Hari ini hari bahagia untuk mamah Senja, Helen dan Adam akan melaksanakan ijab kabul. Helen yang memakai kebaya putih sedang didandani. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya, baru kali ini Senja melihat mamahnya begitu senang, sesekali ia menyalami tamu yang datang mengucapkan selamat.
"Kamu senang dengan pernikahan mamah kamu?" tanya Saga yang menemani Senja menyambut tamu.
"Ada alasan aku harus gak bahagia?" tanyanya balik dengan sedikit sewot. Hari ini Senja begitu cantik dengan make up natural dan kebaya berwarna biru laut.
"Ituh orang yang sebentar lagi jadi ayah kamu udah datang." Mereka melihat rombongan Adam masuk ke halaman rumah Senja. "Kamu tenang aja selama ada aku, dia gak akan berani macam-macam atau deketin kamu."
"Kamu apaan sih!! Aku panggil mamah dulu udah selesai dandan apa belum?" Senja bergegas pergi memanggilkan Helen dan Saga dengan muka di tekuk masam meny
Senja yang berada di belakang terkejut mendengar suara orang-orang ribut. Ia bergegas ke depan untuk melihat keadaan sang ibu. Tapi ia lebih terbelalak lagi saat menyaksikan Helen di hina oleh seorang perempuan yang lengannya ditahan Adam. "Ada apa ini?" tanyanya bingung lalu ia melihat mamahnya yang menangis terisak-isak, "Apa yang anda perbuat kepada mamah saya." "Mamah kamu yang salah, dia udah rebut Adam dari saya. Saya masih istrinya, istri sah nya." Kini Senja tahu Adam memang lelaki paling brengsek. Bisa-bisanya ia menikah dengan mamah Senja tapi masih berstatus sebagai suami orang, "Dasar pelakor,, Jangan pura-pura sok sedih kamu.. sok nangis!! Padahal kamu perempuan culas perebut suami orang." "Cukup... cukup... cukup.. silakan anda bawa pergi laki-laki bajingan ini!! Dan Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya lagi!! Ingat mamah saya nggak tahu kalau Adam masih punya istri karena si biadab ini menga
"Mamah, aku Atroya mah! Anak mamah." Helen terpaku sejenak ia sadar akan sesuatu. Atroya, nama yang diberikan Prasetya pada anak pertama mereka. Helen tertegun sejenak, yang ada di hadapannya ini adalah Atroya. Putra yang amat ia rindukan. Anak yang menjadi bunga di mimpi Helen. Ingin rasanya mendekap tubuh jangkung anaknya itu tapi teringat janjinya pada seseorang. Helen bergerak mundur, melempar sapunya ke sembarang arah lalu berlari masuk rumah. "Mamah... mamah... mamah!!" Troy berteriak sambil mengejar ibunya. Ia tak tahu apa kesalahannya sehingga Helen menghindar. Apa Troy dianggap orang asing yang berbahaya? Brakk Helen menutup pintu rumah rapat-rapat. Ia ketakutan, ancaman seorang kakek Troy bukan main-main. Harusnya Helen berterima kasih karena Troy sudah di besarkan dengan segala kemewahan dan tak kekurangan sesuatu apa pun. Helen tak ingin muluk-muluk, ia sudah sangat berterima kasih karena putra sulungny
Troy menegak alkoholnya lagi. Ia tak habis pikir, kenapa orang yang dikenalnya sebagai ibu yang sudah melahirkannya enggan menemui Troy. Ia bingung apa kesalahannya. Mana ada ibu yang tak menyayangi anaknya? Mana ada ibu yang tak peduli pada putranya. Troy lelah, harapannya memiliki keluarganya lagi tiba-tiba harus menguap ke udara. Ia putus asa. Mungkin memang benar, takdirnya adalah menjadi boneka sang kakek dan harus berjodoh dengan perempuan menyebalkan seperti Vivian. "Tuan, minum lagi? Minum tak baik untuk kesehatan." ujar Ismail yang melihat tuannya tengah memegang botol minuman. "Kenapa dia lari? Kenapa dia harus menghindariku? Apa salahku? Aku hanya ingin memeluknya, memanggilnya mamah. Merasakan bagaimana punya ibu, setidaknya aku tak merasa sendiri." "Ibu anda punya alasan untuk melakukan itu." Jawab kepala pelayannya singkat, Troy malah terkekeh ngeri. Alasan apa yang dapat membenarkan perlakuan ibunya. Ibunya malah
