Perkenalan
"Hei! Jangan ngelamun. Kamu lagi mikirin suamiku?" Tepukan keras Alisa di bahuku, cukup mengagetkan. Aku sampai melebarkan mata mendengarnya menebak dengan tepat.
"Tidak! Aku baru ingat kalau lupa bawa baju kemari. Maaf," ujarku mengubah topik dan memang benar kalau telah lupa membawa pakaianku ke sini. Aku datang dengan tangan kosong. Bahkan tidak tahu bakal dibawa kemari dan langsung tinggal di rumah ini. Kukira cuma bertemu begitu saja dengan Alisa, seperti di restoran waktu itu.
"Soal pakaian, kamu tenang saja. Semua sudah tersedia. Kamu tinggal pilih. Nanti Neni yang akan mengantarkanmu ke kamar."
"Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.
Neni? Apakah dia itu perempuan yang mengantarkanku ke ruangan ini?
"Ini kamu pegang satu, simpan yang baik. Yang satunya lagi untukku." Alisa memberikan satu lembar surat perjanjian tersebut padaku. Ada tiga lembar dan sisanya ia yang pegang.
"Beristirahatlah! Aku juga mau tidur. Kalau ada apa-apa tinggal panggil Neni. Dia yang bertugas mengurus keperluan orang yang ada di rumah ini. Tunggu, biar kupanggilkan dia."
Alisa berjalan ke sudut ruangan dan menelepon seseorang dari telepon rumah yang terletak di atas nakas. Hanya berucap 'datanglah!' maka tidak beberapa lama, perempuan yang dipanggilnya tersebut datang.
"Bawa Luna ke kamarnya dan urus ia dengan baik," titah Alisa pada perempuan muda berusia sekitar 20 tahunan ke atas. perempuan itu menatapku sebentar lalu menganggukkan kepala manut pada perintah majikannya. Kalau tebakanku tidak salah, aku dengannya hanya beda setahun atau dua tahun. Entah siapa yang lebih tua. Kami seperti sepantaran.
"Baik, Nyonya. Mari Nyonya Luna ikuti saya." Alisa mengerjap memintaku mengikuti Neni. Aku manut dan melangkah di belakang perempuan yang mengenakan seragam merah muda tersebut.
"Panggil aku Luna saja, jangan pakai kata nyonya. Aku risih mendengarnya, karena tidak terbiasa," ucapku memulai obrolan. Senyum kusunggingkan menyapanya ramah.
"Maaf Nyonya. Nyonya Alisa sudah memerintahkan begitu, kami tidak berani membantah," jawabnya.
"Nanti juga terbiasa," lanjutnya lagi dengan mengulas senyum tipis.
Apa Neni tahu untuk apa aku tinggal di sini?
"Sepertinya kita sepantaran, karena itulah kuminta panggil nama saja. Ya?" Kucoba membujuknya lagi berharap bisa berteman dengannya, tapi dia menggelengkan kepala.
Aku berdecak dalam hati. Sepertinya yang bekerja di sini sangat patuh pada Alisa.
"Ini kamar Nyonya. Silakan masuk," ujar Neni membukakan pintu sebuah kamar untukku.
Kamar yang besar. Ini seperti tiga kamar di rumahku yang kecil dijadikan satu. Luas sekali.
Neni masih menuntunku dan membawaku ke bagian kiri ruangan. Ada sebuah pintu yang menghubungkanku ke ruangan lainnya, dan itu sepertinya masih di dalam kamar ini.
Neni berhenti tepat di sebuah lemari besar.
"Ini pakaian Nyonya Luna, sudah dipersiapkan dan boleh pilih sesuka hati." Neni membuka lemari besar dua pintu tersebut yang berisi banyak pakaian. Mataku takjub melihat pakaian yang tersedia di sana. Semuanya tampak bagus dipandang mata. Pasti mahal.
Neni juga membuka lemari di sebelahnya yang sudah dapat kutahu apa isinya karena depannya terbuat dari kaca transparan. Banyak tas terpajang di sana.
"Nyonya juga bisa menggunakannya sesuka hati," tunjuknya pada tas yang tersusun rapi di sana.
"Apa ini punya Mbak, eh Kak Alisa?" Aku selalu salah memanggil namanya. Seingatku Alisa memintaku memanggilnya kakak.
Lagi-lagi Neni menggeleng. "Ini khusus disediakan untuk Nyonya Luna. Nyonya Alisa memilikinya sendiri, di kamarnya.
Aku tidak percaya. Ada sekitar sepuluh tas di dalam lemari kaca ini dan semua brand mahal dan terkenal. Kalau ini khusus untukku, maka punya Alisa pasti jauh lebih banyak dari ini. Kalau kupikir mau kemana juga memakai barang branded ini. Bukankah aku bakal terkurung di rumah ini untuk beberapa bulan lamanya.
Neni masih menunjukkan beberapa barang padaku. Aku hanya terpaku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Semuanya kata Neni khusus untukku. Serapi ini persiapan Alisa. Ia seperti yakin aku bakal menerima tawarannya. Apa mungkin dia punya kandidat lainnya andai aku menolak? Entah, aku sudah lelah menebak.
Neni lalu menunjukkan yang lainnya seperti kamar mandi dan perlengkapannya. Tidak ada yang luput dari jangkauan Neni untuk diperlihatkannya padaku.
"Apa ada yang ingin Nyonya tanyakan?" tanyanya melihatku diam saja mengikutinya sedari tadi. Sepertinya semua sudah ia tunjukkan padaku.
"Hm … apa ada perlengkapan sholat?" Pertanyaan itu terlontar karena aku belum melihat benda tersebut dari semua yang ditunjukkan Neni.
"Mukena?" Satu alisnya naik saat bertanya. Aku mengangguk.
"Nyonya mau sholat?" tanyanya lagi dengan mengernyitkan dahi.
"Iya," jawabku mantap karena Neni sepertinya meragukan pertanyaanku.
"Hm … sepertinya tidak ada, eh bukan. Maksudnya belum ada. Nanti saya tanyakan Nyonya Alisa, dulu." Neni seperti kebingungan menjawab pertanyaanku.
"Kalau bisa sekarang ya, atau maaf, apa kamu muslim?" Neni mengangguk pelan.
Aku tersenyum melihatnya. "Pinjam punyamu saja. Itupun kalau boleh."
"Hm … iya, kalau Nyonya tidak keberatan menggunakan bekas saya nanti akan saya ambilkan."
"Oh, nggak pa-pa. Yang penting bersih."
Neni hanya mengangguk dan izin keluar kamar. Aku menghela napas panjang setelah kepergiannya. Merebahkan diri ke kasur empuk dengan ukuran king size. Mungkin aku terlihat munafik, habis mengikat diri ke perjanjian yang dilarang agama, lalu mengingat beribadah seolah ingin menghapus dosa yang barusan kulakukan. Kupikir itu lebih baik daripada mengabaikannya sama sekali. Siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memaafkan semua dosaku.
***
Ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Aku yang sudah menyelesaikan sholat subuh masih mengurung diri di kamar. Bingung harus berbuat buat apa karena tidak ingin bertindak semaunya di rumah yang tampak asing bagiku.
Aku mematut diri di depan cermin menatap wajah dengan kantung mata yang besar. Efek semalaman tidak tidur, ditambah juga menangis meratapi kebodohanku sampai ke rumah ini. Kata menyesal pun sudah tidak ada artinya.
Ketukan pintu terdengar olehku yang berada di dalamnya. Aku bergegas menuju arah suara.
Neni. Dia menyapaku ramah meski wajahnya menampakkan keheranan. Pasti wajahku ini yang dipertanyakannya.
"Bagaimana cara menghilangkannya?" Tunjukku ke arah mata. Neni hanya menghela napas lalu masuk ke dalam kamar lebih dulu. Ia membuka laci meja rias dan mengambil sesuatu dari sana.
"Ini Nyonya. Semoga bisa menyamarkannya," ucapnya sembari mengulurkan sebuah krim padaku.
"Terima kasih," jawabku.
Kulihat Neni berjalan ke arah walking closet. Aku hanya mengedikkan bahu mengabaikan apa yang dilakukannya di sana.
