Dipaksa Bertemu
"Ini uang 500 juta," tunjuk wanita cantik di hadapanku dengan melirik koper yang terbuka, dan memperlihatkan uang yang aku tidak tahu apa benar jumlahnya seperti yang disebutkannya barusan.
"Dan ini 500 juta juga," sambungnya sembari membuka koper satunya dengan tampilan isi yang sama persis.
"Keduanya akan menjadi milikmu kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan sangat baik," tandasnya kemudian dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya.
"A-apa ini? A--aku tidak mengerti," sahutku yang masih diliputi kebingungan. Aku memang tidak paham untuk apa aku dibawa paksa oleh seseorang yang berpakaian serba hitam, hingga duduk di depan wanita yang menunjukkan dua koper berisi uang satu miliar. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan, dan siapa wanita di hadapanku saat ini?
Wanita cantik tersebut mengulurkan tangan ke arah lelaki yang berdiri di belakangnya, dan dengan sigap lelaki tersebut memberikan sebuah map.
"Luna Arsyakayla. Umur 21 tahun. Alamat jalan Anggrek nomor 12 gang suka damai, kampung Pasar lama. Tinggal bertiga dengan ibu dan adik laki-lakinya, dan merupakan tulang punggung keluarga. Kuliah jurusan ekonomi sambil menyambi kerja di sebuah cafe. Untuk menambah penghasilan, kamu--" liriknya sekilas ke arahku yang melongo kaget tidak percaya dengan apa yang sedang dibacakannya. "kamu memberi les tambahan untuk anak sekolahan dengan ngajar mapel matematika. Selain itu kamu membantu teman kampusmu mengerjakan tugas kuliah mereka dengan imbalan uang. Saat ini kamu mengambil cuti kuliah setahun karena fokus bekerja sambil merawat ibumu yang sakit-sakitan. Ibumu harus menjalani operasi untuk--"
"Tunggu! K--kamu siapa? Kenapa memata-mataiku?" selaku tergagap menunjuknya. Aku ingin bangkit tapi bahuku ditekan seseorang yang berdiri di belakangku, memaksaku untuk tetap duduk.
"Namaku Alisa Subagyo. Menantu pertama dari keluarga Bara Wijaya," jawabnya menegakkan badan dan menatapku tajam.
"Aku tahu kesusahanmu dan ingin membantu," lanjutnya lagi.
Kepalaku menggeleng isyarat tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang lebih diinginkannya dariku.
"Jangan takut, aku bukan orang jahat. Ibumu harus segera dioperasi dan kamu butuh biaya bukan?"
Ingin membantah, tapi refleks kepalaku mengangguk lemah.
Wanita yang tampak cantik meski dengan polesan make up tipis ini tersenyum simpul. "Aku punya solusinya. Kamu tinggal ikuti dan semua beres. Ibumu dapat diselamatkan dan kamu tidak perlu susah payah lagi bekerja." Kembali ia memundurkan punggungnya bersandar. Kali ini diikuti dengan melipat kedua tangannya di dada.
"Pekerjaan seperti apa hingga aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?" lirikku ke arah dua koper yang berisi uang. Aku mulai tertarik.
Alisa menyunggingkan senyum.
"Kalian pergilah! Tunggu di depan," titahnya pada dua lelaki tegap mengenakan jas hitam yang sama. Entah kenapa restoran--tempat pertemuan paksa ini sepi. Hanya kami saja pengunjungnya. Seolah memang di-setting demikian.
"Oke, akan kujelaskan. Jadi pekerjaannya sangat mudah. Kamu dikontrak sekitar sembilan bulanan. Difasilitasi rumah, dua asisten rumah tangga, tabungan dengan tiap bulannya akan ditransfer ke rekeningmu, dan itu dipisah dari yang 1 M itu ya," liriknya ke arah dua koper dihadapanku. "Anggap tiap bulan kamu digaji, dan semua kebutuhanmu pun akan diurus dengan baik." Aku tercengang mendengarnya. Pekerjaan apa hingga diberikan dengan fasilitas selengkap itu? Apa jangan-jangan berhubungan dengan narkoba?
