Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.
Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan.'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri.'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih belum pergi. Wanita bergaun hitam itu jelas menunggu jawaban dari Arley.Prims pun juga. Dia penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan oleh pria berstatus suaminya itu.Namun, Arley tampak tak terganggu dengan kebisingan Katie di sebelahnya. Malahan sibuk dengan segelas wine dalam gelas berkaki yang dia bawa di tangan kanannya."Arley? Kamu dengar Mama, 'kan?" tanya Katie, lengkap dengan mengguncang bahunya."Dengar," jawabnya singkat, tak berhasrat."Ajaklah Alice, ya?" tegasnya dengan alis yang jatuh membentuk kerutan.Penuh penekanan serta tak ingin dibantah."Kenapa aku harus mengajaknya?" desah Arley enggan.Menatap cairan berwarna merah keunguan yang ada di dalam gelasnya yang dia goyangkan ke kiri dan ke kanan jauh lebih menarik daripada pagelaran dansa."Kamu mendengar alasan Mama.""Tidak mau," ucapnya seraya memutar kepalanya pada Katie. Sedikit menengadahkan wajahnya dan bertatap mata dengan sang ibu yang berdiri dan merosot kedua bahunya penuh rasa kecewa.Prims melihatnya, dan tidak ingin merecoki perdebatan mereka serta memilih untuk diam saja.Namun, diam-diam tertawa batinnya melihat Katie yang keinginannya tak bersambut.Melalui sudut matanya, Prims melihat Katie yang hampir pergi. Tetapi itu sebelum seorang perempuan bergaun merah yang dikenal oleh Prims datang entah dari mana menghampiri mereka.Gadis itu adalah Alice. Kedua netranya mengarah pada Arley kala jemarinya yang lentik memanjang ke depan. Tuturnya yang manis berujar, "Maukah Tuan Arley berdansa denganku?"Prims mengamati perubahan wajah Katie. Ibu mertuanya itu tampak girang dengan inisiatif dan keberanian Alice yang lebih dulu mengajak Arley untuk melantai."Terimalah, Arley ... bukannya tidak baik menolak gadis semanis Alice?"Arley mendorong napasnya penuh beban. Sekilas memandang Prims yang bibirnya terkatup rapat, serta menunggu kelanjutan kalimat ibunya yang masih gigih memintanya dan Alice menjadi pasangan semalam."Mama pikir kalian sangat serasi. Kamu tampan, dan Alice cantik. Apalagi yang kamu pikirkan?"Jika mereka berdansa, spotlight malam ini pasti akan jatuh pada mereka. Setidaknya begitulah yang ada di dalam pikiran Katie.Pujian yang tiba di indera pendengar Alice jelas membuat gadis berambut coklat gelap itu semakin besar kepala.Prims bisa melihat seringai kemenangan dari salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas, seolah tengah berkata, “Lihat, kan, Prims? Kau tak akan bisa menang dariku!”Desah enggan Arley terdengar sekali lagi.Dia benar-benar tidak suka dengan paksaan ini, hanya saja dia tidak ingin membuat keributan dan mengacaukan acara yang harusnya menjadi awal baik untuk produk baru Kings Cosmetics.Kediamannya diartikan sebagai sebuah 'iya' oleh Alice dan Katie. Penanda kemenangan mereka sudah dalam genggaman tangan.Tetapi kemenangan hanya bersifat sementara karena mereka mendengar Prims yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara.“Bukankah tidak sopan mengajak pria beristri berdansa di depan istrinya sendiri?” Prims menatap Alice dan Katie bergantian, “Apalagi … ada ibunya di sini. Apakah kamu tidak tahu sopan santun, Alice Harvey?”Kemenangan yang sudah dianggap ada di pihak Katie dan Alice hancur dalam sekejap kala Prims yang sedari tadi bisu tiba-tiba menunjukkan taringnya.Alih-alih terlihat sedih seperti yang dia pikirkan, aura kakak tirinya itu justru tampak mendominasi dan angkuh. Alice belum pernah melihatnya seperti itu.Dagu Prims sedikit terangkat, seolah sedang menunjuk bahwa Alice tak lebih dari seorang penggoda rendahan yang tak tahu malu.