Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai.
"Saudara Asma ...!"Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan."Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya menggelegar di seluruh penjuru ruangan."Asma!"Suara yang tidak asing yang muncul dari bilik pintu ruangan yang terbuka menghentikan gerakan bibir yang mulia Hakim yang hendak menjawab pertanyaan Abah. Semua sorot mata tertuju pada lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan."Abang!" seru Asma. Seketika wanita itu pun berlari menghampiri lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang persidangan. Asma menjatuhkan pelukan pada tubuh Wisnu untuk sesaat."Maafkan Asma Bang, ini bukan keinginan Asma." Wanita berkerudung hitam itu terisak di dalam pelukan Wisnu, wajahnya terlihat sangat menyesal sekali."Tidak Neng, tidak apa-apa! Justru Abang yang harus meminta maaf sama Neng Asma. Karena sudah pergi meninggalkan Neng Asma tanpa pesan," jawab Wisnu.Lelaki bertubuh kurus itu berdecak kesal, melangkahkan kakinya dengan hentakan keras menuju ke ambang pintu. Saat Wisnu hendak mengulurkan tangan untuk berjabat, Abah justru membuang wajahnya acuh dari tatapan Wisnu dan berjalan pergi.____Rasanya Asma sama sekali tidak ingin melepaskan genggaman tangan suaminya. Ia takut jika lelaki itu kembali hilang dari dalam hidupnya. Hampir satu bulan tanpa Wisnu kehidupan Asma seperti kehilangan arah. Ia terombang-ambing dalam batin yang tersiksa.Sesekali Wisnu menatap ke arah Asma yang berjalan mensejajarinya. Senyuman merekah dari bibir wanita itu menatap lelaki yang selama ini ia rindukan."Maafkan Abang ya, Neng!" tutur Wisnu saat mereka sudah hampir tiba di rumah."Harusnya Neng yang minta maaf sama Abang. Karena Neng sudah menuruti permintaan Abah." Wajah cantik Asma yang masih seperti terlihat gadis berubah sedih.Wisnu memutar tubuh Asma ke arahnya. "Tidak apa-apa, itu adalah hal yang wajar. Semua ini adalah karena kesalahanku, harusnya sebelum aku pergi, aku pamit dulu kepadamu." Wisnu mengusap lembut pucuk kepala Asma yang menatap ke arahnya. "Karena saat itu aku buru-buru pergi ke Sumatra jadi aku tidak sempat pulang dan berpamitan dulu sama kamu," tutur Wisnu dengan wajah penuh penyesalan.Asma membalas tatapan Wisnu berbinar. Sesaat ia menjatuhkan pelukannya pada tubuh Asma. Sebelum mereka melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.____Lelaki tampan dan gagah itu terlihat sedang asyik bermain dengan putra semata wayangnya. Kerinduan terlihat jelas dari cara ia memperlakukan balita yang usianya hampir dua tahun itu. Selain Wisnu adalah lelaki yang penyabar, lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu juga adalah seorang penyayang pada keluarga."Pasti Akbar sangat rindu sekali dengan Abang," seloroh Asma meletakan cangkir teh hangat di atas meja yang berada di depan Wisnu."Benarkah sayang, ayah juga sangat rindu sekali sama kamu!" ucap Wisnu dengan nada menggoda pada Akbar. Ia membantu Akbar memainkan mobil-mobilan baru yang telah ia belikan untuk Akbar sebagai buah tangan."Bang!" panggil Asma yang sejak tadi menjatuhkan tatapan haru kepada Wisnu. Ia pikir rumah tangganya akan berakhir naas. Tapi ternyata Allah datang dengan pertolongannya yang sama sekali tidak dapat diduga.Wisnu menatap pada Asma. "Kenapa, Neng!" jawab Wisnu."Abang kenal dengan Tuan Hamzah?" ucap Asma. Wisnu terdiam sesaat dengan wajah tanpa ekspresi apapun."Kenapa Neng?" tanya Wisnu. Ia mengalihkan tatapannya kepada Akbar yang duduk di atas pangkuannya."Dia datang ke sini, ngasih aku uang yang banyak," tutur Asma. "Kata Tuan Hamzah ini adalah uang bonus Bang Wisnu selama bekerja di perkebunan." Asma memperhatikan dengan intens tatapan Wisnu."Oh, ya Alhamdulillah Neng. Berarti selama ini perusahaan memperhatikan perkerjaan Abang," balas Wisnu setelah cukup lama ia terdiam. Senyuman terukir dari kedua sudut bibir Wisnu di akhir kalimat."Tapi Bang!" Asma menatap ragu, mengigit bibir bawahnya. "Mandor di perkebunan itu mengatakan jika Abang tidak pernah bekerja di perkebunan." Tatapan Asma berubah menyelidik. Genangan air mata sudah memenuhi pelupuk mata gadis itu.Wisnu