Fathan mengetuk pintu ruang CEO. Tidak biasanya ia mendapati tidak adanya jawaban, sementara ia tahu pemilik ruangan itu berada di dalam. “Tuan?” sapa Fathan sambil membuka pintu ruang CEO. Ia berjalan mendekat dan cukup terheran melihat Brahmana yang terlihat terpekur. Arah matanya memang pada monitor PC di atas meja, namun sorotnya seperti tidak fokus. “Tuan.” Fathan memanggil lagi. Kali ini Brahmana memang menengok padanya dan seperti baru menyadari kehadiran Fathan di sana. “Kapan kamu masuk?” tanya Brahmana. “Dari satu menit lalu, Tuan.” “Kenapa kamu tidak mengetuk pintu?” Fathan hendak membela diri, namun urung melihat mood sang CEO yang tampaknya kurang baik hari ini. Lebih baik ia mencari selamat. “Maaf Tuan.” Brahmana mendengkus ringan lalu beralih kembali pada layar di samping kanannya. “Ada apa?” “Ada permintaan reschedule untuk pembahasan proyek baru dengan partner kita, Tuan.” Lalu Fathan menyerahkan satu map ke atas meja Brahmana. “Dan ini statistik yang Tuan
Di sebuah kafe di tengah kota, Katrina duduk sambil menikmati cheese cake di depannya. “Ah, benar-benar kangen kamu Kat!” Seorang wanita muda berambut bob berkata dengan penuh sukacita pada Katrina. “Gak nyangka kamu benar-benar makin cantik aja!” “Apa yang membawamu kembali ke sini? Seingatku, kau pernah bilang, akan menetap di sana dan tidak mau lagi kembali ke negara ini. Katamu, negara ini tidak cocok dengan gayamu.” Satu wanita lainnya menimpali. Mereka berdua adalah teman Katrina waktu SMP dulu dan bertemu di cafe itu untuk Katrina yang mereka kira tidak akan bisa mereka jumpai lagi, kecuali mereka berkunjung ke London. “Well, ya.. Aku memang pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Tapi itu bisa berubah, tentunya,” sahut Katrina santai. “Apa yang membuatmu berubah keputusan?” tanya si rambut bob penasaran. Sementara teman satunya lagi pun mengangguk dan menunggu jawaban Katrina. Belum Katrina sempat menjawab, ponselnya berdering. Dengan gerakan anggun, ia pun mengambil ponse
“Pria itu hanya mengatakan ‘Kamu penting untuk saya’?” Fathan melebarkan matanya menunjukkan seolah ia tidak percaya apa yang baru saja didengar telinganya. “Ya. Tidakkah itu cukup?” “Tuan, pernyataan pria itu terlalu ambigu. ‘Penting’ bisa berlaku buat siapa saja. Misalnya, Tuan Donovan, Tuan Amar dan beberapa lainnya. Mereka bisa disebut penting juga kan, oleh Tuan?” Fathan menyebutkan beberapa mitra penting Brahmana. Tanpa sadar, Brahmana mengangguk pelan. “Benar juga…” “Tapi, apakah sebuah pernyataan itu memang benar-benar diperlukan?” tanya Brahmana lagi. “Bukankah dari tindakan saja, sudah bisa menggambarkan bahwa wanita itu memiliki peran penting dan berbeda dari lainnya?” “Tidak cukup,” sela Fathan cepat. “Memang, menunjukkan dengan tindakan adalah hal yang jelas dibutuhkan. Namun segalanya akan lebih terarah dan menjadi jelas, ketika ada pernyataan yang diungkapkan. Secara jelas juga tentunya.” Brahmana terdiam. Matanya tertuju ke arah jendela kaca besar di ruangan itu.