“A-apa?” tanya Alice tergagap. Pupil matanya bergerak tidak nyaman saat Prims menatapnya lekat.Dia gusar, malu karena perhatian semua orang mulai beralih kepadanya, atau pada tangannya yang masih mengarah pada Arley dan mengajaknya berdansa. Yang kini terpaksa harus dia tarik perlahan dan dia sembunyikan di belakang punggungnya."Daripada Alice atau perempuan lain, bukankah aku yang paling berhak berdansa dengan Arley karena aku adalah istrinya?" lanjut Prims dengan menatap bergantian pada Alice dan juga Katie.“Bukankah begitu?” tanyanya kali ini mengarah pada Arley.“Ya,” jawabnya singkat dengan sedikit senyuman.Baik itu Alice dan Katie tidak bisa menjawab lagi oleh serangan telak dari Prims.Ketegangan yang terjadi sedang coba diluruhkan oleh ruangan yang mulai diisi oleh alunan musik, merayu mengajak setiap insan yang ada di sana untuk berdansa.Prims berdiri dari duduknya saat tangannya diraih Arley dan pergilah mereka ke lantai dansa. Pria itu tak mengatakan apapun selain iris gelapnya yang seolah bicara ‘ayo’ saat membawa Prims pergi dari raut kebencian Katie dan Alice.Cahaya yang tadinya menerangi ruangan berubah meredup. Menyisakan beberapa lampu sorot.Beberapa pasang muda-mudi mulai mengambil tempat. Sedang Arley yang tadinya tak berminat menginjakkan kakinya sama sekali ke sana entah kenapa ingin menghabiskan satu lagu bersama dengan Prims.Dia letakkan telapak besarnya di pinggangnya yang ramping, tangan mereka saling menggenggam menerjang batas.Mata bersambut dalam kebisuan di antara mereka berdua sebab Arley masih tak percaya melihat seorang Primrose Harvey ternyata bisa memberikan perlawanan saat dihina dan ditindas.Sebuah kepribadian yang belum pernah dilihat oleh Arley.“Kenapa?” tanya Prims karena Arley terus menatapnya.Tapi pria itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya diiringi gelengan kepala.Begitu saja satu lagu terlewati. Mereka menjauhi lantai dansa dan berjalan kembali ke tempat duduk yang mereka tinggalkan.Prims mengayunkan kakinya pada Alice yang wajahnya penuh dengan kebencian hingga akhirnya mereka tak lagi memiliki jarak."Silakan kalau kamu mau berdansa dengan Arley," ucap Prims datar, seulas senyum terbit di bibirnya yang bisa diartikan oleh Alice apa maksudnya.“Kamu pikir kamu akan terus menang? Kamu yang sekarang harus mengemis bekasku, Alice!”Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be
Mendengar nada bicara Prims meninggi, apalagi dengan kata 'menyakiti' yang dia ucapkan dengan sedikit putus asa, membuat Arley akhirnya tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. Arley langsung melepaskan tangan gadis itu dari cengkeramannya.Prims menarik tangannya ke depan dada dan menatap Arley tajam. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih.“Kenapa tiba-tiba menyeretku?” tanya Prims, menatap Arley yang tampak sedang mengatur napas. "Apa yang kamu lakukan dengan pria itu, Primrose?" Arley balik bertanya. Nada suara dan tatapannya sama-sama dingin.Prims tidak suka dengan cara Arley bertanya, seolah-olah Prims telah melakukan sebuah kejahatan dan saat ini tengah dihakimi. “Tidak ada,” sahut Prims kemudian. “Aku hanya mengobrol dengannya.” Prims berusaha agar tak terlihat emosional meski sebenarnya masih kesal karena Arley menyeretnya seperti tadi.“Mengobrol?” Arley mendenguskan tawa sinis. Ia bersedekap dan menatap Prims dengan tatapan yang sulit diartikan.
