"Ehm … tanda itu--"
"Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.
Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.
***
"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes karena kami akan segera pulang ke rumah saat ini juga. Yaitu ke rumah yang disediakan Alisa untukku tinggal sementara ini.
Sorot matanya mengarah ke pakaian yang saat ini kukenakan.
"Oh, ini … beli Kak," jawabku ragu.
"Saya lupa bawa pakaian ke sini dan--"
"Dan itu memang disengaja," sela Alisa membuatku terdiam dan menatapnya penuh keheranan.
Alisa menyeringai.
"Aku sengaja membawamu kesini buat menikah, dan sengaja pula tidak memberitahukannya padamu. Aku yakin kamu pasti akan bertanya panjang lebar, dan aku malas menjawabnya." Alisa berjalan menuju sudut kamar.
"Malam tadi tidak terjadi apapun 'kan diantara kalian berdua?" tanya Alisa yang berdiri di depan lemari pakaian. Ia membukanya dan menyorot tatapannya ke dalam lemari tersebut dengan menaikkan satu alisnya.
Aku tidak bisa berkutik karena tebakannya benar. Itu pasti karena jumlah pakaian kurang bahan yang ada di dalamnya tersebut masih lengkap. satupun tidak keluar, dan masih tergantung rapi di sana. Seharusnya kuambil satu dan meletakkannya asal saja, seolah pernah dipakai. Lagipula aku tidak menyangka Alisa akan datang sepagi ini. Sedari awal ia datang, juga sudah menelisik penampilanku. Mungkin memastikan penampilanku ini apakah ada yang perubahan atau tidak setelah melewati malam yang sering disebut orang, malam pertama. Nyatanya tidak.
"Kamu tidak bermaksud ingin menjadi nyonya Arik seutuhnya kan?" Tuduhannya membuatku melongo.
"Apa?" jawabku menautkan kedua alis.
"Kalau tidak ingin dituduh begitu, maka cepat selesaikan tugasmu. Tidurlah dengan suamiku dan berikan kami anak."
"Setelah itu, urusan kita selesai," lanjutnya menatapku galak.
Tidak semudah itu Bu Alisa terhormat. Aku bukan pelacur yang bisa "main" cepat dengan lelaki manapun. Aku punya hati dan rasa, dan aku mengandalkan keduanya untuk melakukan hubungan tersebut. Lagipula aku belum pernah melakukan yang begituan seumur hidupku. Jadi tolong maklumi dan beri aku waktu.
Sayang perkataan itu hanya mampu kurangkai dalam hati, tapi tidak mampu terungkap lewat lisan.
"Maaf, malam tadi aku kelelahan, dan tidur lebih awal. Mungkin karena itulah Pak Arik--"
"Jangan panggil Pak Arik, dia bukan atasanmu, tapi suamimu saat ini. Panggil saja namanya seperti aku memanggilnya."
"I--iya," jawabku. Semoga Alisa tidak marah kalau dia tahu aku sudah memanggil suaminya dengan panggilan mas, bukan nama seperti yang ia sebut.
"Ya, aku ada meneleponnya tadi malam dan ia menyelamatkanmu dengan berbohong padaku."
Jadi benar tebakanku kalau yang dibahas mereka malam tadi soal itu.
"Kamu ingin cepat terbebas bukan dari perjanjian ini?" Alisa menatapku, dan kujawab dengan anggukkan kepala.
"Karena itulah jangan pernah menunda hubungan tersebut."
"Bagaimana? Sudah beres?" Pak Arik menyela pembicaraan kami. Ia sudah berdiri di depan pintu, dan menatapku dan istrinya secara bergantian. Lagi-lagi kedatangan Pak Arik menyelamatkanku dari omelan istrinya. Aku tidak tahu apakah ia mendengar pembicaraan kami atau tidak.
"Sudah. Tidak banyak yang dibawa Luna," tatap Alisa padaku. "Ayo kita pulang!" Alisa menghampiri suaminya dan menggandengnya keluar dari kamar ini. Pak Arik hanya menatapku sebentar, sebelum meninggalkanku sendiri.
***
Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata seolah tertidur. Pak Arik yang menyetir mobil, ditemani Alisa yang duduk di sampingnya. Perjalanan dari hotel ke rumah kuperkirakan memerlukan waktu sejam. Mungkin mereka membawaku dan memilih hotel tersebut untuk menjaga kerahasiaan pernikahan ini dari orang luar.
"Aku berangkat kerja dulu ya," pamit Pak Arik setelah mengantarkan kami sampai depan rumah. Ia mengecup mesra kening istrinya di depan mataku. Tidak ingin menyaksikan kemesraan suami-istri tersebut, aku bergegas membuka pintunya dan berniat turun dari mobil.
"Tunggu Lun, kamu tidak ingin berpamitan juga dengan suamimu?" Alisa melemparkan pertanyaan yang mengagetkanku.
"Hah?" seruku terhenti menarik handle pintu mobil.
Berpamitan? Memangnya aku harus pamit bagaimana?
