Ditinggal Pergi
"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.
Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit.
"Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat.
"Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.
Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.
Matanya mendelik tajam. Lalu berjalan menjauh menuju kamar mandi.
"Ingat! Beli yang ketutup, kalau perlu dengan hijabnya," katanya lagi sebelum berlalu masuk kamar mandi.
Aku melongo dengan alis yang saling bertaut.
Apa maksudnya? Lagipula kemana aku membelinya? Apa dia mengizinkanku keluar dari hotel ini?
***
"Cari apa?" Aku menghentikan pergerakanku mencari sesuatu, dan menoleh ke sumber suara.
"A--aku," ucapku tergagap melihat penampilan Pak Arik yang sudah mengenakan pakaian. Ia terlihat mempesona meski hanya mengenakan pakaian santai.
Pantas Yasmin dulu tergila-gila pada lelaki ini. Semakin berumur kuakui ia semakin tampan.
"Sudah dibeli?" tanyanya lagi setelah memangkas jarak.
"Gimana caraku beli? Masa aku turun dengan pakaian ini?" Balasku menyoroti pakaianku sendiri. Untung aku cepat sadar dan mengendalikan diri agar tidak terhanyut dalam pesonanya.
"Kan bisa lewat hape, beli online. Otak pintar itu dipake, jangan dianggurin. Pasti kamu tidak akan terjebak di sini bersamaku," ejeknya dengan menempelkan telunjuknya ke dahiku.
Aku mencebik.
"Hapeku disita istrimu, bagaimana bisa aku memesannya lewat sana." Tidak tinggal diam, kubalas ucapannya.
Pak Arik menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghampiriku kembali.
"Kenapa menerima tawaran istriku?" Lelaki di hadapanku duduk seraya menyugar rambut basahnya.
"Kenapa bertanya lagi. Apa istrimu tidak memberitahukan alasanku?" Aku berbalik bertanya padanya.
Pak Arik membuang napas kasar seraya memalingkan wajahnya.
"Alisa ingin sekali memiliki anak. Padahal aku sudah bilang kalau aku akan menerimanya, apa adanya. Namun dia menyangkal. Katanya hidup tanpa anak bagai sayur tanpa garam, hambar. Ia juga takut kalau aku bermain dibelakangnya lalu menghasilkan anak di luar nikah. Paling parah katanya aku menikahi wanita lain diam-diam tanpa sepengetahuannya, karena itulah ia mencarikan sendiri wanita itu untukku. Yaitu, kamu. Apalagi keluargaku sedikit me--"
"Apa?" tanyaku penasaran karena Pak Arik menghentikan kalimatnya tiba-tiba.
"Ini hapeku, pakai saja. Pesan pakaian sesuka hatimu." Pak Arik mengubah topik pembicaraan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan memberikannya padaku. Lelaki yang baru beberapa menit yang lalu sah menjadi suamiku itu beranjak pergi keluar kamar. Meninggalkan aku yang terbengong mendengar ceritanya yang setengah jalan, ditambah ponselnya yang berada di tanganku.
"Sial," umpatku pelan saat tahu ponselnya terkunci.
"Ngasih hape tapi nggak bisa dibuka begini sama aja bohong. Mana kutahu apa passwordnya." Aku ngedumel seraya melempar ponselnya ke atas tempat tidur.
Merasa sudah kegerahan dengan pakaian pengantin, kuputuskan lagi mencari sesuatu sebagai pakaian ganti. Kubuka kembali lemari pakaianku, menatap isinya sekilas, lalu menutup pintunya kembali sambil bergidik ngeri. Aku tidak akan mengenakan baju kurang bahan tersebut, apalagi dengan modelnya yang bisa diterawang. Baru kali ini melihat secara langsung pakaian yang bernama lingerie, dan rasanya menggelikan harus mengenakan pakaian tersebut di hadapan Pak Arik. Alisa ternyata benar-benar menginginkan aku secepatnya berhubungan badan dengan suaminya, supaya dapat membuahkan janin di perutku. Segitu ngototnya kah ia ingin punya anak?
"Sudah?"
"Astagfirullah," ucapku terkejut mendengar suara Pak Arik. Lagi-lagi lelaki dingin ini mengangetkanku.
"Apa kamu berniat ingin mengenakan pakaian itu?" Baru saja kulihat Pak Arik berdiri di depan pintu, sekarang ia sudah berada di hadapanku.
"Tidak!" jawabku cepat dengan menggelengkan kepala.
"Lalu?" Lelaki di hadapanku ini bersedekap, menyelidik.
"Hape Bapak terkunci. Bagaimana saya bisa menggunakannya," ungkapku memelas. Kusodorkan ponsel itu ke arahnya.
"Oh, iya. Maaf. Ini, pakai yang ini saja." Pak Arik mengeluarkan ponsel satunya lagi.
Aku mengambil ponsel yang ia berikan.
"D******d dulu aplikasi belanja onlinenya, karena aku tidak pernah menggunakan aplikasi itu. Biasanya Alisa dan itu juga dari ponselnya," Pak Arik berujar kembali.
Aku menurut dan mendownload aplikasi belanja yang sering kugunakan.
"Bolehkah juga aku memesan peralatan sholat? Karena mukenaku tertinggal di rumah." Sedikit ragu kuutarakan hal tersebut.
Pak Arik menatapku dengan mengernyitkan alisnya. Ia seperti terheran mendengar pertanyaanku. "Terserah. Kamu bisa pesan apapun yang kamu inginkan," jawabnya kemudian.
"Aku keluar sebentar, tidurlah lebih dulu, tidak perlu menungguku. Soal malam ini kamu kubebaskan." Pak Arik pergi setelah mengatakan hal tersebut.
