Paham bahwa situasi sedikit kurang baik, Brahmana meminta Ima membawa Maira ke kamarnya.
“Dah ayah! Jangan lupa nanti kita main lagi ke sana ya Yah!” celutuk Maira riang sembari membiarkan tangannya digenggam Ima.
“Dah GG! Mai ke atas dulu yaa!”
“He-em.” Dananjaya menjawab sekilas.
Sepeninggal Maira, Brahmana mengambil tempat di sofa yang berseberangan dengan sang kakek.
Dengan tertib ia lalu menunggu sang kakek membuka suara.
“Kakek tidak akan bertanya kamu dari mana. Kakek akan langsung membicarakan hal penting yang perlu kamu lakukan.”
Brahmana menanti.
“Kamu sudah bertemu dengan Katrina, kan?” Dananjaya menatap cucunya dengan seksama.
“Sudah, Kek,” jawab Brahmana mengangguk.
“Bagus. Kamu sudah bertemu dengan calon istrimu. Kakek yakin kamu suka pada Katrina. Dia wanita terpelajar, cantik dan berasal dari keluarga baik. Minggu depan k
Sore hari itu Shanti datang mengunjungi Aruna di rumahnya atas permintaan Aruna. “Jadi kontrak lu diganti lagi?” tanya Shanti bingung saat ia duduk santai di ruang tamu sambil memakan camilan yang disuguhkan oleh Aruna. “Gue juga kagak tau Shan. Pak Bos revisi lagi kontraknya. Mulai hari ini, gue hanya perlu kerja sampai jam tiga sore. Menyenangkan sih, gue jadi punya waktu untuk me time sama ngurus rumah dan bisa jenguk ayah lebih sering.” “Sama ketemu gue juga,” tambah Shanti. “Yoi. Sama ketemuan kamu juga,” kekeh Aruna. “Gaji lu balik lagi ke semula? Atau malah berkurang, karena jam kerja elu yang juga lebih sedikit dari yang pertama kali?” “Ng…” Aruna baru tersadar. Saat Fathan menghubungi Aruna untuk tanda tangan revisi kontrak, ia tidak mendengar Fathan menyebutkan bahwa akan ada perubahan pada gajinya dan hanya mengatakan perubahan yang terjadi hanya pada hari dan jam kerja saja. “Kayanya gak ada perubahan sama gaji, Shan.” “Astaga! Gue mau gantiin kerjaan lu, Run!” ser
“Kau kenapa?” tanya Aruna lagi saat Ardiya –tamu yang datang itu– diam tak menjawab. Wajah pria itu terlihat kusut dengan mata memerah. Ia terlihat berusaha keras untuk mengangkat kepalanya dan memandang dengan baik pada Aruna. “Diya..” “Hidupku berantakan…” gumam Ardiya mulai bersuara. Namun kepalanya jatuh menunduk lagi dengan tubuh sedikit sempoyongan berusaha bergeser. “Duduk dulu,” ujar Aruna cepat. Ia sedikit membimbing lengan Ardiya agar duduk di kursi teras. Meskipun Ardiya terlihat tidak baik-baik saja, namun ia tetap tidak bisa membiarkan Ardiya masuk ke dalam rumah. “Ada apa? Apa sesuatu terjadi padamu?” “Aku benar-benar membencinya…” gumam Ardiya lagi. “Diya–” Aruna tidak suka dengan dugaan yang melintas di kepalanya. Tapi mau tidak mau, itu terucap juga untuk memastikannya. Terutama ketika aroma khas dan menyengat itu sempat tercium olehnya dari baju pria itu. “Kamu mabuk?” Ardiya terdengar terkekeh. Ia lalu menggeleng. “Aku tidak mungkin mabuk. Hanya sedikit ya
Aruna menatap pintu apartemen di hadapannya. “Ini apa password-nya?” tanya Aruna pada Ardiya yang berdiri bersandar di dinding sisi pintu. “Hmm…” Ardiya bergumam tak jelas. Kedua matanya terpejam, meski tubuhnya masih bisa berdiri dengan bersandar. “Duh, ayolah.. apa password nya?” Aruna menyentak sedikit bahu Ardiya. Pria yang setengah tak sadar itu mengangkat wajah lalu bergumam tak jelas lagi. Ia lalu menggeser tubuhnya dan mengangkat tangan kanannya. Terlihat kesulitan, karena lagi-lagi tangannya terkulai lemas. “Oh, apa pake sidik jari bisa?” Aruna baru menyadari gelagat aneh Ardiya itu dan langsung membantu tangan kanan Ardiya untuk terangkat dan menempelkan ibu jarinya pada pemindai di sisi deretan tombol angka. Setelah berhasil terbuka, setengah menyeret Aruna segera membawa Ardiya masuk ke dalam apartemen milik Ardiya. Aruna mengetahui tempat Ardiya tinggal ini dan membawanya ke sana, setelah ia memeriksa isi dompet Ardiya. Ia menemukan semacam kartu klub keanggotaan p
“Aku.. ya.. Aku tadi dengan Shanti,” jawab Aruna setelah menepis keraguan yang sempat datang.Brahmana diam tak bergerak mendengar jawaban itu. Kedua netra kelamnya lekat tertuju tepat di kedua iris kecoklatan Aruna.“Dari kau mengirim pesan, sampai sebelum ke sini?” tanya Brahmana lagi, dengan pelan.Dengan cepat, Aruna menganggukkan kepala. Sungguh, ia gugup.Tapi mengingat sikap Brahmana yang begitu tegas mengingatkan dirinya sebelumnya, ia tidak ingin ada perdebatan di antara mereka.Tidak, terutama saat ia mengetahui dan merasakan sikap manis seorang Brahmana yang bersedia menjenguk ayahnya. Aruna hanya tidak ingin merusak suasana ini.“Runa..”“Iya, Agha. Aku menemui Shanti dan bersamanya sampai tadi. Lalu aku langsung ke sini. Rencana mau nginep di sini.” Aruna menjelaskan lagi. Ia memberanikan diri menatap balik netra kelam menawan itu --yang sayangnya, kini terasa begitu muram.
