya dari belakang.”“Bagaimana bisa!” Ardiya mengumpat.“Saya juga tidak tahu. Setelah sadar, saya ada di puskesmas. Katanya dibawa warga sekitar. Mobil juga tidak ada, karena itu saya kembali ke sini dengan bis umum.”BRAK!!Ardiya menggebrak meja membuat laki-laki yang berdiri di hadapannya kaget dan mundur ketakutan satu langkah dengan tangan saling berkait.“Maksudnya apa ini…” desis Ardiya.“Apa cewek itu kabur dari kamu juga, Kev?” Joe yang sejak tadi diam memperhatikan, berkomentar.“Tidak mungkin! Dia meminta bantuan padaku. Bagaimana mungkin dia pergi atau kabur dariku,” bantah Ardiya.‘Apalagi kami punya kesepakatan bahwa dia akan memberitahuka