Inamah berdiri di depan sebuah bangunan besar yang menjulang tinggi. Dari tempat ia menjejakkan kaki, bangunan di depannya itu terlihat seperti huruf U yang mengelilingi halaman berumput. Tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan hidupnya. Tempat ke dua setelah ia menyebut kata rumah.
Pondok Pesantren As Salam.Letaknya persis di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kota Gresik. Dekat dengan jalan besar hingga akses untuk menjangkaunya tidaklah susah. Masa remaja Inamah banyak sekali dihabiskan di tempat ini. Tempat ia mengenyam pendidikan juga mendalami ilmu agama.Bersama dengan santriwati yang lain.Segaris senyuman terlukis di bibir Inamah. Wajah yang dipayungi penuh luka itu mencoba menyamarkan perih dalam hati.Tidak dipungkiri. Selama dua hari meninggalkan rumah Bram, Inamah masih berharap suaminya itu menghubungi nomornya. Setidaknya bertanya kabar tentang Kia, begitu. Namun, hingga kepergiannya menInamah berjalan bersama Mirna menuju kediaman Ustazah Shafa. Letaknya yang tak jauh dengan Pondok Pesantren As Salam. Membuat waktu yang digunakan tidaklah terlalu lama. "Anakmu kok anteng banget, ya, In?" tanya Mirna sambil menggendong Kia. Sebentar lagi mereka akan tiba. Setelah berputar menuju gerbang belakang ponpes, demi memangkas jarak ke kediaman Ustazah Shafa."Iya, Mbak. Alhamdulillah," jawab Inamah pelan."Iya eh, beneran lho. Nggak rewel sama sekali." Senyum tipis terlukis di bibir Inamah. Sebuah keberkahan tersendiri baginya. Seolah Kia tahu apa yang Inamah rasakan. Bayi mungil itu sedikit pun tak pernah menyusahkan. "Iya, Mbak. Alhamdulillah." Beberapa menit mereka lalui dengan berbincang sepanjang jalan.*** Di belakang pondok pesantren As Salam, terdapat pemukiman warga yang cukup padat. Sebuah desa dengan gang-gang yang tertata rapih. Rumah yang berb
Seminggu berlalu. Sejak kepergian Inamah dan Kia dari rumah. Ada rindu yang membelenggu hati. Laraku kini, hanya diri sendiri yang merasai. Tak ada barang-barang istimewa yang Inamah bawa. Ia hanya mengambil beberapa helai pakaiannya. Bahkan, perhiasan dan sisa uang belanja yang kuberikan. Semua tersimpan rapih di dalam lemari. Kia, putri kecilku. Rindu sekali hati ini melihat senyum rekah di bibirnya. Bahkan, tangisan malam yang selalu memekakkan telinga. Rupanya mampu membuatku rindu berat padanya. "Rabbi ... masih adakah tempat untukku di hati Inamah?" Kuraup wajah kasar. Merutuki kebodohanku sendiri. Kehilangan Inamah hanya demi Lastri. Perrmpuan yang telah menjebakku kembali. Ke dalam tipu daya dan perangkapnya. Aaaarrrgghhh!Seandainya malam itu aku tidak datang lagi. Seandainya aku masih bisa tetap bertahan di antara ketidaksadaranku. Seandainya aku bisa menjelaskan semua pada Inamah. Tentu, tak akan terjadi hal seperti ini. Drrrttttt!Gawai bergetar saat aku sedang sanga
Inamah sedang sibuk menyiapkan berkas-berkas. Ia akan pergi ke luar pondok hendak memfotocopikan surat-surat penting miliknya. Ada banyak hal yang ingin ia kerjakan hari ini. Kebetulan pekerjaannya di pondok sudah selesai sejak tadi. "Mbak, tempat fotokopi dari sini jauh nggak?" tanya Inamah pada Mirna. "Lumayan, sih, In. Emang mau fotokopi apa?""Banyak, hehe." Inamah tersenyum. Jemarinya terus bergerak menumpuk berkasnya. Mirna yang penasaran mendekat. Dilihatnya buku nikah, KTP, KK, dan akte kelahiran yang Inamah rapikan. "Mbak!" Mirna menepuk punggung tangan Inamah. Menghentikan aktivitas ibu satu anak itu. Inamah tersenyum. Untuk apa ditutupi lagi? Toh, jalan hidupnya memang pahit begini. Kedua alis Mirna bertaut di tengah. Menunggu penjelasan."Mau ngurus ke pengadilan agama, Mbak. Gugat cerai suami," ujar Inamah sambil melanjutkan aktivitasnya. Mirna terhenyak. Ia sama sekali tak menyangka. Setahunya, Inamah bukan perempuan yang mudah mengambil keputusan seperti itu. Per
"Mau ke mana, Nduk?" tanya Bu Nyai. Inamah meraih tangan Bu Nyai dan mencium takzim punggung tangan perempuan itu. "Mau ke luar. Ada keperluan fotokopi.""Emang, di belakang nggak ada? Bukannya Pak Syamsul jaga fotokopi?" Pak Syamsul adalah salah satu petugas di Pondok."Lagi rusak. Masih diperbaiki. Mungkin, seminggu lagi baru bisa jalan lagi." Kali ini Fatih yang menyahut. "Oh." Bu Nyai mengangguk. Inamah tak enak. Ia hendak pamit. Tapi kemudian dicegah oleh Bu Nyai. "Bareng sama Ibu aja, ya? Kita naik mobil. Kasihan anak kamu. Di luar panas." Antara ingin menerima atau menolak. Sama-sama ada rasa segan. Inamah kemudian memilih mengangguk. Setuju saja. *** Canggung. Begitulah yang Inamah rasakan. Sejujurnya ini pertama kalinya ia naik ke dalam mobil Bu Nyai. Terlebih ada Fatih yang sedikit banyak membuat hati Inamah berdebar tak keruan. Ah, pemuda tampan yang menjadi idola para santriwati. Siapa yang tak tergoda oleh pesonanya. Ditambah suaranya yang merdu. Astagfirullah