Seluruh pelayan di kediaman Brahmana benar-benar dibuat terkejut saat melihat tuan mereka masuk ke dapur dan berbicara dengan koki keluarga, untuk membuat sesuatu. Namun tidak satu pun dari mereka yang jelas memiliki nyali untuk mempertanyakan apa yang dilakukan Brahmana. Mereka semua dibayar untuk melaksanakan perintah, tanpa bantahan apalagi mempertanyakannya. Meskipun melihat Bos Besar mereka yang begitu berwibawa, kini berada di dapur dengan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku dan mengenakan apron, mereka benar-benar tidak ada yang berani bersuara meskipun hanya sekadar satu bisikan. Sungguh, pria berwajah tampan itu bahkan terlihat mengesankan dengan apron-nya. Sekitar dua jam Brahmana berada di sana dan berkutat di dapur, hingga akhirnya ia selesai dengan apapun yang tengah ia kerjakan itu. “Selesai.” Brahmana bergumam sambil menatap puas hasil karyanya yang telah di tata ke dalam satu wadah kaca kedap udara. Ia melepas apron putih polos yang ia kenakan dan meny
Suara dering telepon menyentak keheningan yang terjadi antara Brahmana dan Aruna yang berada dalam kungkungan Brahmana. Sadar bahwa dering itu berasal dari ponsel miliknya, Brahmana menggeram gusar. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel itu, lalu melemparnya jauh-jauh tanpa repot-repot melihat siapa yang meneleponnya. TRAKK!! Ponsel itu menghantam dinding, lalu jatuh dengan keras dan seketika suara dering itu berhenti. Aruna membelalakkan mata. “Apa yang kau lakukan? Kenapa dilempar?!” Matanya kemudian mengarah pada ponsel milik Brahmana itu, saat pria itu sama sekali tidak menanggapi dirinya. Melihat hasil karya yang diciptakan pada ponsel tersebut, Aruna bisa memastikan Brahmana menggunakan kekuatan dengan sungguh-sungguh untuk melempar ponsel itu. Atau, Brahmana hanya melemparnya biasa. Tapi karena Brahmana biasa melatih tubuhnya, tidak heran jika pria itu memiliki kekuatan yang besar. Aruna melirik ke arah lengan kanan yang baru digunakan Brahmana untuk melempar po
Paham bahwa situasi sedikit kurang baik, Brahmana meminta Ima membawa Maira ke kamarnya.“Dah ayah! Jangan lupa nanti kita main lagi ke sana ya Yah!” celutuk Maira riang sembari membiarkan tangannya digenggam Ima.“Dah GG! Mai ke atas dulu yaa!”“He-em.” Dananjaya menjawab sekilas.Sepeninggal Maira, Brahmana mengambil tempat di sofa yang berseberangan dengan sang kakek.Dengan tertib ia lalu menunggu sang kakek membuka suara.“Kakek tidak akan bertanya kamu dari mana. Kakek akan langsung membicarakan hal penting yang perlu kamu lakukan.”Brahmana menanti.“Kamu sudah bertemu dengan Katrina, kan?” Dananjaya menatap cucunya dengan seksama.“Sudah, Kek,” jawab Brahmana mengangguk.“Bagus. Kamu sudah bertemu dengan calon istrimu. Kakek yakin kamu suka pada Katrina. Dia wanita terpelajar, cantik dan berasal dari keluarga baik. Minggu depan k
Sore hari itu Shanti datang mengunjungi Aruna di rumahnya atas permintaan Aruna. “Jadi kontrak lu diganti lagi?” tanya Shanti bingung saat ia duduk santai di ruang tamu sambil memakan camilan yang disuguhkan oleh Aruna. “Gue juga kagak tau Shan. Pak Bos revisi lagi kontraknya. Mulai hari ini, gue hanya perlu kerja sampai jam tiga sore. Menyenangkan sih, gue jadi punya waktu untuk me time sama ngurus rumah dan bisa jenguk ayah lebih sering.” “Sama ketemu gue juga,” tambah Shanti. “Yoi. Sama ketemuan kamu juga,” kekeh Aruna. “Gaji lu balik lagi ke semula? Atau malah berkurang, karena jam kerja elu yang juga lebih sedikit dari yang pertama kali?” “Ng…” Aruna baru tersadar. Saat Fathan menghubungi Aruna untuk tanda tangan revisi kontrak, ia tidak mendengar Fathan menyebutkan bahwa akan ada perubahan pada gajinya dan hanya mengatakan perubahan yang terjadi hanya pada hari dan jam kerja saja. “Kayanya gak ada perubahan sama gaji, Shan.” “Astaga! Gue mau gantiin kerjaan lu, Run!” ser
“Kau kenapa?” tanya Aruna lagi saat Ardiya –tamu yang datang itu– diam tak menjawab. Wajah pria itu terlihat kusut dengan mata memerah. Ia terlihat berusaha keras untuk mengangkat kepalanya dan memandang dengan baik pada Aruna. “Diya..” “Hidupku berantakan…” gumam Ardiya mulai bersuara. Namun kepalanya jatuh menunduk lagi dengan tubuh sedikit sempoyongan berusaha bergeser. “Duduk dulu,” ujar Aruna cepat. Ia sedikit membimbing lengan Ardiya agar duduk di kursi teras. Meskipun Ardiya terlihat tidak baik-baik saja, namun ia tetap tidak bisa membiarkan Ardiya masuk ke dalam rumah. “Ada apa? Apa sesuatu terjadi padamu?” “Aku benar-benar membencinya…” gumam Ardiya lagi. “Diya–” Aruna tidak suka dengan dugaan yang melintas di kepalanya. Tapi mau tidak mau, itu terucap juga untuk memastikannya. Terutama ketika aroma khas dan menyengat itu sempat tercium olehnya dari baju pria itu. “Kamu mabuk?” Ardiya terdengar terkekeh. Ia lalu menggeleng. “Aku tidak mungkin mabuk. Hanya sedikit ya