"Asma, besok pertunangan Rani dan Bagas akan dilaksanakan. Umi harap kamu datang ke rumah, ya!" tutur wanita yang mengenakan hijab syar'i itu pada Asma.
Wanita yang sedang memangku bayi berusia dua tahun itu hanya terdiam. Sorot matanya menatap kosong dengan wajah murung pada Umi."Lupakanlah apa yang Abah ucapkan padamu. Kamu kan tahu sendiri Abah itu seperti apa," imbuh Umi dengan wajah memelas pada Asma."Iya Umi, nanti Wisnu dan Asma pasti akan datang ke acara pertunangan Rani!" seloroh Wisnu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Umi terkesiap membenarkan posisi duduknya. Sementara Asma menoleh ke arah lelaki yang berjalan ke arahnya dengan tatapan datar."Umi tenang saja, aku dan Asma pasti datang ke rumah!" tegas Wisnu disambut anggukan dan senyuman haru oleh Umi.Asma dan Wisnu melihat pada kepergian Umi. Wanita bertubuh tambun itu perlahan menuruni jalan setapak yang berada di bawah kaki bukit untuk menuju ke rumah Asma. Kebetulan rumah Asma terletak di atas perbukitan di pertengahan kebun teh."Kenapa Abang mau datang ke acara itu, Abang kan tahu sendiri bagaimana keluarga Neng sama Abang selama ini," cerocos Asma menoleh kepada Wisnu yang berdiri di sampingnya.Lelaki itu melingkarkan satu tangannya pada pinggang Asma. Melemparkan senyuman kecil pada wanita bertubuh mungil itu."Neng, seburuk-buruknya orang tua, mereka tetaplah orang tua Neng Asma. Tidak ada satupun alasan bagi seorang anak untuk tidak berbuat baik kepada orang tuanya," ucap Wisnu."Ah Bang, entahlah aku tidak tau hatimu terbuat dari apa!" seloroh Asma memutar tubuhnya meninggalkan Wisnu di depan teras rumah."Neng, tungguin Abang, Neng!" seru Wisnu mengejar Asma masuk ke dalam rumah.*****Lelaki bertubuh tinggi besar itu sudah siap mengenakan kemeja batik yang tadi pagi Asma belikan untuknya. Motif batik senada dengan yang Akbar kenakan. Hingga kini mereka terlihat sangat serasi."Neng sudah siap belum?" teriak Wisnu dari ruang tamu pada Asma yang masih berada di dalam kamar.Tidak ada sahutan sedikitpun dari Asma. "Mana Ibumu, Nak?" tanya Wisnu pada Akbar yang sedang sibuk dengan mainannya.Akbar sekilas menoleh kepada Wisnu dengan mengeluarkan celoteh khas suara anak balita. Kemudian ia kembali berkutat dengan mainan yang berada di tangannya.Wisnu yang sudah terlalu lama menunggu perlahan bangkit dari bangku. "Akbar tunggu di sini ya! Ayah mau melihat ibumu sebentar," ucap Wisnu seraya mengusap lembut kening Akbar seraya menyungingkan ulasan senyuman.Seorang wanita terduduk pada tepi ranjang. Siap dengan gamis bermotif bunga-bunga dengan kerudung senada. Namun entah apa yang terjadi, membuat Asma tak kunjung bangkit."Neng, sudah jadi belum?" tanya Wisnu yang muncul dari balik pintu kamar yang terbuka menatap pada Asma yang tidak bergeming.Asma tidak menjawab. Sekilas ia menatap kepada Wisnu. Kemudian ia mengalihkan tatapannya pada jendela kamar dengan wajah murung.Wisnu mendengus kasar berjalan menghampiri Asma. Menyentuh lembut bahu Asma. "Ayo Neng, buruan berangkat. Sebentar lagi acaranya akan di mulai," seloroh Wisnu.Asma menyentuh lembut tangan Wisnu yang berada di atas bahunya. Wajahnya mendongak menatap murung kepada Wisnu. "Neng takut Abang!" lirih Asma dengan wajah getir."Takut kenapa?" Wisnu menautkan kedua alisnya yang lebat."Takut jika Abang nanti jadi bahan hinaan di sana. Pasti semua saudara Neng dari jauh juga berkumpul di acara itu. Neng takut, Abang kan tahu sendiri bagaimana keluarga Neng."Wisnu membantu Asma berdiri. "Neng tidak perlu takut. Percayalah pada Abang, semua pasti akan baik-baik saja," ucap Wisnu penuh keyakinan. Sorot matanya menatap lekat pada Asma.****Rumah Abah sudah disulap seperti sebuah gedung besar untuk acara lamaran adik bungsu Asma, Rani. Terlihat sangat mewah untuk orang-orang yang tinggal di sekitar kampung. Beberapa tamu undangan sudah datang memenuhi acara pertunangan yang akan dilaksanakan antara Rani dan Bagas, mandor dari perkebunan teh tempat lelaki itu bekerja. Tidak heran rata-rata tamu yang datang adalah para pegawai perkebunan teh tempat Bagas bekerja."Mbak, Mbak, anda harus mengisi data tamu hadir dulu ya!" Seseorang menghentikan langkah Asma dan Wisnu."Neng, ngisi data tamu dulu katanya!" Wisnu menepuk lembut bahu Asma yang berjalan di depannya."Tapi kita ini kan keluarganya, Bang! Ngapain juga kita harus ngisi data itu segala," seloroh Asma berdecak kesal."Mbak!" Panggil wanita yang mengenakan kebaya itu dengan nada ketus."Baik Mbak!" sahut Wisnu memundurkan beberapa langkah kakinya menuju meja pendaftaran. Asma terus menggerutu tidak ikhlas, "Harusnya Abang jangan menuruti perintah wanita itu!" cetus Asma kesal pada Wisnu yang berjalan mensejajarinya setelah mengisi data tamu hadir."Nggak apa-apa Neng. Cuma ngisi saja kok!" balas Wisnu tersenyum lebar pada Asma.Semua tamu undangan yang hadir hening seketika. Sorot mata mereka tertuju pada panggung yang dibuat begitu megah di dalam rumah Abah.Asma terpaku melihat acara tukar cincin yang terjadi antara adiknya dan calon suaminya. Sorot matanya tak berkedip sedikitpun menatap kepada dua pasangan yang sedang berbahagia itu."Kenapa Neng?" celetuk Wisnu menyadarkan Asma dari wajah takjub."Rani beruntung ya Bang, bisa memiliki suami yang mempunyai pekerjaan yang mapan. Pasti masa depan Rani akan bahagia," lirih Asma. "Pantas saja dia sombong sekali!" imbuh Rani."Memangnya selama ini Neng tidak bahagia hidup dengan Abang?" sahut Wisnu menatap manik coklat gadis manis dengan kerudung berwarna nude yang seketika menoleh pada Wisnu."Seneng Abang, seneng banget. Suami kaya belum tentu dibawa mati kalau suami sholeh sudah pasti dibawa ke surga nanti," jawab Asma.Senyuman lebar terbit dari kedua sudut bibir Wisnu saat mereka saling bersitatap begitu juga dengan Asma."Asma, ini benar Asma kan?" celetuk seorang wanita bertubuh tambun mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma."Iya, ini Bik Darsih kan?" celetuk Asma berbinar melihat wanita yang berdiri di depannya masih mengenalinya."Ya Allah Asma, sudah lama sekali kita tidak bertemu! Rasanya Bibik kangen sekali dengan kamu." Wanita itu menjatuhkan pelukan kepada Asma untuk beberapa saat."Bagaimana kabar Bibik?" tanya Asma."Alhamdulillah Bibik sehat, Asma sendiri?" "Asma sehat Bik!" Asma mengukir senyuman hangat pada sudut bibirnya."Sebentar, jangan bilang ini adalah Anak Asma?" Wanita bertubuh tambun itu menunjuk kepada Akbar yang berada di dalam gendongan Wisnu."Iya Bik, ini anak Asma!" seru Asma menyungingkan senyuman."Masya Allah Asma, kapan kamu menikah Nak? Kenapa tidak undang-undang Bibik," ucap Wanita itu mengusap lembut pada wajah Akbar, gemas."Iya Bik, Maaf Asma tidak sempat untuk ...!""Pernikahan Mbak Asma memang di gelar sangat sederhana sekali, Bik. Berbeda dong dengan aku!" celetuk suara seseorang yang berada di balik punggung Asma membuat gurat wajah Asma seketika berubah."Berbeda bagaimana?" Wanita bertubuh tambun itu menautkan kedua alisnya melihat kepada Rani yang berjalan mendekat."Beda dong Bik. Bibik bisa lihat sendiri, bagaimana suami Mbak Asma dan lihat suamiku seperti apa?" Rani mengacungkan jari telunjuknya ke arah Wisnu yang berdiri di samping Asma kemudian kepada Bagas yang masih berada di atas panggung. Sebuah senyuman sinis tersungging dari bibir Ratih.Bik Darsih tidak bergeming. Wanita itu memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala Wisnu dengan tatapan aneh. "Duh, Bik! Lihat saja cara berpakaian mereka, baju saja harus samaan, ketahuan belinya di pasar baru!" hina Rani semakin menyulut amarah Asma."Ada apa ini?" Suara menggelegar yang terdengar menghentikan Asma yang hendak menjawab hinaan Rani. Lelaki bertubuh kurus tinggi dengan perawakan garang itu berjalan mendekat."Ada apa Rani?" tanya Abah menjatuhkan tatapan tajam pada Asma dan Wisnu secara bergantian."Abah!" Wisnu mengulurkan tangannya kepada lelaki bertubuh tinggi kurus itu. Namun yang ada justru Abah mengabaikannya.Kedua mata Asma sudah dipenuhi dengan butiran bening yang berjejalan. Sebisa mungkin wanita dengan gamis nude itu terus menahannya agar tidak terjatuh di depan semua orang.