"Tolong Nyonya kenakan ini." Ia datang dengan membawa sebuah dres polos berwarna marun dengan dua kancing di atas dan ada tali belt di pinggangnya.
"Aku bisa milih sendiri," tolakku karena aku tidak suka mengenakan dres. Keseharianku biasanya mengenakan celana panjang.
"Ini perintah Nyonya Alisa." Aku melongo.
Apa semua tentangku harus diatur olehnya? Bahkan sampai ke pakaian apa yang harus kukenakan. Apa itu karena aku sudah menggunakan uangnya atau aku yang secara tidak langsung telah dibelinya? pertanyaan itu terlintas di benakku.
"Kalau kutolak?" tanyaku akhirnya.
"Saya sarankan Nyonya Luna mematuhinya. Kumohon. Kalau Nyonya Luna menolak, maka saya yang bakal kena imbasnya karena saya yang ditugaskan mengurus keperluan Nyonya."
Dengan menghela napas berat, kuterima pasrah pakaian yang bukan seleraku tersebut.
Setelah berganti pakaian, Neni masih berada di kamarku. Ia juga yang mendandaniku dari wajah hingga rambut. Untuk apa? Ini sepertinya terlalu berlebihan.
"Tuan besar akan datang, Nyonya Alisa meminta saya untuk menyiapkan Nyonya Luna secantik mungkin."
Neni tahu betul dengan apa yang ada di benakku. Belum ditanya, ia sudah memberitahukan. Apa semua orang di rumah ini pandai meramal?
***
"Kemarilah Luna. Ayo duduk di sebelahku."
Aku yang baru memasuki ruang makan merasa canggung dengan penampilanku sendiri. Kata Neni, aku cantik. Namun sayangnya aku tidak pede melihat diri sendiri di depan cermin. Apa harus begini penampilanku hanya untuk bertemu calon suami? Pantaskah kusebut laki orang sebagai calon suami? Entah, aku tidak tahu harus bagaimana menyebutnya.
Aku memilih kursi yang berseberangan dengannya.
"Suamiku lagi di toilet, sebentar lagi dia akan duduk."
Sepertinya Alisa mengetahui kebingunganku yang menatap ke piring berisi roti di meja seberangku, di sebelah Alisa, tapi orang yang duduk di sana tidak ada.
Ternyata suami Alisa sudah datang. Jadi yang duduk di seberangku itu dia? Tapi, Kapan datangnya? Aku memang mendengar suara deru mobil pada waktu subuh, tapi sayangnya tidak berani mencari tahu itu mobil yang datang atau pergi.
"Ekhem." Suara dehaman seseorang dari arah belakang, membuatku semakin gugup. Roti yang kumakan ini rasanya sampai tidak enak. Aku yakin itu orangnya. Suami Alisa.
"Sini Sayang kuperkenalkan kamu sama Luna. Orang yang akan melahirkan anak kita." Wajah Alisa berbinar bahagia saat menyambut lelaki tercintanya.
Deg.
Anak kita? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman saat Alisa mengatakan hal tersebut. Rasanya aku ingin sekali pergi dari tempat ini.
Aku juga tidak berani melihat ke depan. Kepala kutundukkan seolah lebih tertarik ke makanan yang berada di piringku. Dapat kulihat dari ekor mataku kalau lelaki tersebut mengenakan jas hitam, stelan pakaian kerja. Dia sudah serapi ini, padahal waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Badannya tegap, dengan suara bariton khas lelaki dewasa. Entah seperti apa wajahnya. Aku belum tahu.
"Luna, lihat ke depan. Ini suamiku. Namanya Atalarik Bara Wijaya. Biasanya dipanggil Arik."
Atalarik Bara Wijaya? Nama itu apakah nama yang sama dengan orang yang kukenal? Tidak, semoga bukan, bisa saja mirip.
Kepala kutegakkan, mendongak ke depan. Mataku sampai membelalak lebar terkejut melihat sosok yang berada di depanku.
Dia? Benar, dia Pak Arik.
Lelaki yang KubenciAku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena pe
Dibawa ke hotel"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima."Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil."Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.