"Rik, cium juga kening istrimu itu biar adil. Kan sekarang istrimu tidak hanya aku, tapi ada juga Luna," tukasnya melihatku cuma diam. Aku sampai membulatkan mata, melongo karena kaget mendengar pernyataan Alisa barusan. Aneh, aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Alisa tidak konsisten dalam bersikap. Di satu sisi ia tadi marah dan menuduhku ingin merebut suaminya, dan di sisi lain, ia yang mendorongku dan Pak Arik untuk lebih dekat seolah mengizinkan kami untuk selayaknya menjadi suami-istri sungguhan.
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
"Sudah lama tidak melihatmu di cafe. Aku rindu."Astaga, apa yang dikatakannya? Aku sekilas menatap ke arah Alisa yang membalasku dengan tatapan penuh tanya, lalu kutundukkan wajah yang terasa terbakar dengan jemari yang sedingin es. Aku malu, gugup, semua jadi satu. Semoga Alisa tidak berpikir macam-macam dengan apa yang barusan dikatakan oleh Axel.Lelaki yang masih berdiri di depanku ini malah tersenyum semringah tanpa beban setelah mengatakan hal tersebut. Menyebalkan.***Alisa membawa kami ke ruangannya. Aku tahu dia ingin menginterogasi kami. Aku terpaksa duduk di sebelah Axel yang berhadapan dengan Alisa."Ini, minumlah. Jangan terlalu sering menunduk, itu menyulitkanku untuk melihat wajah cantikmu."Astaga! Apa lagi ini? Tanpa malu ia menggodaku di hadapan A
"Arik itu suamiku, Lun. Wajahnya tidak jauh beda dengan Axel. Nanti kukenalkan padanya." Alisa menimpali."Oh, i--iya," jawabku seraya memijit pelipis mata, terasa pusing mengetahui mereka di lingkaran yang sama.kakak-adik."Xel, jauhi Luna. Dia temanku.""Kok gitu, Kak. Aku serius Kak, dengannya. Seharusnya didukung. Aku hampir stres mencari keberadaannya saat mengetahui dia berhenti bekerja di cafe. Aku seperti kehilangan separuh napasku."Aku masih menundukkan wajah ke bawah. Bukan karena kaget mendengar pernyataan Axel, tapi karena sudah keseringan mendengarnya bicara gombal dan selebay itu. Aku tahu lelaki di sebelahku ini tidak mengindahkan sama sekali pandangannya dariku. Dia selalu agresif. Bahkan dulu pernah bilang ingin menemui ibuku dan datang melamar ke rumah. Untunglah ha
Aku menatap langit-langit dengan degupan jantung yang bertalu. Suaranya terdengar sampai ke gendang telinga karena keheningan yang menyergap kami berdua. Aku sampai tak berani menoleh ke sebelah, ke arah laki-laki yang merupakan suamiku sendiri."Kenapa belum tidur? Ada yang kamu pikirkan?" Aku terkejut saat mendengarnya bertanya padaku. Apa ia memperhatikanku? Refleks kepala ini menoleh ke arahnya. Seketika kami saling tatap. Sepertinya wajah Pak Arik lebih dulu menghadap ke arahku. Ada debaran yang tidak bisa dijelaskan saat kedua netra saling bertemu. Semakin dalam aku menatapnya, semakin besar debaran itu kurasakan.Aku yang tidak sanggup berlama-lama menatapnya, memilih memalingkan wajah."Kak Alisa tidak menginap di sini, apa Bapak tidak tahu?" Dengan berani aku bertanya, karena hal itulah yang saat ini sedang mengganjal di benakku. Membuatku sulit memejamkan mata. Ke
Aku mendesah, menghela napas berat. "Bukankah aku istrimu yang sah juga secara agama? Setidaknya perlakukanku seperti itu, jangan meninggalkanku setelah kita melewati malam kita. Aku …." Kutundukkan wajah mencoba menutupi mata yang mulai berkaca-kaca."aku merasa seperti seorang p*l*c*r yang dihempaskan setelah usai diteguk madunya." Sekuat tenaga kata itu berhasil kuucapkan. Kugigit bibir menahan getir di hati.Pak Arik mendekat. Ia menunduk mensejajarkan tingginya dan mencondongkan tubuhnya ke arahku."Bukankah kamu yang memilih diperlakukan seperti itu? Aku hanya mengabulkan keinginanmu, membantumu secepatnya menyelesaikan pekerjaanmu, lalu kamu bisa pulang dengan membawa uang satu milyar tersebut."Deg. Mataku melebar mendengar penuturannya. Ada yang berdenyut nyeri tapi tidak berdarah. Sehina itukah ak
"Iya, Neni ada apa?" tanyaku setelah wajahnya menyembul di balik pintu yang kubuka."Bapak menunggu Nyonya di depan." Kubuka pintu lebih lebar."Di depan? Apa katanya?"Neni menggeleng. "Sepertinya Bapak ingin mengajak Nyonya pergi. Beliau juga meminta saya menyampaikan pada Nyonya untuk berganti pakaian."Pergi? Dia mau mengajakku kemana?"Nyonya Luna.""Ya," sahutku terkejut mendengar panggilannya di selaku berpikir."Biar saya membantu Nyonya berpakaian, boleh saya masuk?""Oh begitu, i--iya silakan." Aku mempersilakannya masuk ke dalam kamar karena memang itu yang saat ini kubutuhkan.Neni membuka lemari
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.