"Uhuk... uhuk... uhuk..." Senja membersihkan lantai dua bengkel suaminya. Tempat ini lumayan kotor maklum penghuni sebelumnya adalah para laki-laki yang minim menjaga kebersihan. Beruntung ruangannya cukup luas bisa di pakai untuk tidur, duduk atau sekedar belajar. Kalau kamar mandi ada di bawah, bersandingan dengan kamar mandi bengkel. "Loe yakin gak perlu gue panggilin jasa tukang bersih-bersih?" Tawaran Saga begitu menggiurkan tapi Senja menolaknya karena mereka harus belajar mandiri, hidup sendiri. Belajar bekerja sama dan menguatkan satu sama lain. "Gak usah, kamu bisa bantuin aku buat bersih-bersih kan? Angkat barang-barang." Lagi pula kalau mereka menyewa jasa tukang bersih-bersih akan memakan waktu dan menghabiskan uang. Memang uang Saga di ATM masih utuh belum tersentuh tapi itu uang hanya di gunakan saat darurat saja dan saat ini bukanlah saat genting sehingga uang itu harus di gunakan.
Senja baru saja akan mengangkat sendok sebelum Fara datang membawa semangkuk bubur ayam untuk bergabung makan siang dengannya. "Makan siang sama loe kayak gini bentar lagi jadi hal yang langka!" Ucapnya dengan nada suara yang dibuat sesedih mungkin. "Kenapa?" "Karena loe mau lulus dan gue belum lulus-lulus. Loe jadi kan wisuda akhir tahun?" Senja hanya tersenyum menanggapi muka kawannya yang di tekuk masam. "Jadi! Makanya loe cepet-cepet susulin gue. Yah siapa tahu kita bisa lulus barengan." Hal yang mustahil, Fara tahu kalau kekuatan otaknya dengan Senja berbanding terbalik. "Gak mungkin deh kayaknya. Dosen pembimbing gue itu sensi banget sama gue. Skripsi,baru sampai bab 1 muluk. Gak ada peningkatannya." Dengan kesal Fara mengaduk-aduk buburnya. Ia ingat kenapa dosen pembimbingnya bisa tak suka dengannya, karena Fara dulu sengaja mengerjai dosen itu dengan mengempiska
Di rumah Senja merasa tak nyaman. Di Cafe tempat kerjanya apalagi. Ia harus menghadapi Vano yang menunggunya di meja nomer 12. Kenapa laki-laki itu tak bosan mengganggunya, apa yang ia mau?. "Nja, kalau kamu gak nyaman biar aku suruh keamanan buat usir dia pergi". Tanya Arthur ketika melihat Senja ragu-ragu membawa nampan pesanan ber nomer 12. "Nggak kak, masalah buat di hadapi. Lagi pula dia juga pelanggan kita". Arthur tahu Senja itu dewasa. Awalnya ia merasa khawatir kini tak lagi. Pemilik Cafe, tempat Senja mencari nafkah itu mempercayai kalau Senja mampu menghadapi masalahnya. Atas dasar profesionalitas kerja. Ia mulai melangkahkan kaki. Senja tak akan takut, Devano harus di hadapi karena di hindari pun percuma. Laki-laki kurang ajar itu akan terus-menerus mengganggu hidupnya yang kini telah tenang. "Vano, ini pesanan kamu!" Senja meletakkan Taro milkshake dan juga Greentea lava cake tep