“B-bukannya aku t-tidak mau di sampingmu, hanya saja ….” Prims menjeda kalimatnya, melepaskan diri dari Arley, mengambil jarak lebih lebar. Ia menyilangkan tangannya di depan bagian tubuh atasnya, secara tak langsung ingin mengatakan pada Arley bahwa sebaiknya mereka tidak terlampau dekat sebab gaun yang dikenakan oleh Prims itu kotor.Arley memperhatikannya, dengan tanpa kata melepas jas yang dia kenakan dan menyerahkannya pada Prims, “Pakai itu untuk menutupi gaunmu,” ucapnya lembut.Menunggu Prims melakukan yang dia minta lebih dulu kemudian mengatakan kalimat untuk terakhir kalinya sebagai penutup malam ini, “Ayo pulang.”Prims tak ingin menimbulkan keributan baru dan memilih untuk mengikutinya saja. Sebab mau menjawab atau menolak pun bibirnya gagap serta sukar membentuk kalimat.Mereka tidak saling bicara sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di rumah.Prims berjalan di belakang Arley yang membiarkannya mengekor langkahnya di belakang. Disambut oleh Jodie, Kepala Pelayan di ru
"Prims? Kamu di sini juga?" sapa Richard dengan mata yang berbinar senang."H-halo," jawab Prims dengan ragu. Menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya.Sekilas pandang saja Prims tahu jika Arley tak suka dengan pertemuan ini. Apalagi dengan bola matanya yang berputar dengan malas dan enggan itu.'Bagaimana kalau Arley mengira aku dan Richard sengaja bertemu di sini?' batin Prims tidak tenang, sedikit banyak menanggung kepanikan."Kamu datang dengan siapa?" tanya dari Richard mengakhiri pemikirannya."I-itu ...." Menatap pada Richard, Prims bingung harus menjawab apa. Dia hanya takut salah berucap.Dan barangkali Arley tak akan suka jika Prims mengatakan dia datang ke sini bersama dengan suaminya, atau Arley tidak ingin membawa status pernikahan mereka ke depan banyak orang.Kebimbangan yang menyergapnya dikejutkan oleh Arley yang lebih dulu mengenalkan dirinya, "Denganku. Arley Miller, suaminya Primrose."Deg!'Dia benar-benar mengatakan suami?' batin Prims tidak percaya.N
“Tidak!” sanggah Arley dengan cepat menyadari kalimat Prims lebih terdengar seperti, ‘Anda sangat mesum, Tuan Arley!’Prims mengangkat salah satu sudut bibirnya mendengar sanggahan pria itu, tawa lirih ejekannya membuat Arley kembali mengelak. “Aku salah memilih film! Bukan film ini yang—” Arley berhenti bicara karena Prims membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. “Ssshh ....” desis Prims dengan mata terpejam kesal karena Arley mengundang perhatian semua penonton yang ada di dalam sana dengan suara baritonnya yang menggema sangat keras.“Jangan bicara keras-keras,” lirih Prims hampir putus asa karena mereka menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang mata yang sepertinya lebih tertarik dengan keributan mereka daripada film yang belum beranjak dari adegan dewasa di depan sana.Dan memandang tangannya yang tengah membungkam Arley membuat Prims sadar dia dalam masalah, ‘Oh astaga ... apa yang aku lakukan?!’ batinnya panik dan perlahan menarik tangannya dari bibir Arley.Mata pria itu
Prims terdiam, tenggelam dalam betapa membiusnya mata Arley yang menguncinya tepat setelah lengan kekarnya membuat Prims duduk di pangkuannya.Dan Arley memang benar jika rasanya nyaman, lebih nyaman ketimbang berdiri dan menggerutu merutuki sempitnya tempat di mana mereka berada ini.Prims terhening dengan tak melakukan apapun bahkan setelah menit bergulir, sibuk mencerna situasi yang menjeratnya secara tiba-tiba.“Kamu tidak akan mengambil fotonya?” tanya Arley yang membuat Prims sedikit terkejut. Dia menatap Arley yang wajahnya sekarang sedikit lebih rendah darinya.“T-t-tapi ini ....” gugup Prims dengan meremas tangannya yang terasa berkeringat. “Apa?” tanya Arley dengan kedua alisnya yang terangkat.“Apa tidak apa-apa aku duduk di sini seperti ini?” Prims sekilas menyentuh pipinya yang terasa semakin panas. Dia menghindari tatapan Arley yang tak beranjak dari irisnya sama sekali. Sedang pria itu tak berminat memberi Prims jawaban dan lebih memilih untuk mendesaknya, “Cepatlah!”
Hening menyergap, debar jantung menjerat hingga bibir terpasung tak bisa terucap. Prims menatap seringai dari salah satu sudut bibir Arley yang tertarik. Kilatan matanya menggoda Prims, menyudutkannya hingga tak bisa bergerak. Alisnya yang lebat terangkat sebelah saat dia sekali lagi bersuara. Kali ini bibirnya mendekat di telinga Prims. “Apapun pilihanmu, aku bisa mewujudkannya.” Kemudian dia menarik wajahnya dan mengamati setiap sudut wajah Prims sekali lagi. Prims menelan ludahnya gugup, berpikir bahwa ini bukan saatnya untuk termakan bujuk rayunya, apalagi diam dan menerima desakan. Setelah beberapa kesempatan sebelumnya Arley membuatnya salah tingkah, ‘Ini waktunya melawan,’ pikirnya menggebu penuh tekad. Alih-alih meremas tangannya guna meredam kegugupan, Prims justru mengangkat dagunya. “Ternyata benar yang aku katakan tentangmu tadi, Tuan Arley,” ucapnya dengan tawa lirih yang menyiratkan ejekan. “Apa?
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.