“Tidak!” sanggah Arley dengan cepat menyadari kalimat Prims lebih terdengar seperti, ‘Anda sangat mesum, Tuan Arley!’Prims mengangkat salah satu sudut bibirnya mendengar sanggahan pria itu, tawa lirih ejekannya membuat Arley kembali mengelak. “Aku salah memilih film! Bukan film ini yang—” Arley berhenti bicara karena Prims membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. “Ssshh ....” desis Prims dengan mata terpejam kesal karena Arley mengundang perhatian semua penonton yang ada di dalam sana dengan suara baritonnya yang menggema sangat keras.“Jangan bicara keras-keras,” lirih Prims hampir putus asa karena mereka menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang mata yang sepertinya lebih tertarik dengan keributan mereka daripada film yang belum beranjak dari adegan dewasa di depan sana.Dan memandang tangannya yang tengah membungkam Arley membuat Prims sadar dia dalam masalah, ‘Oh astaga ... apa yang aku lakukan?!’ batinnya panik dan perlahan menarik tangannya dari bibir Arley.Mata pria itu
Prims terdiam, tenggelam dalam betapa membiusnya mata Arley yang menguncinya tepat setelah lengan kekarnya membuat Prims duduk di pangkuannya.Dan Arley memang benar jika rasanya nyaman, lebih nyaman ketimbang berdiri dan menggerutu merutuki sempitnya tempat di mana mereka berada ini.Prims terhening dengan tak melakukan apapun bahkan setelah menit bergulir, sibuk mencerna situasi yang menjeratnya secara tiba-tiba.“Kamu tidak akan mengambil fotonya?” tanya Arley yang membuat Prims sedikit terkejut. Dia menatap Arley yang wajahnya sekarang sedikit lebih rendah darinya.“T-t-tapi ini ....” gugup Prims dengan meremas tangannya yang terasa berkeringat. “Apa?” tanya Arley dengan kedua alisnya yang terangkat.“Apa tidak apa-apa aku duduk di sini seperti ini?” Prims sekilas menyentuh pipinya yang terasa semakin panas. Dia menghindari tatapan Arley yang tak beranjak dari irisnya sama sekali. Sedang pria itu tak berminat memberi Prims jawaban dan lebih memilih untuk mendesaknya, “Cepatlah!”
Hening menyergap, debar jantung menjerat hingga bibir terpasung tak bisa terucap. Prims menatap seringai dari salah satu sudut bibir Arley yang tertarik. Kilatan matanya menggoda Prims, menyudutkannya hingga tak bisa bergerak. Alisnya yang lebat terangkat sebelah saat dia sekali lagi bersuara. Kali ini bibirnya mendekat di telinga Prims. “Apapun pilihanmu, aku bisa mewujudkannya.” Kemudian dia menarik wajahnya dan mengamati setiap sudut wajah Prims sekali lagi. Prims menelan ludahnya gugup, berpikir bahwa ini bukan saatnya untuk termakan bujuk rayunya, apalagi diam dan menerima desakan. Setelah beberapa kesempatan sebelumnya Arley membuatnya salah tingkah, ‘Ini waktunya melawan,’ pikirnya menggebu penuh tekad. Alih-alih meremas tangannya guna meredam kegugupan, Prims justru mengangkat dagunya. “Ternyata benar yang aku katakan tentangmu tadi, Tuan Arley,” ucapnya dengan tawa lirih yang menyiratkan ejekan. “Apa?
“Wanita sepertimu tahu apa soal masalah begini? Jangan ikut campur kamu!” hardik Katie sekali lagi.Suaranya serak, menyiratkan kebencian yang besar. Menatap Prims dengan dadanya yang naik turun tak beraturan.Prims menghela napasnya, memberi beberapa detik untuknya tenang sebelum pelan-pelan mengatakan alasan dia bertanya seperti itu. “Maaf ... aku hanya ingin membantu saja, Nyonya.”Katie tertawa mendengarnya, dia mendengus semakin marah saat jari telunjuknya menuding Prims, menolak uluran tangan menantunya itu sekali lagi, “Kamu bukan di level kami untuk mengerti hal seperti ini. Jadi berhentilah mempermalukan dirimu sendiri!”Kemarahannya menggema di setiap sudut ruangan.