Saga tak tahu apa yang ia rasakan kini. Senangkah? Menyesalkah? Sedihkah? Yang jelas semuanya tercampur aduk. Ia benar-benar berhasil, Senja itu istrinya tapi ini semua juga salah. Karena terbawa emosi dan merasa bahwa Senja jadi menjauhinya . Saga kalap sampai melakukan hal di luar batas.Khilaf tapi ia melakukannya dengan sadar. Saga tak mabuk, sadar bercinta dengan istri. Bisa dikatakan bercint
"Ada apa kak?" "Oh ini, aku mau ngasih undangan sama kalian. Undangan pertunangan aku, Sabtu malam besok. Jangan lupa datang ya?" Senyum yang di miliki Farah seketika lenyap. Digantikan dengan ekspresi kecewa sekaligus nelangsa. "Pasti kak!" Senja yang menyahut sementara Farah hanya diam meratapi sakit hatinya. Kesadarannya belum juga terjaga karena terlalu mendramatisir hatinya yang patah. "Aku ke Arthur dulu. Dia ada di dalam kan?" "Iya kak, ada kok!!" Beberapa menit setelah Troy pergi, tangis Fara pecah. Bukan tangis tergugu tapi tangis yang meraung-raung. Mirip seorang gadis kecil yang kehilangan pita kesukaannya. "Hua... hua... hua... hua...." "Kok loe nangis kenceng banget sih?" "Tabok muka gue. Ini mimpi kan cuma mimpi!!" Farah dengan penuh kekesalan dan kecewa merebut kartu undangan yang berada di tangan Senja lalu membolak-baliknya sebelum menghempaskan benda itu ke meja. "Nama Troy ada disini d
Kejutan selalu terjadi tapi tawa khas Regan dan suara seorang perempuan yang ia tak kenali. Mempercepat langkah Senja untuk mencapai rumah. Ia penasaran saja karena biasanya dia kan yang jemput Regan di rumah Bibik Ratmi."Ini apa sayang?""Ni obot..." Regan membawa sebuah robot transformer besar yang dapat berubah jadi mobil. Robot itu harganya lumayan mahal. Senja bisa membelinya tapi kan sayang, uangnya cuma beli buat mainan. Di sebelah Regan terdapat berbagai macam mainan, gak cuma satu tapi banyak. Ada mobil remot, bis tayo, pistol yang menyala dan mainan canggih lainnya."Mamah?" sapa Senja yang sudah berdiri di hadapan kedua orang yang berbeda generasi itu."Eh.. kamu sudah pulang?" Senja mencium tangan Devi. Bagaimana buruknya perlakuan mertuanya di masa lalu tapi kini wajah tak suka serta tatapan muak milik Devi tak terlihat lagi. Mungkin jarak yang membuat wanita paruh baya ini terasa kangen."Udah mah. Mamah kapan sampainya?""Tad
Saga pada akhirnya tahu hal ini akan terjadi. Senja dengan otak pintar, serta nilai IP tinggi. Tak akan sulit mendapatkan pekerjaan yang bagus. Ibu dari Regan itu kini sudah di terima sebagai apoteker di sebuah rumah sakit besar di Semarang. Melihat istrinya berseragam hijau muda, ia jadi pangling sekaligus bangga. Istrinya itu akan berangkat jam tujuh lalu pulang jam tiga siang. Ia merasa kasihan pada Regan yang masih butuh asupan ASI."Aku merasa minder. Penghasilanku gak lebih besar dari gajimu." Senja menengok ke arah sang suami sambil menggendong Regan. Ia pernah bahas ini berkali-kali, tak apa jika terjadi perbedaan penghasilan di antara mereka."Aku udah bilang, kita kan bisa sharing kebutuhan rumah tangga sama-sama. Jangan berdebat lagi masalah uang. Aku gak suka Van. Uangku, uang kamu juga." Saga merasa dunia terasa terjungkir balik. Dulu yang bukan masalah, kini malah jadi perdebatan besar. Harusnya dari dulu ia tak menyia-nyiakan masa muda. Senja begitu pint
