"Kenapa kalian? Ada yang lucu? Apa ucapanku salah?" Raut wajah Pak Arik berubah tegang. Dia marah?
Seketika Alisa menghentikan tawanya. "Ini sudah mepet Rik, mana mungkin kita nyuruh Luna ganti baju lagi. Kita bakal telat. Lagipula kenapa kamu tidak suka? Kamu kayaknya lebih memperhatikan Luna daripada aku? Padahal pakaian kami kurang lebih hampir sama loh. Kamu nggak komplain dengan pakaianku ini?"
Aku lantas memperhatikan penampilan Alisa. Cantik. Kalau diperhatikan, pakaiannya mirip dengan dres yang pertama kali disodorkan Melani untukku. Dres pilihan Alisa yang disuruh ganti oleh Pak Arik. Jadi sebenarnya Alisa memilihkan pakaianku kembaran dengannya. Hanya warna dan detail payetnya saja yang berbeda. Pantas Alisa bertanya begitu.
"Beda, Lis. Hm … Luna tidak suka sama pakaiannya. Lagipula kenapa kamu belikan Luna pakaian yang modelnya sama semua, terlalu kebuka."
"calon adik iparmu, Mas." Celetukan Axel membuatku membelalakkan mata. Begitu juga raut wajah Pak Arik ikut berubah. Dia menatapku tajam seolah meminta penjelasan lewat sorot matanya."Alisa!" Panggilan seseorang yang melambaikan tangan ke arah kami memaksaku dan lainnya ikut menoleh ke arah tersebut."Ibu." Alisa dengan riang membalasnya dengan lambaian tangan."Mas, dipanggil Ibu, kita ke sana," ajak Alisa pada Pak Arik dengan senyum merekah.Pak Arik yang sudah membuka mulutnya tak jadi bicara karena ditatap Alisa."Duduklah di sini, jangan kemana-mana, kami ke sana sebentar," pesannya padaku sebelum beranjak pergi.Syukurlah, panggilan ibunya Alisa mengalihkan perhatian mereka dariku. Aku tak perlu menjelaskan apapun pada lelaki dingin itu.
"Aku duduk di sini ya." Seorang lelaki muda mengenakan setelan jas formal bertanya ke arahku.Aku menggelengkan kepala. "Maaf, ada orangnya, sebentar lagi juga datang," jawabku bohong menatap ke kursi kosong di sebelahku.Laki-laki tersebut bukannya menjauh malah menjatuhkan bokongnya duduk di kursi tersebut. Aku beringsut menggeser kursi menjauh darinya."Maaf, Anda tidak dengar dengan yang barusan saya katakan kalau--""Kalau kursi ini sebenarnya tidak ada pemiliknya. Dari tadi kuperhatikan kursi ini masih kosong, dan tidak ada satu pun ada orang yang duduk di sini. Kamu pasti berbohong."Astaga, dia tahu. Apa dia memperhatikanku?"Maaf, aku hanya ingin duduk sendiri," sahutku jujur."Maaf
Aku duduk tepat menghadap kedua orang tua Pak Arik yang merupakan mertuaku. Ada rasa gugup menjalar membuat kedua telapak tangan basah dan dingin. Tanganku saling bertaut berusaha meredamkan rasa yang menimbulkan degupan kencang. Hawanya jadi terasa panas meski AC sentral telah menyejukkan ruangan ini. Di sampingku sebelah kiri, duduk Axel dan sebelah kanan ada Pak Arik. aku duduk diapit dua kakak-beradik yang menyebalkan. Sedang Alisa memilih duduk di samping ibu mertua dan menatapku dengan awas."Siapa namamu tadi?" Ibu mertua kembali bertanya. Ia tidak berhenti menatapku. Entah kenapa, aku merasa tatapan yang diberikannya adalah tatapan tidak suka. Masih kuingat jelas bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar Axel mengenalkanku sebagai calon istrinya.***"Ini Luna, calon istriku."Semua menata
