Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.
Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali."Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang membasahi pipinya agar tidak berjejak. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang melihat kesedihannya."Umi!" ucap Asma saat melihat wanita bertubuh tambun yang berdiri di balik pintu rumah yang terbuka.Umi tak bergeming, sorot matanya menatap lekat kepada Asma. "Kamu menangis?" seloroh Umi.Dengan cepat Asma mengusap lembut pada pipinya. "Tidak Umi, Asma tidak menangis!" seru Asma berusaha untuk bersikap baik baik saja. Ia juga menyunggingkan senyuman kecil agar Umi tidak curiga.Umi tidak langsung percaya. Wanita itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Akbar sini ikut sama, Nenek!" Umi mengulurkan tangannya kepada Akbar yang berada di dalam gendongan Asma."Duh, cucu Nenek sudah makan belum!" seloroh Umi pada Akbar."Sudah Umi kami sudah makan kok!" sahut Asma yang duduk pada bangku di depan Umi."Asma, kamu harus menjawab dengan jujur pertanyaan Umi, Nak!" Umi menatap Asma dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya gemetaran, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan."Apa, Mi!" balas Asma, wanita berkerudung merah muda itu sepertinya menyadari hal itu."Apakah benar apa yang Umi dengar, kalau kamu ada main dengan lelaki pagawai safari di perkebunan itu?" Netra yang dipenuhi embun itu membola menatap tajam pada Asma."Astagfirullahaldzim, Umi, siapa yang bilang seperti itu sama Umi?" Asma tercekat.Wanita yang mengenakan kerudung berwarna Salem itu menatap Asma dengan berkaca-kaca. "Umi tahu Asma, hidup kamu sulit. Apalagi Wisnu tidak kunjung pulang ke rumah. Tapi bukan seperti itu caranya, Nak!" tutur Umi dengan suara serak seperti menahan tangis. "Jangan kotrori pernikahan kamu dengan hal-hal seperti itu." Butiran bening itu berjatuhan membasahi pipi Umi.Asma menaikkan kedua alisnya. "Maksud Umi apa?" cetus Asma yang belum juga mengerti arah pembicaraan Umi."Umi tahu, pegawai safari itu sering memberikan kamu uang kan? Tidak ada yang gratis di dunia ini Asma, pasti lelaki itu akan meminta ganti kepadamu dengan hal ... ," cetus Umi menjeda ucapannya. Pikiran buruk tentang Asma sudah memenuhi benak wanita tua itu."Astaghfirullahaladzim, Umi!" Asma mengelus dada seraya membulatkan kedua matanya kepada Umi."Bagaimana bisa Umi lebih percaya orang lain daripada anak Umi sendiri?" balas Asma penuh dengan kekecewaan."Asma tidak serendah itu Umi! Demi Allah Asma tidak melakukan apapun dan tidak ada hubungan apapun dengan Tuan Hamzah," jelas Asma tergugu melihat Umi menuduhnya seperti itu."Asma, Umi tidak tahu harus berbuat apa lagi. Umi malu Asma, sama semua orang yang berada di kampung ini. Mereka mengecap kamu sebagai perempuan nakal," cetus Umi penuh penekanan. Wajahnya merah karena marah."Tapi Asma tidak pernah melakukan hal itu, Umi!" Asma terisak. Wanita itu menenggelamkan wajahnya menutupi dengan kedua telapak tangannya.Beberapa saat suasana menjadi hening. Umi maupun Asma tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing dan tangisan yang mulai mereda."Maafkan Asma Umi! Jika Asma membuat Umi susah," lirih Asma bersimpuh di bawah kaki Umi seraya memegang kedua tangan wanita paruh baya itu.Umi mengusap ujung kerudung yang Asma kenakan. "Asma, Sepertinya kamu memang harus mengakhiri pernikahanmu dengan Wisnu, Nak!" tutur Umi.Asma terkesiap, ia mendongakkan wajahnya menatap kepada Umi. "Umi!" lirih Asma dengan suara terbata."Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan kamu dan Akbar, Asma. Dari omongan orang dan menjaga kehormatanmu serta keluarga kita."Asma terisak. Sedikitpun Asma tidak dapat berucap apapun lagi. Wanita itu hanya mampu menangis dan menangis."Tapi, Asma yakin Umi jika Abang pasti akan pulang, Umi!" lirih Asma penuh keyakinan._____Umi meletakan buku bersampul merah dan hijau itu di atas meja. Rasa sedih tergambar jelas pada wajah Umi.Abah meraih buku itu dan membukanya sesaat. Senyuman tersungging dari kedua sudut bibir lelaki tua itu."Coba saja dulu Asma menurut sama Abah. Pasti saat ini dia akan bahagia hidup bersama anak juragan Jali. Jadi bos sayur dan hidup tidak kekurangan satu apa-apa pun." Abah menutup buku bersampul hijau dan meletakkannya di atas meja. Memasang wajah penuh kekecewaan.Umi tidak bergeming. Tertunduk lesu dengan mata sembab."Sudah kamu tidak perlu memikirkan semua ini. Percayalah, setelah Asma berpisah dengan lelaki tidak jelas itu pasti lama kelamaan dia juga akan terbiasa." Abah bangkit seraya mengambil dua buku bersampul hijau dan putih itu di atas meja lalu berlalu meninggalkan Umi.______"Besok Abah, akan mengantar kamu ke pengadilan negeri untuk menggugat cerai Wisnu."Ucapan Umi kembali mendengung dalam indra pendengaran Asma. Butiran bening jatuh membahasi foto yang pernikahan yang berada di atas pangkuan Asma."Bang, Abang kemana? Tolong Asma Bang, selamatan pernikahan kita. Sungguh aku tidak bisa kehilangan Abang!" lirih Asma terisak melihat foto lelaki berparas tampan yang bersanding dengannya pada gambar foto.Pagi-pagi buta Abah sudah tiba di depan rumah Asma. Pagi ini lelaki itu terlihat sangat bersemangat sekali. Ditemani oleh seseorang perangkat desa yang akan membantu Asma untuk mempercepat proses perceraiannya dengan Wisnu."Asma, cepat!" teriak Abah dari teras rumah.Wajah sembab Asma muncul dari balik pintu rumah. Tanpa Akbar, karena dari kemarin Umi sudah membawa cucunya itu pulang ke rumahnya."Cepat Asma! Jangan lelet nanti keburu siang," cetus Abah kesal."Iya Abah!" balas Asma dengan nada lembut."Pokoknya kalau bisa, cukup sidang sekali saja Asma sudah resmi menjadi janda," ucap Abah pada lelaki yang membersamainya."Baik Abah! Abah tenang saja. Serahkan saja semua urusannya dengan saya. Pasti beres!" cetus lelaki itu menyunggingkan senyuman lebar pada Abah."Asma pokoknya kamu harus memberikan kesaksian yang jelek tentang suamimu yang tidak jelas itu." Abah mendelikkan matanya kepada Asma dengan mengancam.Asma tidak menjawab. Beberapa kali ia menyeka air mata yang membasahi pipinya._____Bersambung ...Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli