“Maaf, Kak, saya baru saja habis mandi.”
Beth berlari menuju gerbang. Rambut pendeknya yang masih setengah basah menempel di pelipisnya, sisa airnya menetes ke leher. Ia buru-buru membuka kunci, lalu mendorong gerbang berat itu hingga berderit.
Mobil hitam berkilap meluncur masuk tanpa terburu-buru, seperti predator yang tahu buruannya tak akan lari ke mana-mana. Saat kendaraan itu berhenti, pintu terbuka, dan keluarlah Erica, ibu mertuanya, diikuti dua putrinya, Claire dan Amy.
Jantung Beth mencelos. Ia menelan ludah, instingnya langsung menjerit. Mereka tidak pernah memberi kabar jika hendak datang.
“Kenapa Ibu dan Kakak tidak telepon dulu?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. “Kalau telepon, pasti saya tunggu.”
Claire hanya mendelik. Amy mendengus pendek.
“Buat apa telepon? Ini rumah adikku, bukan rumahmu,” ucapnya sambil menyampirkan tas mahalnya ke pundak Beth, seolah Beth ini hanya gantungan hidup yang kebetulan berbentuk manusia.
Beth buru-buru menangkapnya sebelum jatuh. Belum sempat ia menyeimbangkan tas berat itu, Erica sudah melangkah melewatinya. Perempuan tua itu bergerak lambat dengan kaki yang bengkak dipenuhi varises, tapi tatapannya tajam, mengawasi rumah seakan mencari sesuatu untuk dikritik.
Saat memasuki ruang tamu, Erica langsung mendengus.
“Rumah kok begini?” gumamnya dengan ekspresi jijik. “Bau pengap. Lantainya masih ada debu. Kamu ini istri atau majikan sih?”
Beth menahan napas, menelan kata-kata yang ingin keluar. Sudah dipel tadi pagi. Tapi percuma, mulutnya tak akan bisa mengubah pendapat Erica.
“Maaf, Bu. Besok saya bersihkan lagi.”
Claire mencibir, melemparkan tasnya ke sofa sembarangan. “Kalau bisa besok, kenapa tidak tadi?”
Amy tertawa kecil. “Mungkin dia sibuk. Kan banyak kerjaan, kerjaan yang tidak berguna.”
Beth mengepalkan jemarinya di balik punggung. Seth, di mana kamu?
Oh, tapi apa bedanya? Seth tak pernah ada untuknya. Bahkan saat di rumah, ia lebih sering diam atau ikut tertawa bersama keluarganya saat Beth dipermalukan.
“Jauh-jauh ke sini, masa tidak ada minuman?” Claire menyilangkan tangan di dada, sorot matanya menusuk.
Beth tersentak. “Maaf, Kak. Mau minum apa?”
Claire meliriknya dari ujung kepala sampai kaki, bibirnya tertarik ke atas. “Teh saja. Jangan hambar.”
Beth menoleh ke Erica. “Ibu mau minum apa?”
“Apa saja,” Erica menjawab tanpa menoleh sedikit pun.
“Kak Amy?”
Amy menyeringai. “Samakan saja. Perempuan macam kamu mana bisa bikin teh yang layak?”
Beth menggigit bibirnya. Perempuan macam aku? Bahkan belum lima menit, mereka sudah mulai menusuknya dengan kata-kata.
Tanpa menunggu lebih lama, Beth bergegas ke dapur. Tangannya bergerak otomatis menyiapkan teh, meskipun pikirannya penuh dengan amarah yang ia tekan dalam-dalam.
Saat ia menuangkan air panas ke cangkir, suara Erica terdengar dari belakangnya.
“Seth kapan pulang?”
“Harusnya hari ini, Bu. Saya belum menerima kabar.” Beth menggenggam sendok teh erat-erat, mencoba menenangkan getaran kecil di jarinya.
“Coba telepon.”
Beth menegang. Ia tidak suka menghubungi Seth saat sedang dinas luar kota karena sering kali itu hanya berakhir dengan omelan. Tapi ia tahu, menolak bukan pilihan.
Dengan berat hati, ia mengambil ponselnya, mencari nama Seth, dan menekan panggilan.
Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Tidak diangkat.
Bagus. Beth menarik napas lega. Lebih baik begini daripada ia harus mendengar Seth mendesah malas dan mengatakan, “Beth, aku sibuk.”
“Apa dia mau angkat telepon dari kamu?” Amy mencibir dari ambang pintu dapur. “Ya jelas. Suami mana yang mau repot angkat telepon dari istrinya yang tidak berguna?”
Beth mengangkat wajah, rahangnya mengeras. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Amy sudah menekan nomor Seth di ponselnya sendiri.
Tak butuh lama. Seth langsung mengangkat.
“Halo, Kak Amy?”
Amy menyeringai, menatap Beth penuh kemenangan. “Seth, aku, Ibu, dan Claire lagi di rumahmu. Katanya pulang hari ini, ternyata masih sibuk ya?”
"Iya, Kak. Aku masih ada acara kantor. Besok malam aku sudah sampai rumah. Nanti aku bawakan oleh-oleh," sahut Seth dari seberang sana.
Amy mendengus puas, menekan tombol speaker agar Beth bisa mendengar lebih jelas.
“Wah, kamu memang paling perhatian. Ke mana-mana selalu ingat keluarga. Hebat.”
Erica menghampiri, menyambar ponsel dari tangan Amy. “Halo, anakku paling tampan.”
"Iya, Bu. Aku pulang besok. Tadi aku sudah bilang pada Kakak. Aku bawakan oleh-oleh untuk kalian."
"Ya sudah, hati-hati di jalan."
Erica mengembalikan ponsel ke Amy dan menatap Beth dengan pandangan yang membuat darah Beth seperti membeku.
“Hah,” Erica menghela napas, menggeleng. “Ya gini ini kalau istri tidak bisa kasih keturunan. Masih juga dipertahankan?”
Claire tertawa. “Seth pasti kasihan. Makanya belum cerai-cerai juga.”
Beth menunduk, jemarinya memilin ujung kaos panjang yang ia kenakan. Kaos yang sengaja ia pilih untuk menutupi bekas kiss mark dari Cayden semalam.
Claire berdiri, meraih tasnya. “Ya sudah, ayo pulang.”
Beth tersentak. “Tapi tehnya belum diminum, Bu.”
“Teh buatannya pasti hambar.” Erica melangkah menuju pintu, diikuti Claire dan Amy. “Sama seperti orangnya.”
Beth hanya bisa berdiri di ambang pintu, menyaksikan mereka pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Seakan ia tidak pernah ada.
Perempuan itu mengembuskan napas panjang, menekan perasaan yang menggumpal di dadanya. Inilah alasan kenapa ia ingin hamil.
Ia ingin mereka berhenti merundungnya.
Ia ingin mereka berhenti memperlakukannya seperti sampah.
Tapi benarkah semuanya akan berubah jika ia memiliki anak?
Ataukah ini hanya ilusi yang ia buat sendiri agar tetap bertahan?
***
Seth turun dari taksi biru yang berhenti tepat di depan rumah. Ia merogoh dompet dari saku belakang celananya, menyerahkan beberapa lembar uang ke pengemudi sebelum melangkah keluar.
Udara sore terasa sedikit panas, langit mulai beranjak jingga, dan sisa suara kendaraan di kejauhan menjadi latar yang samar.
Begitu taksi melaju pergi, Seth mengeluarkan ponselnya, menekan nomor yang sudah sangat dihafalnya di luar kepala.
Nada sambung hanya terdengar sekali sebelum suara lembut di seberang menjawab.
Sudah, baru saja di depan gerbang. Sudah ya, kita ketemu lagi besok di kantor.
Seth menyeringai kecil. “Oke, sayang. Aku sudah rindu padamu.”
Sama, aku juga.
Ia menghela napas, membiarkan perasaan hangat dari suara Conny merasuk ke dalam dirinya sebelum akhirnya menekan tombol merah. Tangannya mengetuk-ngetuk ponsel di telapak tangan, tatapannya kosong menatap pintu rumah.
Tak ada perasaan bersalah, tidak sedikit pun.
Beth mungkin istrinya, tapi Conny adalah tempatnya pulang.
Dengan malas, Seth melangkah ke dalam rumah, menutup pintu, lalu melempar tas ke sofa tanpa pikir panjang. Rumah terasa sunyi.