terdiam untuk sesaat. Memerhatikan wajah Asma yang nampak gusar menunggu penjelasannya."Oh, mungkin mandor itu adalah orang baru Neng. Jadi dia belum kenal dengan Abang," balas Wisnu."Tidak Bang! Bahkan dia melihat pada daftar nama pemetik teh dari beberapa tahun yang lalu. Tapi tidak ada satupun nama Abang." Asma bersikukuh meminta pertanggungjawaban atas apa yang selama ini menganggu pikirannya.Wisnu terdiam. Perlahan menurunkan Akbar dari atas pangkuannya, kemudian beringsut mendekati Asma."Lebih baik Abang jawab saja jangan jujur!" tegar Asma, suaranya terdengar bergetar seperti sedang menahan tangis."Bener Neng, selama ini Abang memang bekerja di perkebunan." Wisnu bersikukuh memasang wajah penuh keyakinan kepada Asma."Tapi Bang, mandor itu mengatakan jika Abang bukan pemetik teh di perusahaan itu. Bahkan, aku sempat bertanya pada pemetik teh yang lainnya. Mereka juga tidak ada yang mengenal Abang." Butiran bening berjatuhan membasahi pipi Asma. Ia merasa di bohongi oleh Wisnu. "Aku hanya tidak ingin keluarga kita makan uang haram, Abang!" isak Asma penuh ketulusan.Wisnu menghela napas panjang. Menarik tubuh Asma ke dalam pelukannya. "Baiklah jika Neng Asma masih tidak percaya dengan Abang. Besok kita datang ke perkebunan. Nanti biar Abang yang tanya sendiri sama mandor yang bekerja di sana," tutur Wisnu dengan nada lembut."Wisnu melepaskan tubuh Asma dari pelukannya. Lalu menyeka air mata yang membanjiri pipi wanita itu. "Sudah jangan menangis! Percayalah sama Abang, Abang sama sekali tidak melakukan pekerjaan haram untuk keluarga kita, Neng!" tutur lelaki itu menatap penuh keyakinan kepada Asma.Wanita berbalut kerudung itupun mengangguk lembut. "Benar ya, Bang!" tutur Asma dengan tatapan penuh harap. Isakannya masih kerap kali terdengar. Menggerakkan bahunya naik turun.Suara dering ponsel yang menggema di dalam ruangan membuat Asma dan Wisnu terkejut. Mereka saling bersitatap untuk sesaat."Bang, ponsel siapa itu?" seloroh Asma penasaran._____Bersambung ....Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As
Wanita berkerudung biru muda itu menarik tubuhnya menjauh dari lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berusaha menyentuh punggung tangannya. Wajahnya terlihat ketakutan saat lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun lebih itu menjatuhkan tatapan menggoda kepadanya."Kenapa, As?" ucapnya dengan nada lembut yang terdengar begitu mendayu. Ekor matanya melirik pada Asma dengan tatapan menggoda.Asma sama sekali tidak menjawab, ia memilih membuang wajahnya ke arah samping kaca mobil. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu.Terdengar lelaki yang duduk di sampingnya membuang nafas berat. "Baiklah kalau kamu belum siap. Tidak masalah," ucapnya mengakhiri kalimatnya dengan nada lesu. "Tapi aku harap, setelah kamu sudah resmi menjadi istriku maka kamu harus menuruti semua kemauanku," cetus Juragan Jali memberikan penekanan diujung kalimatnya.Asma tidak bergeming, tidak terasa sudut matanya telah basah. Bahkan air mata berlinang membasahi pipi wanita itu tanpa sepengetahuan lelaki ya
Lelaki berkemeja hitam itu melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Wajah menawan itu tidak lain adalah Wisnu, lelaki yang Asma pikir sudah melupakannya setelah menghilang begitu."Abang!" Pengantin wanita yang mengenakan pakaian adat sunda itu bangkit dari bangku yang berada di depan penghulu. Meninggalkan mempelai lelaki yang meradang seketika setelah melihat seseorang telah mengacaukan acaranya."Asma, tunggu!" teriak Juragan Jali.Asma sama sekali tidak mempedulikan panggilan lelaki yang usianya hampir sepantaran Abah itu. Wanita cantik berbalut gaun pengantin itu menjatuhkan tubuhnya memeluk lelaki berkemeja hitam yang dikelilingi oleh lelaki bertubuh besar dengan seragam yang sama. Sejenak wanita itu terisak dalam pelukan Wisnu."Kamu adalah Bang Wisnuku, kan?" ucap Asma setelah melepaskan pelukannya dari tubuh Wisnu. "Iya lah Neng, ini Abang!" sahut lelaki berkemeja hitam itu seraya menyunggingkan senyumnya yang khas. Asma semakin terisak. Ketampanan suaminya se
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli