Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Acara rapat yang harus dilakukan oleh para guru membuat para siswa harus dipulangkan lebih awal."Kita jadi pergi ke tempat orang itu sekarang?" tanya Hanum menatap pada Gala yang berjalan di sampingnya."Iya, kita harus mendatangi alamat itu sekarang dan pukul satu nanti aku sudah harus ada di sini. Aku tidak mau ibu tidak menemukan aku disini," balas Gala sesaat mengalihkan tatapannya pada jalan setapak menuju pintu gerbang sekolah."Baiklah! Hanum mengangguk lembut.Langkah Hanum terhenti, netranya menatap pada wanita yang duduk di bawah pohon besar. "Gal, Bibik!" lirih Hanum sekilas menatap pada Gala yang sejak tadi membersamainya."Kenapa dia ada di sini, Hanum?" Gala menaikan kedua alisnya menatap Hanum.Gadis berkerudung putih itu menggelengkan kepalanya dengan wajah bingung. "Aku juga tidak tau, Gal!" lirih Hanum."Apakah kamu bercerita jika kita ingin mendatangi rumah orang itu?" Gala menatap serius pada Hanum. Dengan wajah ragu, H
Gala bisa bernafas lega. Setidaknya ada titik terang dari apa yang telah ia usahakan untuk mencari keberadaan anak Asma."Apakah kamu yakin orang kaya itu yang sudah menemukan anak Bibik?" Hanum menatap pada Gala yang berjalan mengekorinya. Tatapan gadis berseragam sekolah menengah pertama itu terlihat ragu."Tentu saja, kita sudah memberikan alamat rumah kamu. Nanti jika orang kaya itu telah kembali, dia pasti akan segera datang ke rumah kamu," tutur Gala. Gadis yang berjalan di depannya mengangguk lembut dengan perasaan gusar. Antara yakin dan tidak yakin."Gal, Bibik!" Hanum mengacungkan jari telunjuknya pada wanita yang sudah terduduk kembali pada bangku yang berada di bawah pohon besar di depan sekolah. Hanum dan Gala segera menghampiri wanita yang berada di seberang jalan. Diikuti Gala di belakang punggungnya."Bibik!" seru Hanum setengah berteriak. Ia melambaikan tangannya pada wanita yang seketika mengalihkan tatapannya. Wanita yang duduk di bawah pohon itu segera bangkit. Wa
"Bik jaga Gala di rumah! Kalau aku belum kembali, jangan biarkan dia pergi kemanapun." Nada mengingatkan Bik Mina. Wanita itu terlihat sibuk mencari sesuatu di lemari yang berada di ruang tamu rumahnya."Baik, Nyonya!" Bik Mina mengangguk lembut. Nada segera keluar dari rumah setelah menemukan kunci motor yang ia cari. Langkahnya terhenti, saat ia hendak menuruni anak tangga yang berada di depan beranda rumah menuju halaman. Menoleh pada Bik Mina yang masih mematung di tempat yang sama."Aku harus memakai masker tidak boleh ada satupun orang yang mengenaliku," ucap Nada, perasannya semakin bercampur aduk. Apalagi setelah mengetahui jika Asma ternyata ada di sekitarnya."Ada apalagi, Nyonya?" tanya Bik Mina saat Nada masuk kembali ke dalam rumah. Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam kamar tanpa menjawab ucapan Bik Mina. Beberapa saat kemudian keluar dengan masker yang sudah menutupi wajahnya. "Bik, ingat apa pesanku, ya? Jangan lupa jaga, Gala!" Nada mengacungkan jari telunjukny
Perlahan pintu gudang terbuka. Wanita dengan kaki di pasung itu nampak meringkuk di atas dinginnya lantai semen. Kedua kakinya terperangkap pada sebuah kayu. Tidak ada selimut yang membungkus tubuhnya dari dinginnya malam. Sesekali ia nampak menggigil kedinginan setiap hawa dingin menyentuh pori-pori kulitnya.Hati Wisnu terenyuh, begitu sakit. Butiran air mata berjatuhan membahasi pipi. Semakin deras, saat langkah kakinya mendekati Asma. Wisnu menarik tubuhnya berjongkok di depan tubuh' Asma yang menggigil. Sepersekian detik ia hanya berdiam menjatuhkan tatapan nanar. Diam-diam air mata semakin deras mengalir membahasi pipi. Gerakan tangannya yang hendak membelai kerudung lusuh yang Asma kenakan terhenti di udara. Wisnu ragu, hatinya hancur melihat keadaan Asma yang sangat menyedihkan. Umpatan demi umpatan merutuki diri Wisnu atas kesalahannya di masalalu. "Beginilah hidup Asma sekarang!" ucap Ustaz Azhar yang berdiri di ambang pintu gudang. Wisnu menatap lelaki dengan sarung yang