"Apa pekerjaannya?" ulangku bertanya seraya meraih gelas minuman yang berada di hadapanku. Tetiba kerongkongan terasa kering, rasa haus menderaku.
"Memberikan kami anak."
Aku menyemburkan minuman yang baru saja kuteguk saking terkejutnya.
"Maaf." Dengan cepat kuambil tisu yang terletak di atas meja, mencoba mengelap badan Alisa yang terkena semburanku.
Alisa menepis tanganku. Ia meraih tisu dan mengelapnya sendiri. "Aku butuh orang untuk memberikan kami anak."
"Anak? Kenapa mintanya ke saya? Maksudnya kamu mau mengadopsi anak saya, begitu? tapi maaf saya nggak punya anak dan belum menikah," ujarku menjelaskan.
Wanita di depanku ini tertawa kecil.
"Kami di sini maksudnya aku dan suamiku. Kami sudah menikah hampir sepuluh tahun, dan selama itu juga kami belum diberikan momongan." Alisa mulai bercerita. Ia menjeda ucapannya, menarik napas sejenak.
"Ada masalah di rahimku, dan kedua keluarga besar kami tidak ada yang tahu. Kami menyembunyikannya dari mereka. Suamiku sendiri tidak mempermasalahkannya. Dia sangat mencintaiku, sampai rela tidak mempunyai anak seumur hidupnya." Di bagian ini Alisa tersenyum getir.
"Aku tahu pemikiranmu tentangnya, pasti ucapannya terdengar gombal, tapi aku percaya. Aku mengenalnya sangat baik karena kami teman sejak kecil. Kedua keluarga kami juga bersahabat baik. Sudahlah, skip yang itu. Kembali ke pembahasan kita. Intinya aku menyewa rahimmu untuk melahirkan penerus keluarga Bara Wijaya. Bagaimana, bersedia?" tawarnya padaku.
"Aku tidak bisa," jawabku menolaknya sedikit ragu.
Alisa mengerutkan dahinya. "Yakin menolak? Ini 500 juta loh? Ibumu harus dioperasi besok, sudah dapat uangnya?" Alisa bertanya seraya mengetuk-ketukan tangannya di atas koper uang tersebut. Tawarannya memang menggiurkan, tapi … apa harus dengan cara ini?
"Kenapa tidak adopsi anak saja? Yang legal, kan banyak," tanyaku memberi solusi.
"Tidak. Penerus Bara Wijaya harus mengalir darah Arik--suamiku, bukan anak orang lain," tegasnya.
"Bagaimana? kesempatan tidak datang dua kali dan waktuku tidak banyak." Alisa melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, ia kembali menekanku.
"Kalau setuju artinya aku harus menikah dulu dengan suamimu itu?" Aku kembali bertanya.
Alisa menggeleng. "Kurasa cukup tidur dengannya semalam atau beberapa malam sampai kamu dinyatakan hamil, jadi tidak ada pernikahan. Aku tidak ingin berbagi suami." Alisa menjawab dengan penuh penegasan kalau suaminya adalah miliknya.
Aku menatapnya lekat. Mencoba mencari sisi religiusnya. Tidak ketemu. Sulit memindai seseorang dari penampilannya.
"Maaf. Aku tidak bisa. Dalam agamaku berzina itu dosa besar, dan aku tidak ingin menambah dosaku lagi," jawabku berani menolak tawarannya. Kurasa Tuhan pasti punya jalan lain selain tawaran yang penuh dosa ini.
Alisa menatapku tajam. Dapat kulihat ketidaksukaan dari mimik wajahnya atas penolakanku barusan. Kuharap sindiranku tepat sasaran. Namun tidak berlangsung lama, ia tersenyum kembali seolah ucapanku barusan tiada artinya.
"Ini kartu namaku. Hubungi nomor ini kalau kamu berubah pikiran. Aku memberimu kesempatan kedua." Alisa bangkit, beranjak dari duduknya dan meninggalkanku dengan selembar kartu nama.