Hening dalam rasa kagum seketika menjalari seisi ruangan begitu Alice mengatakan bahwa dirinyalah si pemilik identitas Rosefiore sang pelukis legendaris yang namanya disanjung harum oleh semua undangan, tak terkecuali Katie yang masih belum mengalihkan matanya dari Alice sama sekali.“Sungguh itu kamu, Alice? Benar begitu, Profesor Mashe?”Netranya kemudian beralih pada Profesor Mashe yang terpaku di tempatnya berdiri.Bibir pria berambut putih itu bergerak samar namun tanpa suara. Tatapannya sejenak kosong mengarah pada satu titik sebelum mengedipkan mata sebanyak beberapa kali kemudian menjawab Katie dengan senyum simpul disertai sebuah anggukan“Astaga, Alice ... bagaimana aku harus berterima kasih padamu?” tanya Katie kembali memandang Alice dengan tangannya yang mengusap lembut pipi merona gadis itu. “Kamu memang luar biasa. Benar yang dikatakan orang di luar sana kalau kamu memang sempurna. Seperti inilah cara wan
Melihat Arley yang pergi dan meninggalkannya tanpa memberitahu keperluan apa yang dia lakukan di Fairmount Hotel membuat Prims memikul banyak pikiran.Harusnya Prims tidak perlu terbebani tentang hal ini. Ke mana Arley pergi, atau apa yang akan dia lakukan di luar sana, Prims tidak berhak mengaturnya, ‘kan?Dan bukankah ia harusnya sadar diri bahwa mereka memang tak sedekat itu untuk berpamitan atau mengatakan apa yang dilakukannya di luar sana?Prims meraba dadanya yang terasa sesak, “Kenapa hatiku sesakit ini?” tanyanya pada diri sendiri.Ia menunduk, menatap Persian rug di mana Arley berdiri di sana sebelumnya. Bau parfumnya yang maskulin masih tertinggal di sekitar Prims, sedang pemiliknya sudah dalam perjalanan untuk bertemu dengan wanita pilihan ibunya.Merasakan hatinya yang bergejolak, Prims menanyai dirinya sekali lagi, “Apa aku jatuh cinta padanya?” Yang jika hati kecilnya menjawab dengan ‘iya’ ar
Segala kata tertahan di bibir Prims, ingin dia luapkan teguran untuk keduanya yang seperti tidak memiliki beban saat berjalan berdampingan sekeluarnya dari dalam lift.Prims mengambil satu langkah ke depan, lisannya telah menyiapkan banyak tanya. Dari apa yang sedang mereka lakukan di sini, atau mengapa hanya mereka berdua saja?Namun, hal itu dia urungkan. Prims mempertimbangkannya sekali lagi. ‘Akan jadi apa nama baik keluarga Miller seandainya aku membuat malu Arley di sini?’Bukan hal yang baik jika dirinya memicu keributan dan menjadi konsumsi publik. Jika hal itu ia lakukan ... “Bukankah yang ada Nyonya Katie akan semakin membenciku?” gumam Prims dengan membuang napasnya.Kakinya dia minta untuk mundur teratur, ia memilih untuk menahan diri. “Sebaiknya aku tanyakan langsung pada Arley nanti kalau dia sampai di rumah,” lanjutnya mengambil keputusan.Barangkali ... itu adalah hal yang paling benar.Pri
Selama beberapa detik, dunia seperti sedang menahan napas hanya untuk menunggu Arley memberi Prims jawaban.Selagi gadis itu tidak mengalihkan matanya dari iris kelam Arley, pria yang duduk di hadapannya itu masih mengatup kedua bibirnya. Saat Prims berpikir bahwa Arley akan menjawab ‘tidak’, yang didengar oleh Prims justru sebaliknya.“Iya,” ucap Arley dengan sebuah anggukan.Dia mengatakan kejujuran tetapi Prims malah berpikir jika dia mulai terang-terangan mengakui hubungannya dengan Alice, wanita pilihan ibunya.Prims menundukkan kepalanya, perubahan wajahnya yang terlihat sendu dan kilatan kemarahan yang dijumpai Arley pada matanya yang cantik membuatnya tersenyum kecil. Seolah ekspresi yang diperlihatkan oleh wajahnya itu adalah kombinasi yang unik.“Tahu dari mana kamu kalau aku bertemu dengannya?” tanya Arley untuk menghancurkan keheningan yang memeluk mereka. Dan berhasil membuat Prims mengangkat w
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.