Gawat!
Dia pasti dianggap sedang sengaja memancing Arley agar mereka melakukan adegan dewasa nan panas berpeluh.Apalagi Prims malah seperti sengaja datang ke kamarnya.Prims tahu dia harus pergi, tapi hati dan tubuhnya tidak sinkron sehingga yang terjadi malah seperti dia menikmati posisi ambigu yang terjadi di antara mereka.Debar jantungnya tak terkendali, Prims takut Arley bisa mendengarnya.Tatapan mata pria di atasnya ini seperti sedang menyihirnya untuk tinggal, memengaruhinya untuk menganggukkan kepala atas tanya yang baru saja dia berikan.Tapi ... 'TIDAK!' jerit Prims dalam hati saat dia mengumpulkan akal sehat dan mendorong dada bidang Arley sekuat tenaga sehingga pria di atasnya ini pergi.Arley berpindah ke ranjang di sisi kanan Prims, dengan kancing kemeja yang terbuka hingga ke perutnya, mengekspos sebagian tubuhnya yang seksi dan atletis. Dan sebelum pria itu kembali membicarakan soal 'mengambil sesuatu yang paling berharga' miliknya, Prims segera mengenyahkan dirinya.Derap kakinya menggema di penjuru kamar, dia membuka pintu ruangan dengan gegas, berlari menuruni tangga. Tak berhenti merutuki dirinya sendiri yang selalu melakukan hal bodoh di depan Arley.Sebelumnya dengan menggigil kedinginan seperti anak kambing di dalam mobil di malam Arley menjemputnya.Lalu melakukan hal memalukan gara-gara bertengkar bersama Alice di dalam toko kue, dan beberapa menit yang lalu malah membuka pakaian Arley serta menariknya untuk jatuh di atas ranjang.Dia memukuli kepalanya, mengancam dirinya sendiri dengan, "Berhenti melakukan hal memalukan, Primrose!"Dia sampai di ujung anak tangga dan berjalan ke sembarang arah.Entah ke mana asalkan untuk saat ini dia tidak perlu bertemu dengan Arley dulu. Dia tidak yakin akan meletakkan wajahnya di mana seandainya mereka bertatap muka.Prims berjalan ke luar rumah, pelariannya membuatnya singgah di taman belakang.Dengan jantung yang masih berdebar, dia berpikir dalam diam, 'Kalau mengambil hal berharga itu tidak seperti yang aku pikirkan, lalu apa yang ingin dia katakan?'Desahnya berbaur dengan sepoi angin yang membelai kelopak bunga. Yang sesaat kemudian dia sadari bahwa bunga yang ditanam di taman itu adalah bunga yang memiliki nama yang sama dengannya, primrose.Prims menyentuh kelopaknya yang cantik, para primrose ini hidup di taman bunga milik Arley Miller yang bahkan jauh lebih menjanjikan kebahagiaan daripada Primrose Harvey yang hidup memiliki keluarga tetapi hanya dianggap sebagai 'bayangan' dan 'si terbuang.'Padahal sudah sejauh ini. Dia sudah memiliki hidup yang baru setelah menikah, tapi apa yang terjadi di belakang sana belum bisa dia lupakan."Sudah saatnya menata hidup baru, Primrose. Lupakan mereka dan biasakan hidup dengan Arley."Karena jika dipikir-pikir, ternyata rumor tentang kekejaman Arley itu tidak benar sama sekali. Dia bukan pria jahat.Dia adalah pria yang baik meski bicaranya pelit.Saat sedang mengagumi bunga, dia mendengar dari jauh samar-samar beberapa pelayan yang menyapa Arley. Sebelum Arley melihatnya di sini, Prims berlari pergi, meninggalkan kelopak bunga yang seolah sedang menertawakannya karena dia seperti sedang bermain petak umpet.Prims tidak tahu akan berapa lama dia melakukan hal seperti ini. Yang jelas itu dari pagi hingga sore.Dia melihat banyak ruangan yang ada di dalam rumah, melihat lukisan, melihat banyak hal untuk mengusir rasa bosan.Jam menunjuk pada pukul tujuh malam saat Prims memasuki ruang makan. Tapi langkahnya terhenti saat dia melihat Arley ada di sana dan bicara dengan Kepala Pelayan sehingga Prims memutuskan untuk menahan kemunculannya."Primrose di mana, Bu Jodie?" tanya Arley pada wanita paruh baya yang sedang menyiapkan makanan di atas meja.Jika diingat-ingat, Arley selalu memanggilnya dengan ‘Primrose’ bukan hanya ‘Prims’ dan itu sangat manis seperti cara ibunya dulu memanggilnya."Saya juga tidak melihatnya sejak tadi, Tuan Arley. Apa nona tidak ada di kamar?""Tidak ada.""Di depan?'"Tidak ada juga. Apa dia melarikan diri?"Ketimbang marah, yang keluar dari bibir Arley di indera pendengar Prims jauh lebih seperti kekhawatiran."Bagaimana kalau dia hilang di jalan?""Jangan berlebihan, Tuan. Kalau nona pergi pasti ada yang melihatnya.""Tolong tanyakan ke yang lain dan kabari aku!""Baik, Tuan."Jodie tampak menunduk di depan Arley sebelum pria itu mengayunkan kakinya menjauhi ruang makan.Arley berjalan naik ke lantai atas saat beberapa bisikan pelayan singgah di telinganya, “Tuan sibuk mencari nona pas tidak ada, tapi semalam saja mereka tidur pisah kamar.”“Kasihan nona, ‘kan? Apa nona dicampakkan?” sambung suara yang lainnya.“Ehem!” Mendengar Arley, mereka membubarkan diri. Dia mulai berpikir jika sebaiknya memang dia berhenti tidur di kamar yang lain.Langkahnya berbelok ke kamar di mana Prims menghabiskan malam.Sementara itu dari tempat persembunyiannya, Prims mengintip Arley pergi dengan sebuah perasaan yang membelenggunya dengan rasa bersalah karena sehari menghindarinya dan malah membuatnya khawatir.'Apa aku harus muncul saja?' batinnya berkecamuk.Prims mengambil langkah maju tapi dalam satu detik dia menahan kakinya lagi.Tapi apa yang terjadi jika mereka nanti bertemu?Bagaimana jika mereka nanti malah melakukan ....Prims menggosok tubuhnya sendiri, merinding hebat membayangkan Arley akan datang padanya dan mereka memanaskan ranjang untuk melakukan malam pertama.Atau, bagaimana nanti saat mereka bertemu, Arley malah akan melabelinya sebagai perawan tua yang pikirannya kotor? Sehingga itu akan membenarkan gosip tentang dirinya yang aneh di luar sana?Ah ... apa ini yang dinamakan maju segan mundur tertekan?Tapi ini sudah malam, dan tidak mungkin baginya untuk berkeliaran layaknya hantu penunggu rumah seperti ini.Sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri menghindari Arley.Dia pergi ke lantai atas, masuk ke dalam kamarnya."Aku akan mandi dan duduk manis menunggunya di ruang makan seolah tidak terjadi apa-apa," ucapnya pada diri sendiri.Prims berlari menuju ke kamar mandi dan masuk ke sana. Langkah kakinya terhenti saat dia memutar tubuhnya dan dia melihat orang yang dia hindari seharian.ARLEY.‘Kenapa dia ada di sini?’ tanya Prims dalam hati, bingung, dia pikir dia salah masuk kamar, tapi benar kok. Ini kamarnya.Dia bingung karena melihatnya tengah berendam di dalam bath tub.Manik mata mereka bertemu dalam keheningan yang membekukan Prims hingga dia tidak bisa bergerak."Wow," sambut Arley atas kecerobohannya yang masuk menginvasi area pribadinya."Kamu seharian menghindariku tapi sekarang malah menyusulku mandi?""T-t-tidak, Tuan Arley!" jawab Prims dengan tergagap. "Jangan salah paham! Aku masuk karena aku tidak tahu kamu di sini. Aku tidak menyusulmu."Saat Prims sibuk membela diri, dengan gugup dan berdebar hingga kakinya lemas, Arley malah mengarahkan tangannya ke depan dan dengan wajahnya yang datar bertanya, "Mau bergabung?""Apa?""Mandi denganku."Oh Damn!"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana. Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi. Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja. Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?" Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil. Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam. Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara. Tapi, 'bencana' baru saja dimulai. Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya. “Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan. “Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar. “Kenapa?” “Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.” Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjal
Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan. 'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih
Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be
Mendengar nada bicara Prims meninggi, apalagi dengan kata 'menyakiti' yang dia ucapkan dengan sedikit putus asa, membuat Arley akhirnya tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. Arley langsung melepaskan tangan gadis itu dari cengkeramannya.Prims menarik tangannya ke depan dada dan menatap Arley tajam. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih.“Kenapa tiba-tiba menyeretku?” tanya Prims, menatap Arley yang tampak sedang mengatur napas. "Apa yang kamu lakukan dengan pria itu, Primrose?" Arley balik bertanya. Nada suara dan tatapannya sama-sama dingin.Prims tidak suka dengan cara Arley bertanya, seolah-olah Prims telah melakukan sebuah kejahatan dan saat ini tengah dihakimi. “Tidak ada,” sahut Prims kemudian. “Aku hanya mengobrol dengannya.” Prims berusaha agar tak terlihat emosional meski sebenarnya masih kesal karena Arley menyeretnya seperti tadi.“Mengobrol?” Arley mendenguskan tawa sinis. Ia bersedekap dan menatap Prims dengan tatapan yang sulit diartikan.
“B-bukannya aku t-tidak mau di sampingmu, hanya saja ….” Prims menjeda kalimatnya, melepaskan diri dari Arley, mengambil jarak lebih lebar. Ia menyilangkan tangannya di depan bagian tubuh atasnya, secara tak langsung ingin mengatakan pada Arley bahwa sebaiknya mereka tidak terlampau dekat sebab gaun yang dikenakan oleh Prims itu kotor.Arley memperhatikannya, dengan tanpa kata melepas jas yang dia kenakan dan menyerahkannya pada Prims, “Pakai itu untuk menutupi gaunmu,” ucapnya lembut.Menunggu Prims melakukan yang dia minta lebih dulu kemudian mengatakan kalimat untuk terakhir kalinya sebagai penutup malam ini, “Ayo pulang.”Prims tak ingin menimbulkan keributan baru dan memilih untuk mengikutinya saja. Sebab mau menjawab atau menolak pun bibirnya gagap serta sukar membentuk kalimat.Mereka tidak saling bicara sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di rumah.Prims berjalan di belakang Arley yang membiarkannya mengekor langkahnya di belakang. Disambut oleh Jodie, Kepala Pelayan di ru
"Prims? Kamu di sini juga?" sapa Richard dengan mata yang berbinar senang."H-halo," jawab Prims dengan ragu. Menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya.Sekilas pandang saja Prims tahu jika Arley tak suka dengan pertemuan ini. Apalagi dengan bola matanya yang berputar dengan malas dan enggan itu.'Bagaimana kalau Arley mengira aku dan Richard sengaja bertemu di sini?' batin Prims tidak tenang, sedikit banyak menanggung kepanikan."Kamu datang dengan siapa?" tanya dari Richard mengakhiri pemikirannya."I-itu ...." Menatap pada Richard, Prims bingung harus menjawab apa. Dia hanya takut salah berucap.Dan barangkali Arley tak akan suka jika Prims mengatakan dia datang ke sini bersama dengan suaminya, atau Arley tidak ingin membawa status pernikahan mereka ke depan banyak orang.Kebimbangan yang menyergapnya dikejutkan oleh Arley yang lebih dulu mengenalkan dirinya, "Denganku. Arley Miller, suaminya Primrose."Deg!'Dia benar-benar mengatakan suami?' batin Prims tidak percaya.N
“Tidak!” sanggah Arley dengan cepat menyadari kalimat Prims lebih terdengar seperti, ‘Anda sangat mesum, Tuan Arley!’Prims mengangkat salah satu sudut bibirnya mendengar sanggahan pria itu, tawa lirih ejekannya membuat Arley kembali mengelak. “Aku salah memilih film! Bukan film ini yang—” Arley berhenti bicara karena Prims membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. “Ssshh ....” desis Prims dengan mata terpejam kesal karena Arley mengundang perhatian semua penonton yang ada di dalam sana dengan suara baritonnya yang menggema sangat keras.“Jangan bicara keras-keras,” lirih Prims hampir putus asa karena mereka menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang mata yang sepertinya lebih tertarik dengan keributan mereka daripada film yang belum beranjak dari adegan dewasa di depan sana.Dan memandang tangannya yang tengah membungkam Arley membuat Prims sadar dia dalam masalah, ‘Oh astaga ... apa yang aku lakukan?!’ batinnya panik dan perlahan menarik tangannya dari bibir Arley.Mata pria itu
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.