Diblokir Tetangga 68"Jadi, mau berapa lembar kopian, Mbak?" tanya tukang fotokopi pada Inamah."Masing-masing lima lembar.""Oh, iya, siap." Petugas fotokopi lantas menekan tombol hinga terdengar mesin melakukan pekerjaannya. Sambil duduk menunggui, dengan menatap kedua mata Kia yang terbuka. Inamah tersenyum kecil. Mencandai putri kecilnya itu."Kita ke Bu Bidan, ya, Nduk?" ujar Inamah lirih. Mumpung sekalian ke luar. Ia akan pergi mencari klinik bidan terdekat. Pesan Bu Nyai tadi, sedikit banyak membuat Inamah kepikiran. Tak ingin melupakan hak sang putri. Juga tak ingin dianggap abai dan lalai pada tanggung jawabnya. Satu kecupan di kening ia berikan pada Kia. Lalu menghujamnya di kedua pipi. Tawa berderai dari wajah malaikat kecilnya itu, menjadi hiburan tersendiri di kala sendu menghampiri. Dalam hati, Inamah dirundung kalut yang tak bertepi karena kabar yang Bram sampaikan. Bagaimana pun, Ibu mertua adalah orang yang harus ia hormati. Suka atau tidak. Fakta berkata demikian
Sudut lain di Kota Surabaya, sebuah bangsal dengan alat medis menyahut satu sama lain di dalamnya. Hati seorang anak tengah diselimuti duka. Bram Ari Pratama. Mengembus napas kasar. Sesekali memijit kening sendiri. Bram tengah gelisah. Mondar mandir di depan kamar inap sang Ibu. Hatinya tak tenang, meski berkali-kali Lastri mencoba menenangkannya. Mengusap punggung, membisikikkan kata-kata yang mungkin bisa menawar gundah karena kepikiran sang ibu."Tenanglah, Mas. Jangan khawatir. Dokter pasti berusaha yang terbaik. Ibu bisa diselamatkan.""Nggak bisa, Dek. Ya Allah! Hati Mas nggak tenang!" "Sabar, ini ujian buat kamu, Mas. Tenanglah." "Ujian?" Bram tersenyum pahit. "Semoga ini benar ujian. Bukan hukuman yang Allah berikan." Lastri diam. Calon suaminya itu pasti teringat pada sang mantan istri. Inamah. Dalam hati Lastri, ia terkekeh geli. Bahagia melihat Bram frustrasi. Ah, nasibnya bahkan jauh lebih buruk. Tak hanya diasingkan. Aib pun Lastri bawa hingga ke luar perkampungan.
Di teras belakang pondok, tepatnya dekat pintu kamar Mirna. Inamah tengah duduk sambil memangku Kia, putri kecilnya. Ia menimang gadis kecilnya itu, mencandai hingga terasa lepas sudah beban dalam hatinya. Sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan berpadu dengan bunyi nyaring binatang malam."Mashaa Allah, indah banget, ya, Nduk. Lihat di atas sana. Kerlap-kerlip cahayanya." Dipandanginya pekat langit malam yang bertabur bintang. Diangkatnya tangan ke atas, Inamah menunjuk dengan telunjuknya, berbicara pada Kia, seolah gadis kecilnya itu tahu apa yang ia ucapkan. Semilir angin berembus pelan, mengusap wajah lembut Inamah. Menimbulkan sensasi segar yang menyenangkan. Menjadi abdi dalem pondok bukan sekadar pilihan. Inamah tak memiliki tempat lain selain Pondok Pesantren As Salam ini. Selain itu, ia merasa tenang di sini. Anaknya akan tumbuh di lingkungan yang kental dengan nuansa agamanya. Meski ada pekerjaan berat yang harus Inamah lakukan. Menyiapkan makan, pergi belanja, bersih-
Kamu berangkat jam berapa, In?" Pertanyaan Mirna membuat Inamah terhenyak dari lamunannya. Ah, ia merindu masa nyantri dulu. "Nanti agak siang, Mbak." Inamah melanjutkan kegiatannya. Jika di luar gaduh persiapan mandi, Inamah dan Mirna justeru sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan pagi. "Sama siapa?" tanya Mirna. "Sendirian aja, Mbak.""Bukannya sama Ustazah Shafa?" tanya Mirna lagi. Inamah menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya tahu niat beliau baik. Tapi, saya juga harus menjaga marwah beliau. Ini menyangkut urusan rumah tangga saya. Apalagi kalau sampai ada Mas Fadhil. Apa komentar orang nanti?" Mirna tersenyum kecil. Inamah sudah biasa begitu. Pandai menjaga diri dan juga orang lain. "Baguslah kalau gitu. Semoga Allah berikan kemudahan.""Aamiin."*** Seperti rencana di awal. Pukul sembilan, usai mengerjakan pekerj