Saga panik ketika tengah malah istrinya mengalami kontraksi. Maklum lah mereka hanya berdua saja di kota ini. Tak ada yang mereka bisa mintai tolong kecuali Ratmi. Ibu pemilik rumah. Senja di antar ke bidan dengan naik mobil pick up. Selama di perjalanan, Senja banyak meringis kesakitan dan terus menyebut mamanya."Mas, apa gak sebaiknya menghubungi mamanya mbak Senja. Atau masih hubungi keluarganya." Ragu menyergap. Selama ini Helen dan Senja tak putus kontak. Tapi ia benar-benar takut jika Troy tahu, dan memaksa membawa sang istri pergi."Iya bik, mungkin besok mamanya baru datang." jawabnya bohong. Senja sudah sampai di pembukaan sepuluh dan siap untuk melahirkan. Saga menunggu di luar Karena tak tega mendengar Senja berteriak dan mengerang kesakitan. Andai bisa, ia mau menggantikan sang istri di dalam sana."Oek... oek... oek..."Suara tangis kencang seorang bayi menggema. Saga tahu anaknya telah lahir dengan selamat. Ia sendiri tak tahu jenis kelamin
Dara menarik nafas, menyiapkan diri lalu banyak berdoa. Ia berjalan mondar-mandir dan penuh was-was. Troy itu kalau ngamuk menakutkan bahkan mungkin sampai bisa memukulnya. Bel berbunyi, ini sudah jam 5 sore. Biasanya pria itu akan pulang jam segini."Troy?" Dara berlaku baik, ia meraih tas Troy lalu menyuruh laki-laki itu masuk dan membuka alas kaki. "Kamu udah makan? Mau aku siapin air panas?""Mana Senja?" Dara kira perhatiannya bisa mengalihkan pikiran pria ini dari sang adik."Begini..." lambat laun juga akan ketahuan, tapi lebih baik Dara mengarang cerita. "Senja kabur dari apartemen. Dia di bawa Saga."Tentu saja Dara takut. Ia bilang dengan nada yang di buat lirih Nan lembut namun tetap saja amarah Troy tak sapat di antisipasi. Pria itu malah mencengkeram lengannya keras menuntut sebuah alasan logis. "Gimana adik gue bisa kabur? Ada dua bodyguard yang gue suruh jaga!!""Aku gak tahu. Tapi dia yang rela pergi sama suaminya atas kemauan sendi
Senja tak bisa bimbang lagi. Keputusannya sudah bulat. Ia memilih pergi. Troy memang satu-satunya saudara yang ia miliki tapi ia sadar jika hakekatnya tanggung jawab saudara laki-laki terputus ketika saudara perempuannya telah menikah. Sekarang Saga imannya. Tak peduli jika ke depannya akan menderita atau Saga yang tak kunjung mencintainya. Senja hanya berusaha taat pada agama yang ia anut. “Udah siap kan? Aku udah hubungi Saga. Dia bakal ke sini dan soal penjaga tenang aja. Aku udah kasih obat tidur ke minuman mereka. Paling sebentar lagi mereka tidur.” Dara membantu Senja kabur, masalah Troy ia pikir belakangan. “Tapi gimana sama kamu nanti? Kak Troy bakal marah.” Dara menepuk-nepuk bahu Senja, membiarkan adik Troy itu tenang. “Semarah-marahnya Troy, dia gak mungkin mukul aku kan?” Dara tersenyum was-was. Ia pernah di amuk Troy ketika kalah dan rasanya tak enak. Ia juga pernah kena tampar karena bertemu Vivian. “Ya udah, aku pamit. Kamu baik-baik aj
Dara dan Senja ter jingkat kaget saat pintu apartemen di tutup dengan kasar oleh Troy. Pandangan Dara dan Senja bertemu. Ada rasa tak enak yang menyergap. “Sorry Ra, aku gak bermaksud mempersulit kamu.” Dara paham namun secara tidak langsung ia juga ikut andil dalam kekacauan ini. “Gak apa-apa. Troy lagi marah suka ngambil keputusan seenaknya.” Dara mendekat, mengelus pundak Senja pelan. “Aku bakal sedih kalau kamu pindah. Aku gak ada temen lagi deh.” “Aku mau pulang ke rumah mamah.” Dara ikut sedih jika Senja terpasung. Troy memang kakak Senja tapi di tak ada hak atas hidup wanita ini. Apalagi Senja punya wali sah yaitu suaminya. “Kalau Troy lagi emosi gini. Jangan di lawan. Kita bisa ngomong pelan-pelan tapi nanti.” Kalau sudah begitu Senja hanya bisa memejamkan mata dan mengurut pelipisnya. Tindakan Troy terlalu jauh. Dia bukan anak kecil yang harus di awasi segala sisi. Senja sudah dewasa bisa mengambil yang baik serta benar untukny