Tidak ada suara Beth menyambutnya, tidak ada aroma masakan yang menguar dari dapur. Ia tahu, Beth pasti masih di kantor.
Dan sejujurnya, itu lebih baik.
Tanpa membuang waktu, ia naik ke lantai dua, membuka jendela kamar dan membiarkan angin sore masuk. Ia butuh udara segar setelah menghabiskan waktu dengan Conny.
Di sudut ruangan, sebuah foto pernikahan tergantung di dinding. Tatapan Beth dalam foto itu terlihat begitu polos, begitu penuh harapan. Seth berpaling. Terlalu banyak yang berubah sekarang.
“Sudah tadi ya sampainya? Maaf aku tak tahu. Seharusnya kamu telepon, biar aku bisa pulang lebih cepat.” Beth bergegas mendekati Seth yang sekarang sedang duduk di sofa memainkan ponselnya.Kopernya masih belum ia bereskan, pikirnya biar itu menjadi pekerjaan Beth.“Hhh …” hanya bunyi itu yang keluar dari mulutnya.Beth meletakkan tas kerjanya sembarangan dan membereskan koper Seth, membawanya ke dalam kamar dan memilah semua baju kotor untuk dimasukkan ke mesin cuci.Seth pintar, selama lima tahun perselingkuhannya dengan Conny, ia sama sekali tidak meninggalkan jejak barang sehelai rambut pun. Jadi ia percaya diri jika kopernya digeledah oleh Beth.“Minggu depan ada undangan makan malam khusus menyambut bos baru di kantor pusat. Kita diundang, maksudnya aku harus datang bersamamu.” Seth berbicara tanpa sedikit pun menatap Beth.Beberapa saat jeda sebelum Beth menjawab, “baiklah.”“Ingat, ini acara formal, kau harus mengenakan pakaian bagus. Nanti aku transfer untuk beli baju baru. L
Seminggu kemudian, Malam ini diadakan acara makan malam perusahaan Seth di sebuah hotel bintang lima guna menyambut bos baru yang akan memegang kantor pusat mulai sekarang. Ia adalah putra dari pemilik perusahaan tersebut. Baru saja pulang dari Amerika Serikat setelah lama bekerja di perusahaan tambang terbesar di negeri Paman Sam itu. Beth telah menyiapkan pakaian formal yang ia beli di toko berwarna oranye. Untung ada flash sale, jadi ia bisa mendapat pakaian yang bagus tetapi dengan harga miring. Masih ada kembalian lima puluh ribu, lumayan. Ia memilih rok hitam panjang dan kemeja panjang berwarna dusty pink. Ia padukan dengan tas anyaman berwarna hitam yang simple dan anggun, menurutnya. Ia juga membeli flat shoes warna hitam dengan payet berwarna perak di bagian ujung kakinya. Tetapi karena roknya yang panjang, flat shoes itu tidak terlalu terlihat. Beth tidak pernah memakai sepatu hak tinggi, kecuali pada malam ia bertemu Cayden. Pakaian dan sepatu itu pun sekarang telah B
Didampingi Ronald, CEO yang lama dan beberapa orang lain di belakangnya. Cayden mulai berjalan mendekati setiap meja yang ditunjuk oleh orang-orang yang mengikutinya. Keringat yang tadinya hanya terasa keluar, sekarang benar-benar keluar. Cayden mendekati mereka. Laki-laki yang ia lihat setiap bagian dan lekuk tubuhnya seminggu yang lalu, sekarang berada tepat di hadapannya. “Kita sampai di bagian keuangan. Saya perkenalkan Mr. Seth Heron, beliau manajer keuangan kita. Hari ini datang bersama istrinya, betul Heron?” “Betul . Saya siap mengeluarkan potensi saya yang terbaik. Mr. Amberforth, mohon bimbingannya.” Seth menjabat tangan Cayden. Cayden tersenyum sedikit. “Bagus, buktikan,” kata Cayden dengan suara yang tegas dan dalam. Cayden mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Beth. Beth menunduk dan meraih tangan itu dengan tangannya yang basah karena keringat. Pernahkah mendengar detak jantung kalian dengan jelas? Itu yang dialami Beth sekarang. Rasanya ia tidak bisa m
