Lelaki yang Kubenci
Aku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.
Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.
Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.
Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena persaingannya lumayan ketat. Bisa sekolah gratis saja tanpa dikenakan biaya sudah bagus dan patut kusyukuri. Setidaknya dapat mengurangi beban ibuku yang merupakan single parents.
Di sanalah awal aku bertemu dengannya. Aku menjulukinya Om songong. Sedang sahabatku--Yasmin menyebutnya Om ganteng. Julukan itu hanya dikalangan kami berdua saja ketika sedang membicarakannya. Kenapa Om songong? Karena sikapnya yang cuek, dingin, serta angkuh yang membuatku tidak menyukainya. Hampir dua kali kejadian, kami saling bertubrukan saat jalan, dan reaksinya cuma menatapku tajam tanpa sebaris kata maaf pun keluar dari mulutnya. Ia seperti memandang remeh ke arahku. Padahal dengan jelas dia juga bersalah. Aku hanya dianggap patung yang nggak sengaja ketabrak olehnya, lalu ditinggal pergi. Mungkin juga karena aku masih anak sekolahan yang dianggapnya masih kecil, hingga yang mudalah yang harusnya minta maaf pada yang tua. Waktu itu umurnya sekitar 34 tahun, wajar kalau kami panggil Om, mengingat perbedaan jauh umur kami.
***
"Sudahlah Lun, cuma lecet dikit, ntar juga ilang bekasnya." Yasmin mencoba menghiburku yang masih cemberut meratapi sikutku yang sedikit lecet, karena bertubrukan dengan Pak Arik.
"Ini sudah kedua kalinya, Yas, aku tabrakan dengan Om songong ituh. Yang pertama okelah, mungkin dia buru-buru apalagi sambil teleponan. Aku memaklumi. Lah, yang ini aku sampai terjengkal jatuh dan dia nggak ada niat bantuin aku berdiri. Bilang maaf pun juga tidak. Aku bukan mempermasalahkan luka ini. Cuma kan dia bisa bilang maaf. Cuma maaf, Yas. Sekedar basa-basi juga, apa susahnya sih," sewotku masih tidak terima.
"Atau setidaknya bilang, 'kamu baik-baik saja? Atau iya, nggak pa-pa' saat aku yang lebih dulu meminta maaf. Ini nggak ada Yas. Dia cuma natap aku sekilas doang, terus pergi. Dua kali Yas, aku digituin. Apa begitu ya sikap orang kaya? Nyebelin."
Yasmin terkekeh mendengar omelanku tentang lelaki tersebut.
"Aku nggak tuh," bantah Yasmin.
"Tapi kamu bukan lagi narik perhatiannya kan? Makanya marah, dicuekin." Yasmin menatapku menyelidik.
"Apa!? Ya,nggak lah. Ih … nggak banget segitunya buat narik perhatian om-om, sambil berdarah begini?" cebikku tak terima.
"Biarpun om-om tapi ganteng loh."
"Bukan tipeku ,Yas. Rupa tanpa attitude yang baik itu nol besar," cecarku mematahkan sanjungan Yasmin pada lelaki tersebut.
Yasmin terkekeh kembali.
"Tapi aku nggak mau ya, bilang kalian jodoh karena sudah dua kali tabrakan. Jangan juga sampai tiga. Katanya kalau sampai tiga kali itu namanya jodoh, dan aku nggak rela," timpalnya sembari menatap serius ke layar ponsel.
"Jodoh sama orang itu? Nggak mungkin. Aku nggak bakalan mau. Nggak pernah juga dengar tuh istilah. Jangan ngadi-ngadi. Lagipula katamu dia udah nikah. Siapa nama keluarganya? Memang sekaya apa sampai kamu merasa minder gituh dan bilang nggak ada apa-apanya."
"Om ganteng itu dari keluarga Bara Wijaya dan istrinya dari keluarga Subagyo. Dua orang dari latar belakang keluarga terpandang dan konglomerat, terus disatukan ya boom-lah, Lun. Tajir melintir. Kekayaan keluargaku saja cuma seujung kukunya. Bahkan tuh, si Angela tidak ada apa-apanya sama mereka." Lirikan mata Yasmin ke arah Angela--teman satu kelas kami yang dikenal paling kaya dibandingkan yang lainnya.
Yasmin sangat menyukai Pak Arik sejak lelaki tersebut datang berkunjung ke sekolah kami. Tidak hanya Yasmin saja yang menggemarinya. Hampir 70 persen siswi di sekolahku waktu itu mengidolakan dan mendambakan beliau. Mereka sangat bersemangat kala sekolah mengadakan event dan Pak Arik datang sebagai tamu agungnya. Selain wajah tampannya, ia juga diketahui merupakan direktur utama di sebuah perusahaan besar, dan seorang pebisnis ulung. Bahkan saat dikenalkan ketua yayasan, banyak prestasi dan usaha bisnis yang disebutkan beliau mengenai Pak Arik. Sedang aku tidak tertarik sama sekali seperti mereka saat tahu attitude-nya yang jelek. Tidak bisa menghargai seseorang hanya karena levelnya berbeda dengannya.
Dari Yasmin juga kutahu dia sudah beristri. Temanku itu getol sekali mencari tahu tentang sosok idolanya. Bahkan sampai masalah kehidupan rumah tangganya Pak Arik dikuliknya habis. Cuma tidak disebutkan apakah dari pernikahannya, ia memiliki anak atau tidak, dan waktu itu aku sama sekali tidak tertarik dengan biodata lelaki tersebut.
***
"Rik, disapa dong Lunanya, masa dicuekin." Alisa mencoba mengakrabkan aku dan suaminya.
"Sudah kenal, namanya Luna kan?" Liriknya menghentikan aktivitas menyuap roti ke mulut.
"Maaf ya Lun, Arik memang orangnya cuek, tapi dia baik kok."
Aku hanya menanggapi ucapan Alisa dengan tersenyum tipis. Memaksakan lengkungan bulan sabit di wajah, meski hati menjerit kesal. Kalau tahu laki-laki ini yang bakal jadi calon suamiku, sudah sedari awal kutolak tawaran Alisa. Mimpi apa sampai bertemu kembali dengan lelaki tersebut setelah dua tahun silam berlalu.
"Jadi rencananya besok kalian nikah, setuju kan Rik? Lebih cepat lebih baik. Aku udah urus semuanya. Kamu tinggal ijab kabul aja." Alisa kembali bersuara. Kali ini membuatku terkaget. Walaupun seharusnya aku sudah siap karena memang itulah alasan kenapa aku bisa di rumah ini.
"Kamu yakin mau nikahin aku sama dia?" Ekor mata Arik mengarah ke diriku. Kubalas menatapnya balik.
Maksudnya? Aku mendelik tajam.
Alisa mengangguk pasti. "Dia kandidat yang kupilih dan aku suka, Rik. Semua sudah di tes dan dia sehat untuk mengandung anakmu, anak kita."
Tes? Aku? Kapan? Aku merasa tidak pernah melakukan tes apapun. Aku bergumam sendiri dalam hati membantah ucapan Alisa pada suaminya.
Keningku mengkerut melihat Alisa membisikkan sesuatu ke suaminya. Entah apa yang dirahasiakan mereka.
"Terserah kamu sajalah. Atur aja sesukamu."
Lipatan di keningku makin bertambah melihat reaksi Pak Arik yang tetiba setuju saja setelah dibisiki istrinya. Semudah itu meluluhkan hati Pak Arik. Pantas Alisa bilang kalau suaminya sangat mencintainya.
"Bapaknya masih hidup?" tanyanya ke Alisa. Aku refleks menatap ke arahnya. Roti yang tinggal satu gigitan tak jadi kumasukan ke mulut.
Padahal pertanyaan itu bisa ditanyakan langsung kepadaku yang duduk di hadapannya. Namun dia lebih memilih bertanya ke Alisa.
Alisa menatapku, aku diam saja pembiarkan Alisa yang menjawab. Aku yakin dia tahu betul tentang diriku.
"Sudah meninggal sejak umur 13 tahun. Kenapa?"
"Kamu sudah urus walinya? Pastikan walinya tanda tangani surat perjanjian. Aku nggak mau jadi masalah dikemudian hari," jawabnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
"Wali? Maksudnya wali hakim? Tenang, itu gampang diatur."
"Bukan sayang, tapi wali nikah, seperti ayah atau saudara kandung. Seperti kita nikah dulu." Pak Arik menggenggam tangan Alisa dengan tersenyum hangat. Aku melengos, tidak ingin melihat kemesraan mereka.
"Memang harus ya? Kan bisa diwakilkan ke wali hakim?"
"Iya, bisa Sayang. Aku lupa bagaimana persyaratannya. Yang jelas kalau masih ada walinya harus dari keluarga itu bukan wali hakim. Pokoknya begitulah, baru sah. Bukankah pernikahan ini terjadi untuk menghindari zina? Kalau nikahnya tidak sah sama saja bohong," balasnya lagi.
"Aku hanya punya adik kandung dan jujur aku nggak mau dia tahu tentang masalah ini, ataupun keluargaku yang lainnya, apa tidak bisa diwakilkan ke wali hakim?" ucapku menyela. Terserah dia mau menganggapku tidak sopan. Aku hanya ingin memperjelas saja. Lagipula dari tadi aku seperti patung dihadapannya, membiarkan mereka bicara berdua seolah aku tidak ada.
Pak Arik tersenyum kecut. "Kalau begitu lebih baik batalkan rencana pernikahan. Tidak ada gunanya."
Aku dan Alisa saling pandang.
Dibatalkan? Aku paling senang mendengar kalimat ini, tapi bagaimana dengan nasib kesepakatan kami? Apakah aku harus mengembalikan semua uang yang sudah digunakan, sedangkan uang untuk mengembalikan saja tidak kumiliki.
Dibawa ke hotel"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima."Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil."Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.