Sebelum makan mereka pergi jalan-jalan ke taman dan juga ke suatu tempat yang mengejutkan Senja ketika sampai. “Ke rumah sakit?” “Iya, aku mau lihat perkembangan anak kita.” Senja memejamkan mata. Ia lupa, belum pernah sekali pun memeriksakan sang anak pada dokter kandungan. Untung saja sang suami mengingatkan. “Gak apa-apa kan setelah ini baru kita makan?” “Gak apa-apa.” Bolehkah kali ini Senja merasa terharu karena perhatian sang suami. Ia merasa tak apa kalau cinta Saga bukan untuknya, asal anaknya mendapat kasih sayang penuh dari sang ayah. “Usia kandungannya udah masuk delapan minggu. Lihat kantung janin sudah terbentuk. Janinnya sehat, tekanan darah ibunya normal. Masih sering mual atau muntah?” tanya dokter kandungan yang tengah menangani Senja. “Alhamdulillah selama hamil gak pernah ngalamin itu. Pas hamil juga gak sadar, sebelum akhirnya pingsan.” Dokter perempuan itu hanya mengulum senyum tipis lalu menyuruh sang asisten membersihkan perut S
“GA, kamu gak boleh gegabah mengambil keputusan.” Kemarin mamanya yang bertandang kini sang kepala keluarga. Kenapa kedua orang tuanya begitu ngotot memintanya untuk menceraikan Senja. “Kalau masalah anak. Itu gampang. Kita bisa ngambil dia setelah lahir.” “Papah sadar ngomong kek gituh? Papah punya anak juga. Apa jadinya kalau aku dulu Cuma di asuh papah dan gak punya mamah.” Hermawan diam seribu bahasa. Anggap saja ia egois. Tawaran saham itu begitu menggiurkan. Hingga ia rela mendepak sang menantu yang tengah hamil. “Seratus persen saham perusahaan kita akan jadi milik kita. Kamu gak usah membagikan dengan siapapun.” Itulah tujuan awal pernikahannya dengan Senja. Agar saham perusahaan yang ayahnya pegang tak berpindah ahli waris. Namun ayahnya terlalu serakah. Ingin memiliki semuanya sendiri. “Papah tahu kamu udah gak betah kan dengan pernikahan ini!” “Papah salah, demi apa pun aku akan mempertahankan Senja dan anakku. Lebih baik papah bawa pergi surat cer
Namun Senja dapat bernafas lega ketika sang kakak tak ada. Syukurlah perang tanding bisa di tunda dulu. Saga ternyata gigih, sampai berani mengikutinya ke ruangan Wisnu di rawat. "Kamu di luar aja." "Aku kan mau jenguk, sekalian datang sebagai cucu mantu." Senja yang memegang engsel pintu, memundurkan kepalanya sambil mengernyit jijik. Cucu mantu? Itu bahkan akan jadi mantan. "Ya udah tapi diem." Senja menempelkan telunjuknya di atas bibir di sertai pelototan galak. Saga merapikan pakaiannya sebelum bertemu Wisnu. "Ma... u apa ka... mu... ke sini!!" Astaga sudah stroke separuh badan tetap saja galak. Senja waspada karena tahu, kadar benci sang kakek pada ibunya dan juga dirinya. "Kita mau jenguk kakek." jawab Saga enteng. "Gak... per... lu!!" Aduh ngomong aja udh ngumpulin nafas masih aja gengsi sambil membuang muka. "Per... gi... kalian!! Per... gi!! Ke sini datang baik-baik kok perlakuan kakek Senja kasar. Untunglah Saga tak membawa