Aku ingin menolak, tapi entah kenapa ada sesuatu yang melarangku. Kusandarkan punggung ke sandaran kursi, membuang napas berat berharap keputusanku sudah tepat.
wanita aneh, kenapa harus memilihku? kusambar kartu namanya dan memasukkannya ke saku celana.
Baru saja keluar dari restoran tersebut, ponselku berdering.
Varel, telepon dari adikku.
"Ya, Varel ada apa?" Kujawab cepat karena perasaanku tidak enak.
"Mbak dimana? Ibu muntah darah lagi, Mbak. Dokter cari Mbak. Katanya operasi Ibu harus dilakukan malam ini juga."
"A--apa Rel? Malam ini?" tanyaku memastikan. Siapa tahu barusan aku salah dengar.
"Iya, Mbak. Kata dokter begitu."
"Mbak? Mbak masih disitu kan?"
Aku tergugu merosot ke bawah dengan tangan bergetar masih memegang ponsel. Lututku lemas seketika tak berdaya mendengar penuturan adikku--Varel. Kalau malam ini Ibu dioperasi, lantas dari mana kudapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?
Pasrah"Tunggu, Mbak segera ke sana," jawabku setelah beberapa detik terdiam. Aku beranjak bangun dari posisi terduduk dan bergegas mencari taksi.***"Mbak," seru Varel yang melihatku datang dengan tergesa-gesa."Ibu bagaimana?" tanyaku khawatir."Ibu tidak sadarkan diri. Ibu harus dioperasi malam ini, kalau tidak …." Varel terdiam. Tampak kesedihan menyelimuti wajah tampannya."Kamu tenang saja. Malam ini Ibu pasti dioperasi.""Mbak sudah dapat uangnya?"Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadapnya, menganggukkan kepala seraya mengulas senyum tipis. "Ini Mbak mau menemui dokter Budi sekalian ke bagian administrasi. Tolong jaga Ibu sebentar," jawabku menenan
Kesepakatan TerjadiHening sejenak karena aku terdiam membisu sambil berpikir keras, bagaimana bisa sebuah gender ditentukan oleh manusia itu sendiri? Kekuatan apa yang kupunya untuk bisa memastikan kalau anak yang bakal kukandung nanti adalah berjenis laki-laki? Ternyata mudah sekali orang kaya memaksakan kehendaknya pada orang lemah sepertiku ini."Bukankah itu hak prerogatif Tuhan, kenapa--""Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Itu seperti mengadu nasib. Simpel saja, kalau diatas merestui, maka kamu aman. Namun sebaliknya kalau apa yang kamu berikan tidak sesuai dengan yang kuinginkan, maka … terima juga akibatnya. Terserah kalau kamu anggap aku jahat, tapi bukankah itu setimpal dengan apa yang sudah kukeluarkan?"Aku hanya mampu menghela napas. Belum apa-apa sudah merasakan beban yang sangat berat. Mundur pun
Perkenalan"Hei! Jangan ngelamun. Kamu lagi mikirin suamiku?" Tepukan keras Alisa di bahuku, cukup mengagetkan. Aku sampai melebarkan mata mendengarnya menebak dengan tepat."Tidak! Aku baru ingat kalau lupa bawa baju kemari. Maaf," ujarku mengubah topik dan memang benar kalau telah lupa membawa pakaianku ke sini. Aku datang dengan tangan kosong. Bahkan tidak tahu bakal dibawa kemari dan langsung tinggal di rumah ini. Kukira cuma bertemu begitu saja dengan Alisa, seperti di restoran waktu itu."Soal pakaian, kamu tenang saja. Semua sudah tersedia. Kamu tinggal pilih. Nanti Neni yang akan mengantarkanmu ke kamar.""Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.Neni? Apakah dia itu perempuan yang mengantarkanku ke ruangan ini?"Ini kamu pegang
Lelaki yang KubenciAku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena pe
Dibawa ke hotel"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima."Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil."Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.