Dibebaskan? Aku tersenyum bahagia. Apa maksudnya malam ini Pak Arik tidak akan menyentuhku? Semoga.
***
Pakaian yang kupesan telah datang. Aku segera berganti pakaian dan bebersih di kamar mandi. Tidak lupa menjalankan ibadah sholat. Kewajiban satu ini tidak boleh kuabaikan. Meskipun tidak tahu apakah dosaku nanti akan diampuni oleh-Nya, atau tidak. Setidaknya aku tidak ingin jadi hamba-Nya yang lalai.
Pak Arik memang telah pergi, entah kemana. Aku tidak ingin pusing memikirkan. Bahkan ada baiknya ia tidak kembali dan membiarkanku sendirian di hotel ini. Ia tidak terlihat di dalam kamar hotel ini setelah kujelajahi satu per satu setiap ruangan yang ada di dalamnya. Mungkin ini yang namanya kamar presidential suite. Isinya mirip seperti yang ada di rumah dengan perabotan yang lengkap dan super mewah, dan ini untuk pertama kalinya aku menginap di hotel bintang lima.
Meski Pak Arik bilang tidak akan menyentuhku, tetap saja aku perlu kewaspadaan. Aku pun belum siap untuk melakukan hal tersebut dengannya. Mungkin butuh waktu dulu, agar kami bisa saling beradaptasi.
Mumpung Pak Arik belum pulang, kubuat pembatas di tengah-tengah atas kasur dengan meletakkan dua bantal di sana. Jadi, kalau Pak Arik masuk dan melihatnya, maka ia akan teringat dengan perkataannya sebelumnya kalau ia tidak akan menyentuhku malam ini.
Rasanya sedikit lega karena bisa bernapas sejenak setelah sebelumnya cukup tegang.
Aku yang sudah bersiap tidur dengan memejamkan mata, mengerjap kembali setelah terdengar nada dering ponsel yang berada di atas nakas, dan ponsel itu milik Pak Arik. Penasaran, kuintip karena ingin tahu nada apa itu. Sepertinya bukan panggilan masuk, tapi nada pesan, karena ada gelembung pesan tampil di depan layar ponsel.
Dari Alisa.
Tidak ada romantisnya, masa' nama kontak untuk istrinya hanya nama saja, bukan ditulis istri atau nama kesayangan seperti pasangan suami-istri lainnya.
[Rik, malam ini kalian harus melakukannya, ingat perjanjian kita.]
Aku tercengang membaca isi pesannya. Keningku sampai mengkerut saat membacanya.
Apa maksud dari pesan Alisa? Perjanjian apa yang ia buat dengan suaminya sendiri? Apa ada hubungannya denganku?
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
"Sudah lama tidak melihatmu di cafe. Aku rindu."Astaga, apa yang dikatakannya? Aku sekilas menatap ke arah Alisa yang membalasku dengan tatapan penuh tanya, lalu kutundukkan wajah yang terasa terbakar dengan jemari yang sedingin es. Aku malu, gugup, semua jadi satu. Semoga Alisa tidak berpikir macam-macam dengan apa yang barusan dikatakan oleh Axel.Lelaki yang masih berdiri di depanku ini malah tersenyum semringah tanpa beban setelah mengatakan hal tersebut. Menyebalkan.***Alisa membawa kami ke ruangannya. Aku tahu dia ingin menginterogasi kami. Aku terpaksa duduk di sebelah Axel yang berhadapan dengan Alisa."Ini, minumlah. Jangan terlalu sering menunduk, itu menyulitkanku untuk melihat wajah cantikmu."Astaga! Apa lagi ini? Tanpa malu ia menggodaku di hadapan A
"Arik itu suamiku, Lun. Wajahnya tidak jauh beda dengan Axel. Nanti kukenalkan padanya." Alisa menimpali."Oh, i--iya," jawabku seraya memijit pelipis mata, terasa pusing mengetahui mereka di lingkaran yang sama.kakak-adik."Xel, jauhi Luna. Dia temanku.""Kok gitu, Kak. Aku serius Kak, dengannya. Seharusnya didukung. Aku hampir stres mencari keberadaannya saat mengetahui dia berhenti bekerja di cafe. Aku seperti kehilangan separuh napasku."Aku masih menundukkan wajah ke bawah. Bukan karena kaget mendengar pernyataan Axel, tapi karena sudah keseringan mendengarnya bicara gombal dan selebay itu. Aku tahu lelaki di sebelahku ini tidak mengindahkan sama sekali pandangannya dariku. Dia selalu agresif. Bahkan dulu pernah bilang ingin menemui ibuku dan datang melamar ke rumah. Untunglah ha
Aku menatap langit-langit dengan degupan jantung yang bertalu. Suaranya terdengar sampai ke gendang telinga karena keheningan yang menyergap kami berdua. Aku sampai tak berani menoleh ke sebelah, ke arah laki-laki yang merupakan suamiku sendiri."Kenapa belum tidur? Ada yang kamu pikirkan?" Aku terkejut saat mendengarnya bertanya padaku. Apa ia memperhatikanku? Refleks kepala ini menoleh ke arahnya. Seketika kami saling tatap. Sepertinya wajah Pak Arik lebih dulu menghadap ke arahku. Ada debaran yang tidak bisa dijelaskan saat kedua netra saling bertemu. Semakin dalam aku menatapnya, semakin besar debaran itu kurasakan.Aku yang tidak sanggup berlama-lama menatapnya, memilih memalingkan wajah."Kak Alisa tidak menginap di sini, apa Bapak tidak tahu?" Dengan berani aku bertanya, karena hal itulah yang saat ini sedang mengganjal di benakku. Membuatku sulit memejamkan mata. Ke
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.