“Tidak. Belum ada konfirmasi dari Pak Syam, Tuan.” Fathan menjawab pertanyaan Brahmana setelah ia menyerahkan beberapa berkas untuk di tanda-tangani.
Brahmana mengangkat kepala sesaat, lalu kembali fokus memeriksa berkas di atas mejanya, sebelum ia tanda tangani.
“Jadwal?”
“Jam sebelas siang ini Tuan ada video conference dengan direktur dan general manager. Jam satu Tuan meeting dengan presdir dari J&R di gedung Dune Intercontinental. Penandatanganan merger yang semula dijadwalkan sore ini, sesuai instruksi Tuan kemarin lusa, telah di atur ulang di minggu depan.” Fathan menyebutkan jadwal Brahmana hari ini dengan jelas.
Brahmana mengangguk kecil.
Ia meletakkan pena yang ia gunakan untuk menandatangani berkas-berkas, kembali ke wadah kristal berbentuk menara.
“Jika sampai besok lusa pak Syam masih belum memberikan konfirmasi apapun, lakukan penyelidikan tersendiri. Tapi berhati-hatilah. Jangan sam
“Yah, sebentar ya. Ini teman Runa telepon,” ujar Aruna setelah melihat layar ponsel miliknya yang berdering. Erwin mengangguk lalu memperhatikan putri tersayangnya itu berdiri lalu berjalan sedikit menjauh agar tidak mengganggu sang ayah. “Yup Diya. Ada apa? Mau nagih kopi?” tembak Aruna langsung begitu ia menggeser layar untuk menerima panggilan. ‘Wah, tau aja nih!’ Ardiya lalu terdengar terkekeh ringan menanggapi salam pembuka dari Aruna. “Iyalah. Yang pertama aja udah kaya debt collector, nagih-nagih terus,” cela Aruna main-main. ‘Hehehe iya juga sih. Emang kamu ada waktu?’ “Hari ini kebetulan memang izin untuk absen kerja, sih.” ‘Nah kebetulan. Tapi ini serius, aku mau traktir kamu makan, Run.’ “Wah! Dalam rangka apa?” Kedua alis Aruna terangkat sedikit. ‘Dalam rangka berterima kasih, karena hadiah pilihan kamu itu, disukai mamaku!’ jawab Ardiya riang. “Oh, beneran?” ‘Serius.’ “Emm… tapi…” Aruna berpikir sejenak. Ia teringat aturan yang ditetapkan Brahmana. Apakah ia t
“Untuk apa kau membawaku ke tempat makan mahal begini, Diya?” Aruna segera melayangkan protesnya begitu mobil Ardiya berbelok masuk ke pelataran parkir restoran yang dianggap mahal olehnya itu. “Tenang saja, kan aku yang traktir,” sahut Ardiya tenang. “Diya, mending ke tempat biasa aja.” “Kenapa? Kau takut aku nanti minta gantian di traktir di tempat mahal?” kekeh Ardiya. Aruna hanya menghela napas lalu mengalah untuk mengikuti kemauan Ardiya. Kepalanya terangkat naik memperhatikan restoran yang menggunakan bangunan jaman Belanda dulu. “Tenang aja, disini varian menu-nya banyak kok. Western, Asian sama lokal kita, ada.” Ardiya mematikan mesin lalu menoleh pada Aruna yang terlihat asyik memperhatikan bangunan di depannya. “Hm.. aman kalo gitu.” “Ayo.” Ardiya lalu keluar dari mobil dan setengah berlari memutari mobil untuk membukakan pintu bagi Aruna. “Haduh, repot amat. Aku bisa buka sendiri,” ujar Aruna. “But, thanks anyway.” Ardiya tersenyum lebar. “Let’s go.” Sementara itu
Fathan mengetuk pintu ruang CEO. Tidak biasanya ia mendapati tidak adanya jawaban, sementara ia tahu pemilik ruangan itu berada di dalam. “Tuan?” sapa Fathan sambil membuka pintu ruang CEO. Ia berjalan mendekat dan cukup terheran melihat Brahmana yang terlihat terpekur. Arah matanya memang pada monitor PC di atas meja, namun sorotnya seperti tidak fokus. “Tuan.” Fathan memanggil lagi. Kali ini Brahmana memang menengok padanya dan seperti baru menyadari kehadiran Fathan di sana. “Kapan kamu masuk?” tanya Brahmana. “Dari satu menit lalu, Tuan.” “Kenapa kamu tidak mengetuk pintu?” Fathan hendak membela diri, namun urung melihat mood sang CEO yang tampaknya kurang baik hari ini. Lebih baik ia mencari selamat. “Maaf Tuan.” Brahmana mendengkus ringan lalu beralih kembali pada layar di samping kanannya. “Ada apa?” “Ada permintaan reschedule untuk pembahasan proyek baru dengan partner kita, Tuan.” Lalu Fathan menyerahkan satu map ke atas meja Brahmana. “Dan ini statistik yang Tuan
Di sebuah kafe di tengah kota, Katrina duduk sambil menikmati cheese cake di depannya. “Ah, benar-benar kangen kamu Kat!” Seorang wanita muda berambut bob berkata dengan penuh sukacita pada Katrina. “Gak nyangka kamu benar-benar makin cantik aja!” “Apa yang membawamu kembali ke sini? Seingatku, kau pernah bilang, akan menetap di sana dan tidak mau lagi kembali ke negara ini. Katamu, negara ini tidak cocok dengan gayamu.” Satu wanita lainnya menimpali. Mereka berdua adalah teman Katrina waktu SMP dulu dan bertemu di cafe itu untuk Katrina yang mereka kira tidak akan bisa mereka jumpai lagi, kecuali mereka berkunjung ke London. “Well, ya.. Aku memang pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Tapi itu bisa berubah, tentunya,” sahut Katrina santai. “Apa yang membuatmu berubah keputusan?” tanya si rambut bob penasaran. Sementara teman satunya lagi pun mengangguk dan menunggu jawaban Katrina. Belum Katrina sempat menjawab, ponselnya berdering. Dengan gerakan anggun, ia pun mengambil ponse
