Seminggu berselang ....
Inamah tampak sangat sibuk menyuapkan makan malam untuk Ani. Sementara, Bram sedang duduk di ruang tamu memangku Kia. Sejak pulang dari rumah sakit, Ani kini tinggal satu atap bersama Inamah.Berbagi tugas. Saling membantu satu sama lain. Inamah dengan sangat hati-hati menyuap sendok demi sendok makanan ke dalam mulut Ani."Enak, Bu?" tanya Inamah lembut.Sedikit kesulitan, Ani pun menjawab. Dengan bibir yang sedikit miring, pengaruh sakit stroke yang dideritanya.Drrrrtttt! Drrrrrttttt!Gawai Bram bergetar berkali-kali. Diliriknya sekilas benda pipih yang diletakkan di atas nakas itu.Hatinya resah. Ia sudah hafal betul. Sudah pasti itu nomor Lastri. Terakhir, ia menemui perempuan itu untuk memberinya sedikit bantuan berupa uang. Demi menyelamatkan agar tak sampai terusir dari rumah Bu Yuyun.Bram berusaha menjaga jarak. Meski dalam hati iaAku buka lembaran baru. Bukan karena kalah oleh godaan orang ke tiga. Tapi, karena yang kuperjuangkan hanyalah sampah. Sesuatu yang menjijikkan tak mungkin aku pungut ulang. Biarlah ia membusuk bersama dengan sampah yang ia simpan.Benar kata Anggi. Sebelum semuanya terlambat. Aku harus segera mengakhiri. Secepatnya. *** "Dek, tolong, Dek. Tinggallah di sini dulu. Maafin Mas, Dek." "Mas nggak mau pisah sama kamu. Mas sayang banget sama kamu dan Kia." Terus saja Mas Bram merayu. Menyebut Kia agar iba itu datang lagi padaku. "Sudahlah, Mas. Jangan semakin banyak berakting. Aku sudah muak. Enak bener kamu selingkuh sampai lupa sama aku dan Kia. Trus, giliran mau pergi. Sekarang anakmu kau bawa-bawa!""Bukan begitu, Dek. Mas khilaf waktu itu. Tolong, mengertilah.""Khilaf? Kamu bahkan sudah bersumpah atas nama Allah tidak melakukan perbuatan
"Kamu boleh bangga dengan kehidupanmu, Mas. Tapi, kamu lupa. Bahwa semuanya adalah titipan. Allah tak pernah tidur. Orang zalim sepertimu, tinggal menunggu waktunya untuk tersungkur."*** Keluar dari mobil online. Sambil menggendong Kia dalam dekapan. Inamah berjalan ke luar. Melangkahkan kaki menuju taman edukasi. Di depannya, tampak jalanan berpaving dengan pohon besar di sisi kiri dan kanan. Meneduhkan. Hati Inamah gusar. Ia bingung harus pergi ke mana. Tak ada sanak saudara yang bisa dihubungi. Mau ke tempat Umi Safa, ia malu sekali.Sementara, diam saja di rumah Bram dan menerima segala pengkhianatan suaminya. Bukanlah solusi yang tepat. Ia jijik juga muak. Pada semuanya. Inamah berhenti saat Kia menggeliat dalam dekapan. Dipandanginya bayi mungil itu. Tergelincir sudah setitik air yang telah Inamah tahan sejak tadi. Tak menyangka dengan nasib yang dialaminya.Lebih-lebih pada Kia. Perceraia
Inamah berdiri di depan sebuah bangunan besar yang menjulang tinggi. Dari tempat ia menjejakkan kaki, bangunan di depannya itu terlihat seperti huruf U yang mengelilingi halaman berumput. Tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan hidupnya. Tempat ke dua setelah ia menyebut kata rumah. Pondok Pesantren As Salam. Letaknya persis di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kota Gresik. Dekat dengan jalan besar hingga akses untuk menjangkaunya tidaklah susah. Masa remaja Inamah banyak sekali dihabiskan di tempat ini. Tempat ia mengenyam pendidikan juga mendalami ilmu agama.Bersama dengan santriwati yang lain. Segaris senyuman terlukis di bibir Inamah. Wajah yang dipayungi penuh luka itu mencoba menyamarkan perih dalam hati. Tidak dipungkiri. Selama dua hari meninggalkan rumah Bram, Inamah masih berharap suaminya itu menghubungi nomornya. Setidaknya bertanya kabar tentang Kia, begitu. Namun, hingga kepergiannya men
Inamah berjalan bersama Mirna menuju kediaman Ustazah Shafa. Letaknya yang tak jauh dengan Pondok Pesantren As Salam. Membuat waktu yang digunakan tidaklah terlalu lama. "Anakmu kok anteng banget, ya, In?" tanya Mirna sambil menggendong Kia. Sebentar lagi mereka akan tiba. Setelah berputar menuju gerbang belakang ponpes, demi memangkas jarak ke kediaman Ustazah Shafa."Iya, Mbak. Alhamdulillah," jawab Inamah pelan."Iya eh, beneran lho. Nggak rewel sama sekali." Senyum tipis terlukis di bibir Inamah. Sebuah keberkahan tersendiri baginya. Seolah Kia tahu apa yang Inamah rasakan. Bayi mungil itu sedikit pun tak pernah menyusahkan. "Iya, Mbak. Alhamdulillah." Beberapa menit mereka lalui dengan berbincang sepanjang jalan.*** Di belakang pondok pesantren As Salam, terdapat pemukiman warga yang cukup padat. Sebuah desa dengan gang-gang yang tertata rapih. Rumah yang berb