*****Bersambung ....Lelaki yang mengenakan baju berwarna putih itu menepis kasar tangan Wisnu. Perlahan Wisnu pun menarik kembali uluran tangannya."Abah!" sentak Asma menaikkan nada suaranya seraya menatap nanar kepada Abah."Siapa yang mengundang kalian datang ke sini?" cetus Abah dengan wajah kesal."Bukankah Abah sudah bilang sama kamu, Asma. Selama kamu masih menjadi istri dari lelaki miskin ini jangan pernah injakan kakimu di rumah Abah!" ucap Abah penuh penekanan.Tubuh Asma seketika bergetar hebat. Seluruh pasang mata yang berada di pesta itu menatap pada Wisnu dan juga Asma dengan tatapan aneh. Suara menggelegar apa cukup menarik perhatian para tamu undangan."Abah!" Asma menaikkan nada suaranya menatap nyalang pada lelaki bertubuh kurus tinggi yang berdiri di hadapannya."Umi yang mengundang mereka datang ke sini, Abah!" cetus Umi dengan suara bergetar. Butiran bening sudah memenuhi pelupuk mata tua itu."Untuk apa Umi mengundang mereka, bikin malu saja!" cetus Rani dengan nada sinis, membuang
Asma berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Wanita bertubuh tambun yang sedari tadi menjaga Akbar segera bangkit menyambut kedatangan Asma."Bagaimana Asma, apakah kamu sudah menemukan Wisnu!" beo Umi terlihat panik sama seperti halnya Asma.Wanita yang mengenakan kerudung coklat itu menggeleng lembut dengan wajah sembab. "Aku tidak menemukan Bang Wisnu, Umi!" lirih Asma.Umi terduduk lesu di samping Asma. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahu Asma yang terlihat sangat sedih sekali."Apakah Wisnu tidak ada di tempat kerjanya?" tanya Umi yang dibalas gelengan oleh Asma. Kesedihan nampak jelas pada wajah gadis itu."Tidak ada, Umi!" lirih Asma.Umi menghela nafas panjang. Jemarinya masih setia mengusap lembut bahu Asma. "Sepertinya Wisnu benar-benar marah dengan sikap Abah semalam, Asma!" tutur Umi dengan nada lesu. Sorot matanya menatap lurus dengan wajah berfikir."Asma tidak tau Umi. Baru kali ini Bang Wisnu pergi tanpa pamit kepadaku seperti ini. Biasanya dia tidak pernah sepert
Abah menerobos masuk ke dalam rumah Asma. Saat wanita itu menolak memberikan buku nikah miliknya kepada Abah."Jangan Abah! Jangan!" seru Asma terisak menarik pergelangan tangan Abah.Abah membuka lemari Asma dan mencari buku pernikahan itu sendiri. Lelaki itu melempar baju-baju Asma yang berdiri di dalam lemari ke sembarang tempat."Di mana kamu menyembunyikan buku itu, Asma!" erang Abah menggeledah seluruh rumah Asma, lelaki itu semakin kesal karena tidak dapat menentukan apapun."Jangan Abah, aku tidak ingin berpisah dengan Bang Wisnu, Bah!" Tangis Asma pecah.Bruak!"Kamu harus berpisah dengan Wisnu. Lelaki tidak bertanggungjawab itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia, Asma!" Dengan wajah merah menyala Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma yang tersungkur di sudut ruangan."Jangan Abah! Asma mohon!" Asma menelangkupkan kedua tangannya memohon kepada Abah. Namun lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan Asma. Ia terus mencari keberadaan buku nikah yang akan ia guna
Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali. "Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang me
Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli