Aku mendesah, menghela napas berat. "Bukankah aku istrimu yang sah juga secara agama? Setidaknya perlakukanku seperti itu, jangan meninggalkanku setelah kita melewati malam kita. Aku …." Kutundukkan wajah mencoba menutupi mata yang mulai berkaca-kaca.
"aku merasa seperti seorang p*l*c*r yang dihempaskan setelah usai diteguk madunya." Sekuat tenaga kata itu berhasil kuucapkan. Kugigit bibir menahan getir di hati.
Pak Arik mendekat. Ia menunduk mensejajarkan tingginya dan mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Bukankah kamu yang memilih diperlakukan seperti itu? Aku hanya mengabulkan keinginanmu, membantumu secepatnya menyelesaikan pekerjaanmu, lalu kamu bisa pulang dengan membawa uang satu milyar tersebut."
Deg. Mataku melebar mendengar penuturannya. Ada yang berdenyut nyeri tapi tidak berdarah. Sehina itukah ak
"Iya, Neni ada apa?" tanyaku setelah wajahnya menyembul di balik pintu yang kubuka."Bapak menunggu Nyonya di depan." Kubuka pintu lebih lebar."Di depan? Apa katanya?"Neni menggeleng. "Sepertinya Bapak ingin mengajak Nyonya pergi. Beliau juga meminta saya menyampaikan pada Nyonya untuk berganti pakaian."Pergi? Dia mau mengajakku kemana?"Nyonya Luna.""Ya," sahutku terkejut mendengar panggilannya di selaku berpikir."Biar saya membantu Nyonya berpakaian, boleh saya masuk?""Oh begitu, i--iya silakan." Aku mempersilakannya masuk ke dalam kamar karena memang itu yang saat ini kubutuhkan.Neni membuka lemari
Hold me now, touch me nowI don't want to live without youNothing's gonna change my love for youYou oughta know by now how much I love youOne thing you can be sure ofI'll never ask for more than your loveAku yang menghadap ke samping menoleh ke sumber suara yang mengalunkan lagu cinta."Tidurlah. Se-jam lagi sampainya."Pak Arik rupanya yang menyetel lagu tersebut di tape audio mobilnya. Ternyata laki-laki cuek dan dingin ini mellow juga.Aku mengikuti sarannya dengan memejamkan mata. Siapa tahu mau tertidur. Berdua di dalam mobil tanpa ada yang bicara memang sangat membosankan.Deg. Apa ini? Kurasakan sentuhan di kepalaku. Pak Arik mengusap lembut kepalaku beberapa kali. Sayang aku tidak dapat menangkap basah perbuatannya ini. Tanpa dia sadari, perbuatannya ini telah
"Kenapa kalian? Ada yang lucu? Apa ucapanku salah?" Raut wajah Pak Arik berubah tegang. Dia marah?Seketika Alisa menghentikan tawanya. "Ini sudah mepet Rik, mana mungkin kita nyuruh Luna ganti baju lagi. Kita bakal telat. Lagipula kenapa kamu tidak suka? Kamu kayaknya lebih memperhatikan Luna daripada aku? Padahal pakaian kami kurang lebih hampir sama loh. Kamu nggak komplain dengan pakaianku ini?"Aku lantas memperhatikan penampilan Alisa. Cantik. Kalau diperhatikan, pakaiannya mirip dengan dres yang pertama kali disodorkan Melani untukku. Dres pilihan Alisa yang disuruh ganti oleh Pak Arik. Jadi sebenarnya Alisa memilihkan pakaianku kembaran dengannya. Hanya warna dan detail payetnya saja yang berbeda. Pantas Alisa bertanya begitu."Beda, Lis. Hm … Luna tidak suka sama pakaiannya. Lagipula kenapa kamu belikan Luna pakaian yang modelnya sama semua, terlalu kebuka."
"calon adik iparmu, Mas." Celetukan Axel membuatku membelalakkan mata. Begitu juga raut wajah Pak Arik ikut berubah. Dia menatapku tajam seolah meminta penjelasan lewat sorot matanya."Alisa!" Panggilan seseorang yang melambaikan tangan ke arah kami memaksaku dan lainnya ikut menoleh ke arah tersebut."Ibu." Alisa dengan riang membalasnya dengan lambaian tangan."Mas, dipanggil Ibu, kita ke sana," ajak Alisa pada Pak Arik dengan senyum merekah.Pak Arik yang sudah membuka mulutnya tak jadi bicara karena ditatap Alisa."Duduklah di sini, jangan kemana-mana, kami ke sana sebentar," pesannya padaku sebelum beranjak pergi.Syukurlah, panggilan ibunya Alisa mengalihkan perhatian mereka dariku. Aku tak perlu menjelaskan apapun pada lelaki dingin itu.
"Aku duduk di sini ya." Seorang lelaki muda mengenakan setelan jas formal bertanya ke arahku.Aku menggelengkan kepala. "Maaf, ada orangnya, sebentar lagi juga datang," jawabku bohong menatap ke kursi kosong di sebelahku.Laki-laki tersebut bukannya menjauh malah menjatuhkan bokongnya duduk di kursi tersebut. Aku beringsut menggeser kursi menjauh darinya."Maaf, Anda tidak dengar dengan yang barusan saya katakan kalau--""Kalau kursi ini sebenarnya tidak ada pemiliknya. Dari tadi kuperhatikan kursi ini masih kosong, dan tidak ada satu pun ada orang yang duduk di sini. Kamu pasti berbohong."Astaga, dia tahu. Apa dia memperhatikanku?"Maaf, aku hanya ingin duduk sendiri," sahutku jujur."Maaf
Aku duduk tepat menghadap kedua orang tua Pak Arik yang merupakan mertuaku. Ada rasa gugup menjalar membuat kedua telapak tangan basah dan dingin. Tanganku saling bertaut berusaha meredamkan rasa yang menimbulkan degupan kencang. Hawanya jadi terasa panas meski AC sentral telah menyejukkan ruangan ini. Di sampingku sebelah kiri, duduk Axel dan sebelah kanan ada Pak Arik. aku duduk diapit dua kakak-beradik yang menyebalkan. Sedang Alisa memilih duduk di samping ibu mertua dan menatapku dengan awas."Siapa namamu tadi?" Ibu mertua kembali bertanya. Ia tidak berhenti menatapku. Entah kenapa, aku merasa tatapan yang diberikannya adalah tatapan tidak suka. Masih kuingat jelas bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar Axel mengenalkanku sebagai calon istrinya.***"Ini Luna, calon istriku."Semua menata
"Benarkah? Lebih baik perkenalan keluarga dulu, baru memantapkan ke jenjang selanjutnya. Santai saja, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Anggap saja sekarang ini kamu sedang membawa teman dekatmu dan memperkenalkannya ke kita. Kita tidak pernah tahu apakah masih wanita ini yang akan kamu bawa ke hadapan kita lagi atau malah wanita lainnya?" tandas Pak Arik seraya menepuk bahunya Axel dari arah belakang melewati badanku yang duduk di tengah mereka."Mas, aku serius." Axel membantah dan mengulangi ucapannya dengan penekanan kata."Axel, Masmu benar. Kita sudah diperkenalkan dengan calon istrimu ini. Kurasa itu cukup. Untuk pembicaraan serius, nanti saja di rumah. Lagipula kami, terutama Ayah dan Ibu harus tahu lebih dalam siapa calonmu ini." Alisa angkat bicara. Ibu mertua menganggukkan kepala mengiyakan."Aku masih diam bingung harus mengatakan apa. Mereka silih bergan
Badanku terasa melayang, dan hm … aroma ini? wangi sekali. Aku seperti pernah menciumnya…. Kucoba keras membuka kedua mata."Mas Arik …," lirihku setelah berhasil membuka kelopak mata yang berat dan yang terlihat adalah wajahnya yang begitu dekat."Kamu sudah sadar?" tanyanya terkejut.Sadar? Maksudnya? Aku tidak mengerti, tapi aku mengeratkan rangkulan tanganku di lehernya setelah menyadari telah berada dalam gendongannya. Dengan mata terpejam kuhirup tajam aroma maskulin yang menguar dari badannya.Jadi, wangi yang kucium tadi, dari sini? Pantas baunya familiar.Gerak langkahnya semakin cepat hingga akhirnya kurasakan badanku direbahkan dengan sangat pelan di atas tempat tidur."Syukurlah sudah sadar. Kamu membuatku