“Aku.. ya.. Aku tadi dengan Shanti,” jawab Aruna setelah menepis keraguan yang sempat datang.Brahmana diam tak bergerak mendengar jawaban itu. Kedua netra kelamnya lekat tertuju tepat di kedua iris kecoklatan Aruna.“Dari kau mengirim pesan, sampai sebelum ke sini?” tanya Brahmana lagi, dengan pelan.Dengan cepat, Aruna menganggukkan kepala. Sungguh, ia gugup.Tapi mengingat sikap Brahmana yang begitu tegas mengingatkan dirinya sebelumnya, ia tidak ingin ada perdebatan di antara mereka.Tidak, terutama saat ia mengetahui dan merasakan sikap manis seorang Brahmana yang bersedia menjenguk ayahnya. Aruna hanya tidak ingin merusak suasana ini.“Runa..”“Iya, Agha. Aku menemui Shanti dan bersamanya sampai tadi. Lalu aku langsung ke sini. Rencana mau nginep di sini.” Aruna menjelaskan lagi. Ia memberanikan diri menatap balik netra kelam menawan itu --yang sayangnya, kini terasa begitu muram.
Brahmana menatap layar tanam berukuran besar di dinding ruang kerjanya.Beberapa orang tampak di layar tersebut secara tersekat. Satu pria paruh baya berkaca mata dengan rambut berwarna kemerahan, tengah berbicara --dalam bahasa Inggris.Secara bergiliran satu per satu orang-orang dalam layar tersebut berbicara.“Tuan.” Fathan menegur Brahmana pelan. Tangannya baru menekan tombol ‘mute’ atau tombol diam pada satu konsol di atas meja.“Mr. Waverly menunggu tanggapan Anda,” ujar Fathan mengingatkan.“Hm.” Brahmana menurunkan pandangan sesaat, lalu mengangguk pada Fathan.Fathan lalu melepas tombol ‘mute’ tadi kemudian Brahmana memulai bicara.“So.. I get your point, Mr. Waverly. Getting proper measurements to couple agreements which lagged …” (Jadi.. Saya paham maksud Anda, Tuan Waverly. Mendapatkan tolak ukur yang tepat untuk beberapa perjanjian yang tertinggal…)Fathan mengembus napas lega.Ia sungguh lega bisa melihat Sang CEO masih bisa menangkap apa yang telah disampaikan oleh bebe
“Ru..na?”Tak kalah kaget, Aruna pun terpaku melihat orang yang tadi berseru marah dan menutup pintu ruang CEO dengan kasar.“Diya? Kenapa bisa ada di sini?”Orang itu --Ardiya langsung meraih sebelah tangan Aruna dan menariknya.“Tunggu, Diya..”“Lepaskan tanganmu darinya!” Seruan lain terdengar lantang dari arah belakang Aruna.Kepala Aruna berpaling cepat ke belakang dan mendapati Brahmana yang berdiri di ambang pintu dengan mata menyorot tajam pada Ardiya.“Agha..”“Saya bilang, lepaskan tanganmu darinya!” Brahmana berseru lagi, dengan derap cepatnya menghampiri Ardiya dan mengempas pegangan Ardiya pada tangan Aruna.“Runa… ikut aku,” pinta Ardiya tanpa menghiraukan netra Brahmana yang berkilat dan menatap tajam padanya.Andai tatapan itu adalah pedang, mungkin Ardiya akan terkoyak sekian kali oleh tatapan itu.De
“Bagaimana bisa wanita itu datang ke kantornya?” Joe mengerutkan kening tak percaya.“Oh ayolah! Itu bisa terjadi jika benar mereka sedekat itu,” jawab Ardiya.“Dan jika kau tahu itu, mengapa kau gegabah ke sana? Wanita itu pasti kini tahu hubungan kalian!”“Itu kecelakaan.” Ardiya mendesah lalu menyalakan sebatang rokok.“Yeah,” keluh Joe. “Kau kelepasan mendatangi Brahmana begitu saja.”“Dia nyaris menggagalkan rencanaku, God dammit!” sentak Ardiya lalu melempar kesal rokok di tangannya yang baru satu kali ia isap.“Ya. Siapa menyangka Harsa Karya dan Dala Dwitama mengalami nasib seperti itu. Lalu pembekuan semua aset itu. Terutama salah satu yang menjadi sumber perputaran dana kita,” Joe menggelengkan kepalanya.“Otak pria itu memang mengerikan,” ujarnya lagi menambahkan.Ardiya terdiam. Ia terlihat berpikir keras.
“Kenapa tidak kau mengatakan apapun pada kami bahwa kau pulang, Kev?” Harsa bertanya keras pada Ardiya.“Mama sudah tahu,” jawab Ardiya sambil berlalu, melewati Harsa untuk naik ke kamarnya di lantai dua.“Kevin!!” bentak Harsa.“Apa sih Pa? Gak perlu bentak-bentak gitu sama Kevin. Biarkan dia istirahat dulu.” Melissa yang muncul dari arah pantri, mengingatkan Harsa.“Kamu juga!” Harsa berbalik pada Melissa. “Sudah tahu anakmu pulang, kenapa tidak bicara apa-apa? Bagaimana jika Brahmana tahu anak ini di sini?”“’Anak ini’? ‘Anakmu’? Seolah-olah Kevin hasilku sendiri. Dia itu anakmu juga, Pa!” Melissa melotot. “Kenapa kita harus takut sama Brahmana? Inilah, mama gak ngomong sama papa karena papa pasti menyalahkan Kevin!”“Brahmana mengirim Kevin ke Boston untuk belajar berbisnis! Jika ia pulang tanpa sepengetahuan Brah
Dan karena itu pula, Ardiya ingin memberikan bukti cintanya yang paling besar, adalah memberikan kesempatan Cleo untuk senyuman yang sama.Meski sekalipun, senyuman itu berasal dari Brahmana.Tidak satu kali pun Brahmana melirik Cleo. Bahkan dengan kejam, menolak tegas semua ajakan dan tawaran Cleo.“Siapa kamu dengan tega melukai hati gadis sebaik Cleo?!” Ardiya menyentak marah pada Brahmana. Tangannya mendorong bahu Brahmana dengan kasar.Ia mendatangi Brahmana di ruang perpustakaan, kala mendapati Cleo yang menangis setelah ajakannya ditolak mentah-mentah oleh Brahmana.“Jika kamu menyukainya, kenapa tidak kamu saja yang mengencaninya?” ujar Brahmana datar.“Brengsek kamu!” Ardiya melayangkan pukulan ke arah wajah Brahmana.Namun dengan gesit, Brahmana menghindari pukulan itu lalu menangkap tangan Ardiya dan memutar tubuh adik sepupunya itu hingga Ardiya mengerang kesakitan.“Jangan
“Apa?” Brahmana menghentikan kegiatannya melakukan pengecekan berkas di atas meja dan menatap tajam Fathan. “Maaf Tuan, tapi semua schedule besok dikosongkan atas permintaan Tuan Besar.” “Besok penandatanganan MoU dengan Mr. Harun dan kamu tahu seperti apa beliau. Kerjasama itu bisa saja dibatalkan olehnya jika kita merubah jadwal yang disepakati besok.” Fathan meringis. “Memang sudah dibatalkan, Tuan. Asisten tuan Harun telah mengirim email-nya.” “Apa?” “Maaf Tuan. Tuan Besar mengatakan tidak apa-apa kehilangan kerjasama dengan Tuan Harun, karena beliau sendiri yang membatalkannya.” “What the–” Brahmana beralih pada layar PC-nya dan mengecek kotak email. Dan benar saja, email dari perusahaan besar di Malaysia itu masuk dan memberitahukan membatalkan kerjasama mereka. “Apa yang Kakek lakukan.. Proyek dengan Harun ini bernilai besar…” desis Brahmana dengan raut wajah kesal. Cukup sulit baginya untuk menggaet perusahaan milik Tuan Harun itu dalam satu proyek bersama di negara in
“Kakek--”“Aku benar kan?” Mata Dananjaya Tua memicing beberapa saat, lalu ia mendengkus sinis mendapati Brahmana yang tidak kuasa menjawab dirinya.Ia beralih menuju sofa santai yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Sudah bukan waktunya kamu bermain-main dan bersenang-senang, Bram.” Dananjaya mengempas tubuhnya di atas sofa dan mulai berbicara panjang.“Saya tidak pernah bermain-main, Kek. Kakek sangat mengetahui itu.”Dananjaya melirik Brahmana yang masih berdiri di tempat semula. “Kalau begitu, laksanakan perintah Kakek. Kita akan melamar ke keluarga Robert minggu depan. Kamu tidak bisa sembarang mengambil pasangan yang tidak jelas asal-usulnya. Apa kata orang nanti?”Brahmana mengeratkan rahang lalu berjalan mendekat ke arah kakeknya duduk. “Saya sudah mengatakannya pada kakek. Saya tidak bisa menikah dengan Katrina. Saya--”“Kakek tahu, bahwa kamu in