"Benarkah? Lebih baik perkenalan keluarga dulu, baru memantapkan ke jenjang selanjutnya. Santai saja, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Anggap saja sekarang ini kamu sedang membawa teman dekatmu dan memperkenalkannya ke kita. Kita tidak pernah tahu apakah masih wanita ini yang akan kamu bawa ke hadapan kita lagi atau malah wanita lainnya?" tandas Pak Arik seraya menepuk bahunya Axel dari arah belakang melewati badanku yang duduk di tengah mereka."Mas, aku serius." Axel membantah dan mengulangi ucapannya dengan penekanan kata."Axel, Masmu benar. Kita sudah diperkenalkan dengan calon istrimu ini. Kurasa itu cukup. Untuk pembicaraan serius, nanti saja di rumah. Lagipula kami, terutama Ayah dan Ibu harus tahu lebih dalam siapa calonmu ini." Alisa angkat bicara. Ibu mertua menganggukkan kepala mengiyakan."Aku masih diam bingung harus mengatakan apa. Mereka silih bergan
Badanku terasa melayang, dan hm … aroma ini? wangi sekali. Aku seperti pernah menciumnya…. Kucoba keras membuka kedua mata."Mas Arik …," lirihku setelah berhasil membuka kelopak mata yang berat dan yang terlihat adalah wajahnya yang begitu dekat."Kamu sudah sadar?" tanyanya terkejut.Sadar? Maksudnya? Aku tidak mengerti, tapi aku mengeratkan rangkulan tanganku di lehernya setelah menyadari telah berada dalam gendongannya. Dengan mata terpejam kuhirup tajam aroma maskulin yang menguar dari badannya.Jadi, wangi yang kucium tadi, dari sini? Pantas baunya familiar.Gerak langkahnya semakin cepat hingga akhirnya kurasakan badanku direbahkan dengan sangat pelan di atas tempat tidur."Syukurlah sudah sadar. Kamu membuatku
Suara ponsel berdering mengusikku. Ini pasti punya Pak Arik. Dari tadi berbunyi terus, pasti telepon penting atau itu dari Alisa? "Mas, ponselmu berbunyi terus. turunkan saja aku, dan angkat telepon Mas dulu. Takut penting. Lagipula aku malu dilihat banyak orang yang berpapasan dengan kita," pintaku. Jujur aku memang malu dibopongnya sepanjang jalan dari lorong kamar hotel. Entah apa pendapat mereka tentang kami. Ditambah napasnya tersengal-sengal saat berjalan karena membawa beban berat tubuhku."Sudah terlanjur. Ini sudah di lobi." Aku pasrah mendengar penolakannya.***Kembali ponsel Pak Arik berdering lagi. Aku ingat betul itu nada panggilan telepon, Ia meliriknya sekilas, lalu mengabaikan tanpa diangkat."Kenapa tidak diangkat?" tanyaku penasaran. Kami sudah berada di dalam mobil. Ponsel diletakkannya begitu saja di atas
"Iya. Ini lagi di jalan mau pulang."Akhirnya Pak Arik mengangkat telepon yang sedari tadi terus berdering dari ponselnya.Itu pasti Alisa. Bisa ditebak dari cara Pak Arik menjawabnya.Aku diam menyimak."Iya, dia baik-baik saja." Pak Arik melirikku, dan kutatap balik juga. "Lemas mungkin karena telat makan," sambungnya.Pasti ngomongin aku.Kupejamkan mata berpura tidur agar dikira tidak menguping pembicaraannya dengan Alisa."Mungkin …, Iya.""Belum, dia menolak, tapi sudah kubelikan makanan.""Bukan begitu. Memang sepertinya yang dibutuhkannya itu makan. Nanti pas sampai rumah, aku akan panggil dokter lagi buat memastikan keadaannya."
Aku keluar kamar mandi diliputi hati bimbang. Masih bingung menebak kebenaran kehamilanku. Apakah aku beneran hamil atau tidak? Namun gejala yang kualami itu mirip seperti orang yang sedang hamil. Merasa mual, pusing dan ingin muntah.Neni mendekat."Bagaimana Nyonya?" tanyanya tampak tak sabar."Kuberikan dua benda yang masih di tanganku itu kepadanya. Aku berjalan gontai menuju tempat tidur dan duduk di atasnya."Alhamdulillah ..., Nyonya hamil," jerit Neni dengan senyum lebar. Ia merangsek memelukku dan mengucapkan selamat."M--maaf Nyonya. Saya malah meluk Nyonya tanpa izin," ucapnya menjauh dan sedikit menundukkan kepala."Jadi benar ini artinya hamil?" tanyaku memastikan dan tidak menggubris kelacangannya memelukku. Semua orang bisa saja spontan karena terkejut dan kuras
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.