“Setiap hari?” Beth memekik dalam bisikannya. “Sstt… Ya, setiap hari dan kapan pun aku mau," ujar Cayden sambil mengerlingkan matanya. Tanpa persetujuan, Cayden merenggut lagi bibir Beth yang terbuka. Memberikannya getaran layaknya sengatan listrik di daerah kewanitaannya. Cayden menyusupkan tangannya ke dalam rok Beth. Hanya ingin memeriksa sesuatu. “Kamu sudah siap Beth. Kamu juga menginginkannya ‘kan?” Cayden mengangkat rok Beth yang panjang dan menyibakkan kain yang membungkus kelopak bunganya. Beth merasakan tonjolan di balik celana Cayden, yang artinya laki-laki itu siap menghabiskan malam panas bersama. “Kita lakukan cepat di sini ya, aku sudah tak tahan,” bisik Cayden di telinga Beth. “Hah? Di sini? Kamu gila ya, kalau ada yang lihat bagaimana?” kata Beth tak percaya. “Jangan khawatir, nikmati saja Beth. Percayalah, pasti akan sangat menyenangkan,” ucap Cayden. Area mereka berada adalah titik gelap tanpa penerangan lampu. Mustahil orang bisa melihat ke sana k
Keesokan paginya di cabang Amberforth Minerals di luar kota. “Pagi Mr. Heron, tadi malam saya ditelepon James, Sekretaris CEO yang baru, katanya Anda datang untuk melakukan pemerikasaan? Tapi apa salah kami ya, sir? Kami selalu tepat laporannya," kata seorang pria paruh baya yang sepertinya adalah senior di cabang Amberforth Minerals di kota itu. Di dalam hati Seth juga bertanya-tanya hal yang sama, seingat dia, cabang di kota ini adalah salah satu cabang yang paling rapi laporannya. Kenapa juga ia di suruh ke sini malam-malam begini? “Itu harus saya pastikan dulu. Karena saya juga tahu kalau cabang inilah yang paling rapi. Tapi, ini perintah langusng dari CEO baru. Maklumlah, mungkin beda kepemimpinan.” “Iya saya pikir juga begitu. Mari, saya antarkan ke kantor.” Seth hanya geleng-geleng kepala, karena dari awal ia memegang data cabang ini, tidak pernah ada yang aneh. Seth dibuat kesal terlebih sekarang ia sangat merindukan Conny. Sepertinya ia sudah mulai tidak suka pada CEO
Keesokan harinya, Beth mendatangi kediaman ibu kandungnya. Dari sambungan telepon tadi, tampaknya ada hal gawat yang sedang terjadi. “Kenapa Bu?” tanya Beth panik segera setelah melihat sang ibu. Bergegas ia menghampiri perempuan yang telah melahirkannya. Darah mengucur dari hidungnya. Dugaan sementara Beth, ayahnya pasti telah berbuat kasar. “Bapakmu membawa kabur uang angsuran yang kamu kasih Beth,” jawab ibu Beth sambil menunduk. Air mata mulai jatuh dari matanya yang sudah cekung. “Kenapa Ibu berikan uangnya langsung ke Bapak?” tanya Beth putus asa. Ia meremas kemeja yang ia kenakan tanda frustasi. Sebenarnya Beth bisa saja mentransfer uang angsuran bulanan langsung ke rekening si renternir, tetapi ibunya memaksa untuk membayarkannya sendiri. Beth tak bisa menolak. Dan yang membuatnya kian frustasi saat ini adalah ia sudah tidak memiliki uang lagi untuk dibayarkan bulan ini. “Bagaimana jika rumah ini disita Beth,” tanya sang ibu sambil menangis meraung-raung. Kepala Beth p
“Miss Catherine, izinkan saya keluar sebentar. Saya harus menelepon, ada hal penting,” ucap Beth meminta izin kepada atasannya.“Baik, Beth. Silakan,” jawab Miss Catherine.Beth segera bergegas menuju balkon kantor yang terletak di dekat ruang staf marketing. Tempat itu sering menjadi pelariannya saat merasa penat. Kali ini, ia merasa tak mampu menahan air matanya lebih lama.Sesampainya di balkon, Beth menutup pintu dan langsung menangis sejadi-jadinya. Ia menyesali keputusannya memberikan uang angsuran itu kepada ibunya, padahal ia tahu bahwa ayahnya pasti akan mengambilnya.Setelah beberapa lama, ia merogoh ponselnya dari saku celana dan mulai menggulir layar untuk menelepon Seth. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah meminta bantuan suaminya, meskipun ia tahu risikonya: dimarahi, bahkan mungkin dicaci maki.Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggil, nama Cayden tiba-tiba muncul di layar.'Ada apa ini? Jangan-jangan dia ingin lagi?' batinnya.“Halo ...”“Hei ... Apa kamu b