Nada terduduk lesu. Sudah hampir dua jam ia tiba di rumah sakit. Tapi para dokter yang berada di dalam ruang ICU belum ada satupun yang keluar. Wajah Nada nampak sangat gusar sekali. Pikiran buruk semakin memenuhi isi kepalanya membuat tubuhnya bergetar hebat.Suara derap langkah kaki yang memecah keheningan mengalihkan tatapan Nada pada seseorang lelaki yang berjalan dari ujung lorong. Wanita berbalut kerudung tosca itu terkesiap. Entah kebetulan atau bagaimana, ia tidak tau. Tapi lelaki bertubuh jangkung itu berjalan semakin mendekat menghampirinya."Bagiamana dengan keadaan Tuan Seno?" ucap Danil saat berhenti di depan Nada yang masih tercengang.Wanita yang mendongakkan wajahnya itu tidak bergeming untuk beberapa saat. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Setelah sekian lama mereka tidak pernah saling bertemu."Danil, bagaimana bisa kamu berada di sini?" ucap Nada terbata. "Bagaimana kamu bisa tau kalau Kakek ....!" Nada nampak bingung."Itu bukan ha
Kabut masih menyelimuti langit saat Danil dan Nada pergi meninggalkan rumah sakit. Wanita itu mejatuhkan kecupan pada kening Tuan Seno sebagai salam perpisahan sebelum ia akan datang kembali bersama Gala. Mobil yang Danil kendarai mulai memasuki jalanan rusak yang akan terbentang hingga beberapa kilometer sampai ke rumah Nada. Pasti saat mereka tiba di sana matahari sudah menunjukan cahayanya. Kerana jarak yang mereka tempuh menang cukup lama."Jadi kamu bertemu Asma?" Danil melirik pada Nada yang duduk pada bangku di sampingnya.Wanita dengan wajah lesu itupun mengangguk lembut. "Iya aku melihatnya dan sepertinya Gala mengenal wanita itu." Suara Nada terdengar lesu dan bergetar. Ketakutan kehilangan Gala membuatnya hampir saja gila.Danil menggangguk lembut. Memelankan kemudi mobil yang sedang ia kendarai. "Apakah wanita itu juga mengenalimu?" Danil menaikan kedua alisnya."Entahlah, aku tidak tau!" Nada menggendikan bahunya. Netranya menatap pada jalanan yang berada di depan mobil
"Cepat buka pintu rumahnya!" teriak suara keras yang berasal dari depan rumah.Dengupan jagung Nada seperti ingin melompat dari tempurungnya. Ia segera mengunci rapat pintu rumah dan menutupi semua tirai. "Bagaimana ini, Danil?" Nada semakin cemas. Ia menghampiri Danil yang sedang memikirkan cara untuk keluar dari dalam rumah panggung itu tanpa sepengetahuan para polisi yang berada di luar rumah Nada."Ibu Nada, cepat keluar atau kami akan mendobrak pintu rumah ini!" cetus suara lelaki yang tidak asing dari luar pintu rumah terdengar memburui setelah beberapa kali mereka mengetuk pintu rumah yang enggan untuk dibuka oleh Nada.Gala hendak berjalan ke arah pintu. Dengan cepat Nada menjegal pergelangan tangan bocah lelaki itu."Aku hanya ingin melihatnya, Bu?" cetus Gala menoleh pada Nada yang nampak khawatir."Jangan Gala!" cetus Nada dengan wajah menengang. "Ini sangat berbahaya sekali," imbuh Nada mengingatkan. Kedua matanya membulat penuh, urat-urat pada pelipisnya pun tampak menon
Danil terus membungkam mulut Gala. Tidak peduli perasaan bocah lelaki itu. Ia hanya tidak ingin ikut terseret dalam kasus yang menimpa Nada. Pasti Saat ini para polisi itu dan Wisnu sudah mengamankan Nada atau justru suara senapan api yang menggema beberapa saat lalu adalah akhir dari perjalanan hidup Nada.Cahaya senter berlari kesana-kemari hingga ke curug tempat Danil kini bersembunyi. Beruntungnya derasnya air yang berjatuhan pasti tidak akan membuat Polisi itu mengira jika di balik curug itu ada gua kecil tempat Danil dan Gala kini sedang bersembunyi.Sepersekian detik menunggu, akhirnya cahaya lampu senter itupun menghilang. Menandakan jika para polisi itu telah pergi dari sekitar sungai yang berujung dengan Curug atau air terjun kecil.Danil melepaskan tangannya yang membungkam mulut Gala. Bocah lelaki itu beringsut menjauhi Wisnu dan menangis sejadi-jadinya. Sepersekian detik Danil membiarkan Gala menangis. Ia mengatur nafasnya yang hampir saja putus. Beberapa luka juga menggo