“Pria itu hanya mengatakan ‘Kamu penting untuk saya’?” Fathan melebarkan matanya menunjukkan seolah ia tidak percaya apa yang baru saja didengar telinganya. “Ya. Tidakkah itu cukup?” “Tuan, pernyataan pria itu terlalu ambigu. ‘Penting’ bisa berlaku buat siapa saja. Misalnya, Tuan Donovan, Tuan Amar dan beberapa lainnya. Mereka bisa disebut penting juga kan, oleh Tuan?” Fathan menyebutkan beberapa mitra penting Brahmana. Tanpa sadar, Brahmana mengangguk pelan. “Benar juga…” “Tapi, apakah sebuah pernyataan itu memang benar-benar diperlukan?” tanya Brahmana lagi. “Bukankah dari tindakan saja, sudah bisa menggambarkan bahwa wanita itu memiliki peran penting dan berbeda dari lainnya?” “Tidak cukup,” sela Fathan cepat. “Memang, menunjukkan dengan tindakan adalah hal yang jelas dibutuhkan. Namun segalanya akan lebih terarah dan menjadi jelas, ketika ada pernyataan yang diungkapkan. Secara jelas juga tentunya.” Brahmana terdiam. Matanya tertuju ke arah jendela kaca besar di ruangan itu.
Seluruh pelayan di kediaman Brahmana benar-benar dibuat terkejut saat melihat tuan mereka masuk ke dapur dan berbicara dengan koki keluarga, untuk membuat sesuatu. Namun tidak satu pun dari mereka yang jelas memiliki nyali untuk mempertanyakan apa yang dilakukan Brahmana. Mereka semua dibayar untuk melaksanakan perintah, tanpa bantahan apalagi mempertanyakannya. Meskipun melihat Bos Besar mereka yang begitu berwibawa, kini berada di dapur dengan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku dan mengenakan apron, mereka benar-benar tidak ada yang berani bersuara meskipun hanya sekadar satu bisikan. Sungguh, pria berwajah tampan itu bahkan terlihat mengesankan dengan apron-nya. Sekitar dua jam Brahmana berada di sana dan berkutat di dapur, hingga akhirnya ia selesai dengan apapun yang tengah ia kerjakan itu. “Selesai.” Brahmana bergumam sambil menatap puas hasil karyanya yang telah di tata ke dalam satu wadah kaca kedap udara. Ia melepas apron putih polos yang ia kenakan dan meny
Suara dering telepon menyentak keheningan yang terjadi antara Brahmana dan Aruna yang berada dalam kungkungan Brahmana. Sadar bahwa dering itu berasal dari ponsel miliknya, Brahmana menggeram gusar. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel itu, lalu melemparnya jauh-jauh tanpa repot-repot melihat siapa yang meneleponnya. TRAKK!! Ponsel itu menghantam dinding, lalu jatuh dengan keras dan seketika suara dering itu berhenti. Aruna membelalakkan mata. “Apa yang kau lakukan? Kenapa dilempar?!” Matanya kemudian mengarah pada ponsel milik Brahmana itu, saat pria itu sama sekali tidak menanggapi dirinya. Melihat hasil karya yang diciptakan pada ponsel tersebut, Aruna bisa memastikan Brahmana menggunakan kekuatan dengan sungguh-sungguh untuk melempar ponsel itu. Atau, Brahmana hanya melemparnya biasa. Tapi karena Brahmana biasa melatih tubuhnya, tidak heran jika pria itu memiliki kekuatan yang besar. Aruna melirik ke arah lengan kanan yang baru digunakan Brahmana untuk melempar po
Paham bahwa situasi sedikit kurang baik, Brahmana meminta Ima membawa Maira ke kamarnya.“Dah ayah! Jangan lupa nanti kita main lagi ke sana ya Yah!” celutuk Maira riang sembari membiarkan tangannya digenggam Ima.“Dah GG! Mai ke atas dulu yaa!”“He-em.” Dananjaya menjawab sekilas.Sepeninggal Maira, Brahmana mengambil tempat di sofa yang berseberangan dengan sang kakek.Dengan tertib ia lalu menunggu sang kakek membuka suara.“Kakek tidak akan bertanya kamu dari mana. Kakek akan langsung membicarakan hal penting yang perlu kamu lakukan.”Brahmana menanti.“Kamu sudah bertemu dengan Katrina, kan?” Dananjaya menatap cucunya dengan seksama.“Sudah, Kek,” jawab Brahmana mengangguk.“Bagus. Kamu sudah bertemu dengan calon istrimu. Kakek yakin kamu suka pada Katrina. Dia wanita terpelajar, cantik dan berasal dari keluarga baik. Minggu depan k
Sore hari itu Shanti datang mengunjungi Aruna di rumahnya atas permintaan Aruna. “Jadi kontrak lu diganti lagi?” tanya Shanti bingung saat ia duduk santai di ruang tamu sambil memakan camilan yang disuguhkan oleh Aruna. “Gue juga kagak tau Shan. Pak Bos revisi lagi kontraknya. Mulai hari ini, gue hanya perlu kerja sampai jam tiga sore. Menyenangkan sih, gue jadi punya waktu untuk me time sama ngurus rumah dan bisa jenguk ayah lebih sering.” “Sama ketemu gue juga,” tambah Shanti. “Yoi. Sama ketemuan kamu juga,” kekeh Aruna. “Gaji lu balik lagi ke semula? Atau malah berkurang, karena jam kerja elu yang juga lebih sedikit dari yang pertama kali?” “Ng…” Aruna baru tersadar. Saat Fathan menghubungi Aruna untuk tanda tangan revisi kontrak, ia tidak mendengar Fathan menyebutkan bahwa akan ada perubahan pada gajinya dan hanya mengatakan perubahan yang terjadi hanya pada hari dan jam kerja saja. “Kayanya gak ada perubahan sama gaji, Shan.” “Astaga! Gue mau gantiin kerjaan lu, Run!” ser
“Kau kenapa?” tanya Aruna lagi saat Ardiya –tamu yang datang itu– diam tak menjawab. Wajah pria itu terlihat kusut dengan mata memerah. Ia terlihat berusaha keras untuk mengangkat kepalanya dan memandang dengan baik pada Aruna. “Diya..” “Hidupku berantakan…” gumam Ardiya mulai bersuara. Namun kepalanya jatuh menunduk lagi dengan tubuh sedikit sempoyongan berusaha bergeser. “Duduk dulu,” ujar Aruna cepat. Ia sedikit membimbing lengan Ardiya agar duduk di kursi teras. Meskipun Ardiya terlihat tidak baik-baik saja, namun ia tetap tidak bisa membiarkan Ardiya masuk ke dalam rumah. “Ada apa? Apa sesuatu terjadi padamu?” “Aku benar-benar membencinya…” gumam Ardiya lagi. “Diya–” Aruna tidak suka dengan dugaan yang melintas di kepalanya. Tapi mau tidak mau, itu terucap juga untuk memastikannya. Terutama ketika aroma khas dan menyengat itu sempat tercium olehnya dari baju pria itu. “Kamu mabuk?” Ardiya terdengar terkekeh. Ia lalu menggeleng. “Aku tidak mungkin mabuk. Hanya sedikit ya
Aruna menatap pintu apartemen di hadapannya. “Ini apa password-nya?” tanya Aruna pada Ardiya yang berdiri bersandar di dinding sisi pintu. “Hmm…” Ardiya bergumam tak jelas. Kedua matanya terpejam, meski tubuhnya masih bisa berdiri dengan bersandar. “Duh, ayolah.. apa password nya?” Aruna menyentak sedikit bahu Ardiya. Pria yang setengah tak sadar itu mengangkat wajah lalu bergumam tak jelas lagi. Ia lalu menggeser tubuhnya dan mengangkat tangan kanannya. Terlihat kesulitan, karena lagi-lagi tangannya terkulai lemas. “Oh, apa pake sidik jari bisa?” Aruna baru menyadari gelagat aneh Ardiya itu dan langsung membantu tangan kanan Ardiya untuk terangkat dan menempelkan ibu jarinya pada pemindai di sisi deretan tombol angka. Setelah berhasil terbuka, setengah menyeret Aruna segera membawa Ardiya masuk ke dalam apartemen milik Ardiya. Aruna mengetahui tempat Ardiya tinggal ini dan membawanya ke sana, setelah ia memeriksa isi dompet Ardiya. Ia menemukan semacam kartu klub keanggotaan p
“Aku.. ya.. Aku tadi dengan Shanti,” jawab Aruna setelah menepis keraguan yang sempat datang.Brahmana diam tak bergerak mendengar jawaban itu. Kedua netra kelamnya lekat tertuju tepat di kedua iris kecoklatan Aruna.“Dari kau mengirim pesan, sampai sebelum ke sini?” tanya Brahmana lagi, dengan pelan.Dengan cepat, Aruna menganggukkan kepala. Sungguh, ia gugup.Tapi mengingat sikap Brahmana yang begitu tegas mengingatkan dirinya sebelumnya, ia tidak ingin ada perdebatan di antara mereka.Tidak, terutama saat ia mengetahui dan merasakan sikap manis seorang Brahmana yang bersedia menjenguk ayahnya. Aruna hanya tidak ingin merusak suasana ini.“Runa..”“Iya, Agha. Aku menemui Shanti dan bersamanya sampai tadi. Lalu aku langsung ke sini. Rencana mau nginep di sini.” Aruna menjelaskan lagi. Ia memberanikan diri menatap balik netra kelam menawan itu --yang sayangnya, kini terasa begitu muram.