“Tapi,” kata Cayden kemudian.“Apa?”“Kamu bayar saja dengan aktivitas pagi bersamaku,” jawab Cayden“Aktivitas pagi?” Cayden ada-ada saja, aktivitas malam saja ia harus kucing-kucingan dengan para tetangga. Apalagi aktivitas pagi.“Aku sangat bersemangat jika pagi dan kamu tahu itu. Jadi, sebelum memulai hari yang melelahkan, aku ingin kamu ada di sini membantuku untuk rileks. Paham?”“Jam berapa aku harus di sini Cayden?” jawab Beth kemudian.“Jam enam.”Beth lalu berpikir alasan apa yang harus ia gunakan untuk pamitan kepada Seth? Dan jika harus sampai di penthouse jam enam, berarti ia harus berangkat dari rumahnya saat hari masih sangat gelap. “Baiklah, selama sebulan ke depan. Tiga puluh hari, aku ke sini setiap jam enam pagi untuk Aktivitas pagi sama kamu.” Selesai mengatakan itu, Beth menghela nafas panjang untuk mengeluarkan beban di dalam dadanya.Cayden dan Beth duduk berjauhan. Dari tempatnya berada, Cayden bisa melihat sosok Beth dengan utuh. Perempuan itu cantik dengan r
“Kenapa bertanya?” balas Beth sambil menatap bibir Cayden. Ia berusaha menyembunyikan keinginannya yang mulai menetes di tenggorokan.“Karena kali ini, kita tidak bercinta untuk segera hamil. Apa kamu masih menginginkannya? Tidak masalah jika setelah ini kamu hamil, aku akan bertanggung jawab,” ucap Cayden, akhirnya.Beth terlihat kikuk. Ia berharap Cayden hanya menciumnya seperti biasa, cukup untuk membangkitkan hasratnya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.“Apa rasanya akan sama?” tanya Beth, suaranya nyaris berbisik.“Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya,” jawab Cayden.Ia mengikis jarak dan mengecup batas rambut Beth. Lama dan lembut. Kedua tangannya menangkup pipi Beth, membelainya dengan ibu jari. Lalu mencium mata kanan, kiri, dan kedua pipinya secara bergantian.“Kamu berharga, Beth. Kamu sangat layak mendapatkan semua kasih sayang di dunia ini,” ucap Cayden.Setelah itu, bibir mereka bertaut. Cayden menyapukan lidahnya lembut di sela bibir Beth. Kali ini berbeda. Le
Cayden melepaskan pelukannya, meraih pundak Beth, lalu dengan lembut menghadapkannya. Ia sedikit menunduk agar pandangan mereka sejajar.“Entah sejak kapan, tetapi mulai sekarang aku ingin kamu hanya memandangku. Aku akan melindungimu, Beth. Aku ingin mengambil semua beban dari pundakmu,” ucap Cayden sembari membelai lengan Beth dengan penuh kasih.“Kenapa? Mengapa kamu ingin melakukan semua itu untukku?” tanya Beth. Ia menatap mata Cayden, berharap menemukan jawaban yang selama ini samar, kini mulai terlihat jelas.“Karena kamu berharga dan layak mendapatkan semua itu dariku. Dan... sepertinya aku telah jatuh cinta kepadamu,” jawab Cayden. Tatapan laki-laki itu semakin dalam. Tatapan yang selama ini diperhatikan Beth dengan diam-diam. Apakah selama ini juga hati Cayden telah berlabuh padanya?“Maafkan aku... maaf,” bisik Beth lirih. Ia memejamkan mata, lalu kembali memeluk Cayden dan menghirup aroma tubuh laki-laki itu dalam-dalam. Ia ingin memenuhi paru-parunya dengan kewarasan. Cha
“Ada...” kata Beth perlahan. Inilah saat yang ditunggu Cayden. Untuk menenangkan diri, ia mencoba mengingat kembali kompetisi apa saja yang pernah ia menangi dari Charles semasa di Amerika. Tapi—tunggu—tidak ada. Gawat. Ia selalu berada satu peringkat di belakang Charles.Tenang, Beth. Cepat atau lambat, kamu harus melanjutkan hidupmu. Cayden mungkin adalah masa depanmu, bisiknya pada diri sendiri. Kemungkinan untuk bertemu Charles lagi pun sangat kecil, bukan? Selama lima tahun ini mereka tidak pernah sekalipun bertemu.“Mmm... kamu kenal—” kata Beth, tapi kalimatnya terpotong oleh kehadiran ibunya. Wajah ibunya tampak ceria melihat Cayden menyuapi putrinya. Sementara itu, Cayden hanya bisa mengumpat dalam hati. Kapan lagi Beth akan membuka dirinya seperti tadi?Bukan karena Cayden terlalu peduli pada kejujuran Beth tentang Charles. Ia paham sepenuhnya bahwa Beth berhak memilih untuk bercerita atau tidak. Ia hanya berharap Beth sudah benar-benar selesai dengan perasaannya dan berhent
“Apa sekarang Beth sedang dekat dengan orang kaya raya?” tanya Ralph Louis, 57 tahun, mantan suami Rachel dan ayah dari Beth. Pria itu, meskipun telah berumur dan mengonsumsi alkohol secara berlebihan sejak usia tujuh belas tahun, masih menyisakan sisa-sisa ketampanannya. Wajahnya tampak seperti sedang berpikir dalam, seolah mendapat ilham atau inspirasi.“Y-ya... Beth memang selalu menjadi penyelamat keluarga, Mas,” ujar Rachel lirih, ibunda Beth. Sejak menikah hingga kini—meski mereka telah bercerai—Ralph tetap mencengkeram kehidupan Rachel dengan erat. Kehadirannya memberi dampak buruk, tidak hanya pada Rachel, tapi juga pada Beth, anak mereka satu-satunya. Rachel selalu menuruti setiap kehendak Ralph. Jika tidak, maka pukulan dan hinaanlah yang akan ia terima.Setiap bulan, uang yang diberikan Beth kepadanya akan disetorkan kepada Ralph. Para tetangga sudah sering membicarakan mereka di belakang. Bahkan para warga setempat pernah menggerebek rumah mereka dengan tuduhan tinggal se
Karena menjadi tulang punggung keluarga lah Beth terpaksa menerima Seth, yang pada akhirnya justru memperlakukannya dengan tidak pantas. Cayden tahu, ia telah mendahului Beth dalam mengambil keputusan. Bagaimana jika Beth tidak setuju? Saat mereka berada di mansion keluarga Amberforth, Beth tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak.“Ah… saya jadi tidak tahu harus berkata apa. Saya sangat berterima kasih,” ucap sang ibu dengan suara lirih. Ia bersyukur Beth akhirnya menemukan sosok pengganti Charles—dan bukan seperti Seth.“Saya sedih karena anak saya harus menanggung penderitaan akibat perbuatan ayahnya. Seandainya tidak ada kejadian itu, dan saya cukup kuat untuk mencegahnya, mungkin hidup Beth akan berbeda. Ia bisa lebih bahagia dan tidak perlu menikah dengan pria seperti Seth.”Apakah ini saatnya masa lalu Beth diungkap? Perempuan yang berada di hadapan Cayden ini pernah hampir menjadi besan keluarga Donnovan. Haruskah Cayden bersiap secara batin menghadapi kenyataan itu?“Ayah Be