Brahmana menatap layar tanam berukuran besar di dinding ruang kerjanya.Beberapa orang tampak di layar tersebut secara tersekat. Satu pria paruh baya berkaca mata dengan rambut berwarna kemerahan, tengah berbicara --dalam bahasa Inggris.Secara bergiliran satu per satu orang-orang dalam layar tersebut berbicara.“Tuan.” Fathan menegur Brahmana pelan. Tangannya baru menekan tombol ‘mute’ atau tombol diam pada satu konsol di atas meja.“Mr. Waverly menunggu tanggapan Anda,” ujar Fathan mengingatkan.“Hm.” Brahmana menurunkan pandangan sesaat, lalu mengangguk pada Fathan.Fathan lalu melepas tombol ‘mute’ tadi kemudian Brahmana memulai bicara.“So.. I get your point, Mr. Waverly. Getting proper measurements to couple agreements which lagged …” (Jadi.. Saya paham maksud Anda, Tuan Waverly. Mendapatkan tolak ukur yang tepat untuk beberapa perjanjian yang tertinggal…)Fathan mengembus napas lega.Ia sungguh lega bisa melihat Sang CEO masih bisa menangkap apa yang telah disampaikan oleh bebe
“Ru..na?”Tak kalah kaget, Aruna pun terpaku melihat orang yang tadi berseru marah dan menutup pintu ruang CEO dengan kasar.“Diya? Kenapa bisa ada di sini?”Orang itu --Ardiya langsung meraih sebelah tangan Aruna dan menariknya.“Tunggu, Diya..”“Lepaskan tanganmu darinya!” Seruan lain terdengar lantang dari arah belakang Aruna.Kepala Aruna berpaling cepat ke belakang dan mendapati Brahmana yang berdiri di ambang pintu dengan mata menyorot tajam pada Ardiya.“Agha..”“Saya bilang, lepaskan tanganmu darinya!” Brahmana berseru lagi, dengan derap cepatnya menghampiri Ardiya dan mengempas pegangan Ardiya pada tangan Aruna.“Runa… ikut aku,” pinta Ardiya tanpa menghiraukan netra Brahmana yang berkilat dan menatap tajam padanya.Andai tatapan itu adalah pedang, mungkin Ardiya akan terkoyak sekian kali oleh tatapan itu.De
“Bagaimana bisa wanita itu datang ke kantornya?” Joe mengerutkan kening tak percaya.“Oh ayolah! Itu bisa terjadi jika benar mereka sedekat itu,” jawab Ardiya.“Dan jika kau tahu itu, mengapa kau gegabah ke sana? Wanita itu pasti kini tahu hubungan kalian!”“Itu kecelakaan.” Ardiya mendesah lalu menyalakan sebatang rokok.“Yeah,” keluh Joe. “Kau kelepasan mendatangi Brahmana begitu saja.”“Dia nyaris menggagalkan rencanaku, God dammit!” sentak Ardiya lalu melempar kesal rokok di tangannya yang baru satu kali ia isap.“Ya. Siapa menyangka Harsa Karya dan Dala Dwitama mengalami nasib seperti itu. Lalu pembekuan semua aset itu. Terutama salah satu yang menjadi sumber perputaran dana kita,” Joe menggelengkan kepalanya.“Otak pria itu memang mengerikan,” ujarnya lagi menambahkan.Ardiya terdiam. Ia terlihat berpikir keras.
“Kenapa tidak kau mengatakan apapun pada kami bahwa kau pulang, Kev?” Harsa bertanya keras pada Ardiya.“Mama sudah tahu,” jawab Ardiya sambil berlalu, melewati Harsa untuk naik ke kamarnya di lantai dua.“Kevin!!” bentak Harsa.“Apa sih Pa? Gak perlu bentak-bentak gitu sama Kevin. Biarkan dia istirahat dulu.” Melissa yang muncul dari arah pantri, mengingatkan Harsa.“Kamu juga!” Harsa berbalik pada Melissa. “Sudah tahu anakmu pulang, kenapa tidak bicara apa-apa? Bagaimana jika Brahmana tahu anak ini di sini?”“’Anak ini’? ‘Anakmu’? Seolah-olah Kevin hasilku sendiri. Dia itu anakmu juga, Pa!” Melissa melotot. “Kenapa kita harus takut sama Brahmana? Inilah, mama gak ngomong sama papa karena papa pasti menyalahkan Kevin!”“Brahmana mengirim Kevin ke Boston untuk belajar berbisnis! Jika ia pulang tanpa sepengetahuan Brah