“Semua berjalan sesuai yang kita harapkan. Syam telah menggerakkan orang-orang yang loyal pada Pandhu untuk menjualnya pada kita.” Joe tersenyum puas. Matanya lekat pada tablet di tangannya memantau laporan yang masuk di sana. Ardiya menghirup dan menyesap minuman berwarna kuning keemasan yang sedari tadi ia pegang. Heningnya Ardiya membuat Joe berpaling pada pria muda itu dengan alis menurun. “Kau mendengarkan?” “Hm.” Joe lalu meletakkan tablet dan berpindah duduk di sisi kanan Ardiya. “Apa yang kau pikirkan? Apa ada masalah dengan proses ini?” Ardiya menyesap lagi minuman dalam gelas berkaki itu. “Tidak ada masalah,” ucapnya santai. “Kau terlihat tidak fokus.” “Tidak. Aku fokus. Hanya menunggu sesuatu.” “Menunggu sesuatu?” Tepat setelah ujung kalimat Joe itu, ponsel milik Ardiya berdering. Pria muda itu tidak tergesa meraih ponsel dan menjawab panggilan tersebut. ‘Diya…’ Suara bergetar itu lalu terdengar. “Ya. Aku di sini. Ada apa?” Ardiya menjawab dengan nada intens.
“Besok akan menjadi hari paling membahagiakan, bukankah begitu Suamiku?” Melissa dengan riang meletakkan secangkir kopi di hadapan Harsa.“Kevin kita benar-benar anak berbakti dan pintar,” ujarnya lagi saat tidak mendapati Harsa menanggapi kata-katanya.Harsa menatap Melissa dengan pandangan kompleks, setelah ia meletakkan selembar undangan rapat umum pemegang saham luar biasa yang akan dilakukan di Dananjaya Group besok.“Apakah kau mengetahui ini dari lama?” tanyanya.“Tidak penting kapan atau bagaimana aku mengetahuinya. Yang penting, apa yang kita harapkan akan segera terwujud.” Melissa mengembangkan senyumnya.“Apa yang kita harapkan?” Harsa membeo dengan kedua mata Harsa menyipit.“Ya. Tentu saja.”“Aku tidak pernah berpikir untuk merebut DG dari ayah!”Senyuman di wajah Melissa memudar. “Apa maksudmu kau tidak pernah berpikir hal it
Brahmana tengah duduk di kursi CEO miliknya di gedung pusat Dananjaya Group. Matanya memang mengarah pada tumpukan dokumen di atas meja, namun pikirannya melanglang buana sejak ia selesai meeting beberapa saat lalu. Entah apa ia mendengarkan Fathan yang sejak tadi menyebutkan serentetan jadwal Brahmana selanjutnya di sisa sore hari ini. Namun suara Fathan tidak terdengar lagi. Berganti hening tatkala ia menjawab satu telepon masuk. Brahmana masih menyadari keheningan itu dan melirik sekilas pada Fathan. “Oke. Amankan mereka.” Kalimat Fathan tersebut menarik perhatian Brahmana, sehingga pria tampan berjas hitam itu mengangkat wajahnya kembali pada sang sekretaris. Tatapannya datar, menunggu penjelasan dari Fathan. “Tuan. Orang yang membawa Nona Aruna ke dalam mobil, telah ditemukan.” “Apa?” Desisan Brahmana tertangkap jelas oleh Fathan yang buru-buru melanjutkan penjelasannya. “Mereka telah ditangkap dan diamankan di satu tempat.” Brahmana segera berdiri dan berjalan melalui
Derap langkah tergesa dan dipenuhi entakan amarah, terdengar menggema dalam ruang besar di mansion milik Dananjaya.Brahmana sama sekali tidak menghiraukan sapaan beberapa pelayan yang ia lalui, saat hendak menuju ke ruang kerja milik kakeknya.Namun belum sempat ia tiba di lantai dua, seorang pelayan paruh baya dan berseragam terlihat menuruni tangga dengan tergesa dan panik.Brahmana mengerutkan kening melihat kepanikan pelayan yang merupakan kepala pelayan dalam mansion itu.“Pak. Ada apa?” Brahmana menegur kepala pelayan itu begitu si pelayan tiba di lantai dasar.“Tuan Besar.. Tuan Besar pingsan..” jawab Kepala Pelayan itu terbata.Brahmana terkejut, namun ia menahan mimik wajahnya tetap tenang.“Sudah panggil dokter?”“Sudah, Tuan Muda.” Kepala pelayan mengangguk cepat. “Saya sekarang akan menyuruh bagian dapur untuk membuatkan ramuan obat untuk Tuan Besar.”
Brahmana termenung dalam perjalanan menuju kantor. Percakapan singkatnya dengan Aruna tadi pagi, membuat dirinya kian tenggelam dalam kemelut. Sudah beberapa hari ini kekasihnya itu memang terlihat bersikap biasa dan tidak menghindari dirinya seperti ketika Aruna tengah marah padanya, namun Brahmana dapat merasakan perbedaan yang sangat nyata dari diri Aruna. Aura yang menguar dari tubuh wanita muda itu, terasa sangat sepi dan sedikit memilukan. Brahmana merasa tidak tahan lagi, menunggu Aruna mengungkapkan ganjalan hatinya. Ia lalu memberanikan diri mengungkap yang ia yakini menjadi biang keladi-nya. “Aruna…” Wanita muda itu menoleh dari kegiatannya menata bekal untuk Maira. “Ya?” “Bisa kita bicara sebentar?” “Bukankah kau bilang hari ini ada rapat penting?” “Sebentar saja. Aku merasa tidak tenang sebelum kita bicara,” ujar Brahmana. “Kenapa?” Aruna memutar tubuh menghadap Brahmana. Tangannya berpindah ke depan tubuh dan saling berkait. “Aku tahu kau ingin menghindari per
Gedung Dananjaya Pusat menjulang tinggi dengan gagah. Gedung megah yang menjadi kebanggaan serta ikon Dananjaya Group itu, dinyatakan sebagai gedung kantor termewah dan termegah di seluruh penjuru negara ini. Namun berbanding terbalik dengan kemegahan yang menakjubkan itu, ketegangan menyelimuti satu ruangan besar. Dalam dua sisi saling berhadapan dengan pemisah satu meja oval panjang yang dilengkapi set mikrofon, telah duduk berderet pria dan juga wanita dalam balutan setelan jas mahal mereka. Beberapa dari mereka berbincang dengan berbisik, sementara yang lainnya duduk tenang sambil beberapa kali melirik jam tangan di pergelangan tangan. Pintu ruang rapat terbuka, Harsa datang dengan diikuti Ardiya di belakangnya. Mereka mengambil tempat sisi kanan paling depan, dekat kursi utama di ujung meja oval tersebut. Beberapa orang menatap Ardiya dengan tatapan bingung, namun yang lainnya mengangguk dan tersenyum penuh hormat pada Harsa dan Ardiya. Tidak lama berselang, pintu kembali
BRAAKKK!! PRAAANGG!! Amukan Ardiya membuat dua orang pelayan bersembunyi ketakutan. Tidak ada satu orang pun di dalam rumah itu yang berkata apapun. Bukan karena sama ketakutan dengan dua pelayan tadi, namun karena mereka sama marah dan kecewanya. “Lalu apa setelah ini?!” Melissa memekik histeris. “Mengapa kamu tidak tahu bahwa persentase milik publik ternyata telah beralih menjadi milik Brahmana?!” Mata berkilat marah Melissa beralih pada Ardiya yang terengah setelah melempar guci cukup besar. “Dan bahkan Brahmana bisa membuat afiliasi pengendali berpihak padanya! Dua puluh tiga persen sisanya mutlak berada di sisi Brahmana! Bodoh kamu!!” Kini giliran wanita itu melempar vas bunga di dekatnya yang bisa ia raih. Di saat-saat genting tadi, pihak pengendali afiliasi datang dan memberikan sikap. Namun yang lebih membuat mereka semua terkejut, saham publik sebesar empat persen ternyata telah dikendalikan oleh Brahmana juga. Itu artinya, meski Pengendali Afiliasi yang memegang 19% s
“Saya memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kakek. Tapi mengapa kakek mengecewakan saya?” ujar Brahmana dengan nada datar. Dananjaya terdiam dan mengerutkan kening. “Apa maksud kamu, Anak Nakal?” “Kakek sangat tahu maksud saya.” Brahmana menarik napas lalu mengembusnya perlahan. Ia berusaha menata dirinya untuk tidak tergerus amarah di hadapan sang kakek. “Kakek tidak paham. Apa kamu kecewa karena kakek tidak datang dan menghadiri rapat tadi pagi? Dengar, meski kakek tidak hadir, tapi kakek berencana akan memberi pelajaran kepada mereka yang berpihak melawan kakek. Jadi kamu--” “Saya tidak bicara soal itu. Dan saya tidak peduli dengan mereka, karena setelah ini mereka pasti tidak akan berani melakukan apa-apa lagi jika masih ingin menjadi bagian dari DG.” Brahmana menyela. Ia lalu menoleh pada Nuh dan menatap tajam. “Tentang Aruna.” “Apa?” Dananjaya mengikuti arah tatapan Brahmana pada asistennya. “Ada apa dengan pengasuh itu? Nuh?” Brahmana menoleh lagi pada sang kak