Beth merasakan tubuhnya mulai menghangat, meskipun ia tidak jadi menggunakan kain bekas spanduk untuk menutupi dirinya. Ia juga merasa tubuhnya diangkat. Samar-samar ia mencium aroma parfum yang biasa dipakai Cayden. Wah, apakah seperti ini rasanya dijemput ajal? pikirnya. Rupanya malaikat maut pun memakai parfum.Beth segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Cayden menemukannya dalam kondisi hampir telanjang, dengan tubuh penuh luka dan lebam.“Seth Heron harus membayar semua ini,” ujar Cayden dengan penuh amarah. “Lapor, Tuan. Kami telah menemukan lokasi mobil milik Seth Heron,” lapor salah satu anak buah George Amberforth. “Bagus. Bawa dia ke hadapanku sekarang juga,” perintah Cayden. Ia tidak berniat menyerahkannya kepada pihak kepolisian sebelum pria itu hancur di tangannya sendiri. “Orangnya sudah melarikan diri, Pak. Kami sedang melacaknya.” “KURANG AJAR!” seru Cayden dengan penuh kemarahan.***Malam setelah Beth dipukul hingga pingsan.Seth mendekati tubuh Beth yang ter
Keesokan harinya, di penthouse milik Cayden.Sudah pukul tujuh pagi, namun Beth belum juga datang. Apakah ia sakit? Ini tidak seperti biasanya. Cayden meraih ponselnya untuk menghubungi perempuan itu. Terdengar nada sambung sebanyak tiga kali, namun Beth belum mengangkat. Pada nada keempat, akhirnya telepon diangkat.“Halo, Beth... mengapa tidak datang ke sini?”“Halo... Eh, ini saya menemukan tas di depan kost. Sepertinya pemiliknya menjatuhkannya,” terdengar suara seorang laki-laki yang tidak dikenali Cayden. Ada apa ini? Bagaimana ia bisa memegang ponsel Beth?“Saya akan segera ke sana,” ucap Cayden cepat. Ia langsung mengambil jaketnya, menyambar kunci mobil, lalu masuk ke lift pribadi. Perasaannya tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Beth?“Oke...” jawab suara di seberang singkat.Tak sampai satu jam, Cayden sudah tiba di depan kost Beth dan segera menelepon ponsel Beth kembali. Seseorang muncul dari balik gerbang; ia terlihat membawa tas milik Beth. Cayden segera turun
Sekuat tenaga Beth berusaha memberontak, namun sekuat itu pula Seth mencengkeramnya, membuatnya tidak bisa bergerak. Tubuh mungil Beth tidak mampu melawan Seth yang saat itu tampak seperti kesetanan. Ia membekap mulut Beth dengan tangannya dan menyeret tubuh perempuan itu ke arah mobilnya yang terparkir di samping tempat indekos Beth. Daerah itu gelap dan sepi pada malam hari, wajar jika Beth tidak melihat mobil Seth sebelumnya.“Diam. Jangan coba-coba berteriak. Aku hanya ingin bicara sebentar. Tolong, jangan marah,” kata Seth dengan wajah memelas. Namun meskipun ia memohon, Beth tetap merasa ada yang tidak beres. Setelah kejadian siang tadi saat Seth mencegatnya di dekat kantor, Nina sudah mengingatkan Beth agar waspada karena besar kemungkinan Seth akan mengulanginya.“Kamu sudah gila, Seth!” teriak Beth.Seketika itu juga Seth meninju wajah Beth tepat di atas hidungnya. Gawat! Beth terkulai lemas. Seth menahan tubuhnya, membuka pintu belakang mobil, lalu dengan susah payah memas
Beth menghela napas, sepertinya ia tidak akan menceritakan kepada Cayden. Dulu, bersama Seth pun, Beth tidak pernah menceritakannya. Seth harus mencari tahu sendiri. Walau hanya sebagian, ia tahu siapa sosok mantan dari perempuan itu.Namun setelahnya, di benak Beth, dilema mulai menyeruak. Cepat atau lambat, Cayden pasti akan mengetahui masa lalunya. Lelaki seperti Cayden pasti akan mencari tahu dengan segala cara, termasuk dengan memanfaatkan kekuasaan dan uangnya. Bukankah begitu?Namun, Beth merasa hari ini belum waktunya. Ia akan memberitahu Cayden nanti, saat ia sudah siap membongkar kembali kenangan-kenangan yang selama ini ia simpan rapi—tak tersentuh selama lima tahun. Bentuk dan letaknya masih sama.Saat itu juga, Beth melingkarkan tangannya ke pinggang Cayden. Ia mencoba mengembalikan getaran yang kini ia rasakan untuk Cayden. Memang, sepengecut itulah Beth. Ia selalu mencari pelarian demi selamat dari bayang-bayang Charles. Dalam hati, ia meminta maaf kepada Cayden. Lagi-l