“Pria itu hanya mengatakan ‘Kamu penting untuk saya’?” Fathan melebarkan matanya menunjukkan seolah ia tidak percaya apa yang baru saja didengar telinganya. “Ya. Tidakkah itu cukup?” “Tuan, pernyataan pria itu terlalu ambigu. ‘Penting’ bisa berlaku buat siapa saja. Misalnya, Tuan Donovan, Tuan Amar dan beberapa lainnya. Mereka bisa disebut penting juga kan, oleh Tuan?” Fathan menyebutkan beberapa mitra penting Brahmana. Tanpa sadar, Brahmana mengangguk pelan. “Benar juga…” “Tapi, apakah sebuah pernyataan itu memang benar-benar diperlukan?” tanya Brahmana lagi. “Bukankah dari tindakan saja, sudah bisa menggambarkan bahwa wanita itu memiliki peran penting dan berbeda dari lainnya?” “Tidak cukup,” sela Fathan cepat. “Memang, menunjukkan dengan tindakan adalah hal yang jelas dibutuhkan. Namun segalanya akan lebih terarah dan menjadi jelas, ketika ada pernyataan yang diungkapkan. Secara jelas juga tentunya.” Brahmana terdiam. Matanya tertuju ke arah jendela kaca besar di ruangan itu.
Seluruh pelayan di kediaman Brahmana benar-benar dibuat terkejut saat melihat tuan mereka masuk ke dapur dan berbicara dengan koki keluarga, untuk membuat sesuatu. Namun tidak satu pun dari mereka yang jelas memiliki nyali untuk mempertanyakan apa yang dilakukan Brahmana. Mereka semua dibayar untuk melaksanakan perintah, tanpa bantahan apalagi mempertanyakannya. Meskipun melihat Bos Besar mereka yang begitu berwibawa, kini berada di dapur dengan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku dan mengenakan apron, mereka benar-benar tidak ada yang berani bersuara meskipun hanya sekadar satu bisikan. Sungguh, pria berwajah tampan itu bahkan terlihat mengesankan dengan apron-nya. Sekitar dua jam Brahmana berada di sana dan berkutat di dapur, hingga akhirnya ia selesai dengan apapun yang tengah ia kerjakan itu. “Selesai.” Brahmana bergumam sambil menatap puas hasil karyanya yang telah di tata ke dalam satu wadah kaca kedap udara. Ia melepas apron putih polos yang ia kenakan dan meny
Suara dering telepon menyentak keheningan yang terjadi antara Brahmana dan Aruna yang berada dalam kungkungan Brahmana. Sadar bahwa dering itu berasal dari ponsel miliknya, Brahmana menggeram gusar. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel itu, lalu melemparnya jauh-jauh tanpa repot-repot melihat siapa yang meneleponnya. TRAKK!! Ponsel itu menghantam dinding, lalu jatuh dengan keras dan seketika suara dering itu berhenti. Aruna membelalakkan mata. “Apa yang kau lakukan? Kenapa dilempar?!” Matanya kemudian mengarah pada ponsel milik Brahmana itu, saat pria itu sama sekali tidak menanggapi dirinya. Melihat hasil karya yang diciptakan pada ponsel tersebut, Aruna bisa memastikan Brahmana menggunakan kekuatan dengan sungguh-sungguh untuk melempar ponsel itu. Atau, Brahmana hanya melemparnya biasa. Tapi karena Brahmana biasa melatih tubuhnya, tidak heran jika pria itu memiliki kekuatan yang besar. Aruna melirik ke arah lengan kanan yang baru digunakan Brahmana untuk melempar po
Paham bahwa situasi sedikit kurang baik, Brahmana meminta Ima membawa Maira ke kamarnya.“Dah ayah! Jangan lupa nanti kita main lagi ke sana ya Yah!” celutuk Maira riang sembari membiarkan tangannya digenggam Ima.“Dah GG! Mai ke atas dulu yaa!”“He-em.” Dananjaya menjawab sekilas.Sepeninggal Maira, Brahmana mengambil tempat di sofa yang berseberangan dengan sang kakek.Dengan tertib ia lalu menunggu sang kakek membuka suara.“Kakek tidak akan bertanya kamu dari mana. Kakek akan langsung membicarakan hal penting yang perlu kamu lakukan.”Brahmana menanti.“Kamu sudah bertemu dengan Katrina, kan?” Dananjaya menatap cucunya dengan seksama.“Sudah, Kek,” jawab Brahmana mengangguk.“Bagus. Kamu sudah bertemu dengan calon istrimu. Kakek yakin kamu suka pada Katrina. Dia wanita terpelajar, cantik dan berasal dari keluarga baik. Minggu depan k
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m