Seminggu berlalu. Sejak kepergian Inamah dan Kia dari rumah. Ada rindu yang membelenggu hati. Laraku kini, hanya diri sendiri yang merasai. Tak ada barang-barang istimewa yang Inamah bawa. Ia hanya mengambil beberapa helai pakaiannya. Bahkan, perhiasan dan sisa uang belanja yang kuberikan. Semua tersimpan rapih di dalam lemari. Kia, putri kecilku. Rindu sekali hati ini melihat senyum rekah di bibirnya. Bahkan, tangisan malam yang selalu memekakkan telinga. Rupanya mampu membuatku rindu berat padanya. "Rabbi ... masih adakah tempat untukku di hati Inamah?" Kuraup wajah kasar. Merutuki kebodohanku sendiri. Kehilangan Inamah hanya demi Lastri. Perrmpuan yang telah menjebakku kembali. Ke dalam tipu daya dan perangkapnya. Aaaarrrgghhh!Seandainya malam itu aku tidak datang lagi. Seandainya aku masih bisa tetap bertahan di antara ketidaksadaranku. Seandainya aku bisa menjelaskan semua pada Inamah. Tentu, tak akan terjadi hal seperti ini. Drrrttttt!Gawai bergetar saat aku sedang sanga
Inamah sedang sibuk menyiapkan berkas-berkas. Ia akan pergi ke luar pondok hendak memfotocopikan surat-surat penting miliknya. Ada banyak hal yang ingin ia kerjakan hari ini. Kebetulan pekerjaannya di pondok sudah selesai sejak tadi. "Mbak, tempat fotokopi dari sini jauh nggak?" tanya Inamah pada Mirna. "Lumayan, sih, In. Emang mau fotokopi apa?""Banyak, hehe." Inamah tersenyum. Jemarinya terus bergerak menumpuk berkasnya. Mirna yang penasaran mendekat. Dilihatnya buku nikah, KTP, KK, dan akte kelahiran yang Inamah rapikan. "Mbak!" Mirna menepuk punggung tangan Inamah. Menghentikan aktivitas ibu satu anak itu. Inamah tersenyum. Untuk apa ditutupi lagi? Toh, jalan hidupnya memang pahit begini. Kedua alis Mirna bertaut di tengah. Menunggu penjelasan."Mau ngurus ke pengadilan agama, Mbak. Gugat cerai suami," ujar Inamah sambil melanjutkan aktivitasnya. Mirna terhenyak. Ia sama sekali tak menyangka. Setahunya, Inamah bukan perempuan yang mudah mengambil keputusan seperti itu. Per
"Mau ke mana, Nduk?" tanya Bu Nyai. Inamah meraih tangan Bu Nyai dan mencium takzim punggung tangan perempuan itu. "Mau ke luar. Ada keperluan fotokopi.""Emang, di belakang nggak ada? Bukannya Pak Syamsul jaga fotokopi?" Pak Syamsul adalah salah satu petugas di Pondok."Lagi rusak. Masih diperbaiki. Mungkin, seminggu lagi baru bisa jalan lagi." Kali ini Fatih yang menyahut. "Oh." Bu Nyai mengangguk. Inamah tak enak. Ia hendak pamit. Tapi kemudian dicegah oleh Bu Nyai. "Bareng sama Ibu aja, ya? Kita naik mobil. Kasihan anak kamu. Di luar panas." Antara ingin menerima atau menolak. Sama-sama ada rasa segan. Inamah kemudian memilih mengangguk. Setuju saja. *** Canggung. Begitulah yang Inamah rasakan. Sejujurnya ini pertama kalinya ia naik ke dalam mobil Bu Nyai. Terlebih ada Fatih yang sedikit banyak membuat hati Inamah berdebar tak keruan. Ah, pemuda tampan yang menjadi idola para santriwati. Siapa yang tak tergoda oleh pesonanya. Ditambah suaranya yang merdu. Astagfirullah
Diblokir Tetangga 68"Jadi, mau berapa lembar kopian, Mbak?" tanya tukang fotokopi pada Inamah."Masing-masing lima lembar.""Oh, iya, siap." Petugas fotokopi lantas menekan tombol hinga terdengar mesin melakukan pekerjaannya. Sambil duduk menunggui, dengan menatap kedua mata Kia yang terbuka. Inamah tersenyum kecil. Mencandai putri kecilnya itu."Kita ke Bu Bidan, ya, Nduk?" ujar Inamah lirih. Mumpung sekalian ke luar. Ia akan pergi mencari klinik bidan terdekat. Pesan Bu Nyai tadi, sedikit banyak membuat Inamah kepikiran. Tak ingin melupakan hak sang putri. Juga tak ingin dianggap abai dan lalai pada tanggung jawabnya. Satu kecupan di kening ia berikan pada Kia. Lalu menghujamnya di kedua pipi. Tawa berderai dari wajah malaikat kecilnya itu, menjadi hiburan tersendiri di kala sendu menghampiri. Dalam hati, Inamah dirundung kalut yang tak bertepi karena kabar yang Bram sampaikan. Bagaimana pun, Ibu mertua adalah orang yang harus ia hormati. Suka atau tidak. Fakta berkata demikian
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be