Dibawa ke hotel
"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima.
"Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.
Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi.
"Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil.
"Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.
Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku manut dan mengikuti setiap langkahnya berjalan. Aku tahu kalau hotel sekarang banyak fungsinya, tidak hanya sekedar untuk tempat tidur. Bisa saja dia mengajakku ke sebuah restoran atau aula karena ada acara atau pertemuan, Apalagi ini hotel bintang lima. Namun hatiku membantah, tidak yakin tujuannya itu. Rasanya tidak masuk akal. Pasti ada yang direncanakannya.
Alisa terus berjalan di sepanjang lorong kamar hotel yang sepi. Ini yang kutakutkan, aku sudah berpikir macam-macam. Hal buruk sudah bersemayam di benak, kalau Alisa berniat tidak baik padaku.
"Kak, jelaskan dulu kita mau ngapain ke hotel ini? Apa Kak Alisa ingin menjualku?" tanyaku blak-blakan setelah berhasil menahan langkahnya. Hal itulah yang sedang kupikirkan tentang tujuannya mengajakku kemari. Mungkin ini sebagai balasan karena aku yang tidak bisa mengembalikan uangnya akibat batalnya perjanjian kami.
Keningnya mengernyit.
"Menjualmu?" Ia tersenyum kecut.
"Apa aku kekurangan uang hingga bertindak seperti mucikari? Apa serendah itu aku di matamu?" Mata Alisa melotot menatapku tajam. Gurat kemarahan tampak di wajahnya. Sepertinya ia tersinggung dengan pertanyaanku barusan.
Aku menggelengkan kepala. "Maaf," lirihku merasa bersalah.
"Hentikan pikiran kotor tentangku, di kepalamu ini. Diam dan ikuti saja. Aku tidak sehina itu, Lun," ucapnya berbalik dan melanjutkan langkahnya lagi. Aku pasrah dan mencoba mempercayai ucapannya.
Alisa berhenti di sebuah kamar hotel. Ia mengetuk pintu dan aku berdiri di belakangnya penuh kewaspadaan. Bila dirasa mengancam, aku sudah ancang-ancang akan lari secepat mungkin.
Melihat seorang wanita muda yang membukakan pintu, otot kakiku mengendur tidak setegang sebelumnya.
Ia mengangguk hormat pada Alisa dan membiarkan kami masuk ke dalamnya.
Lewat sorot matanya Alisa memintaku masuk.
Di dalam ada beberapa orang dan aku tidak mengenalnya, dan kamar hotel yang kami masuki ini sangat besar. Di dalamnya ada beberapa ruangan.
"Yu, dandani dia secantik mungkin," titahnya pada wanita yang membukakan pintu tadi.
"Mari Mbak," ajaknya padaku. Aku terheran masih tidak mengerti, tapi tetap mengikuti langkahnya yang membawaku ke sebuah kamar.
"Aku mau diapain?" tanyaku setelah melihat ada dua orang lainnya di dalam kamar tersebut. Salah satunya laki-laki yang bergaya sedikit kemayu. Mereka hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku dan berjalan mendekat. Rasa takutku muncul kembali.
***
"Nah, selesai. Kamu cantik sekali," ucap lelaki yang ternyata mendandaniku sedemikian rupa bak seorang pengantin wanita. Aku juga mengenakan kebaya putih yang sangat cantik.
Apa aku akan menikah? Tapi sama siapa? Pak Arik? Tidak mungkin. Bukankah kemarin dia menolakku?
Aku tidak tahu apa rencana Alisa karena kemarin dia tidak datang sama sekali ke rumah itu lagi setelah pulang bersama suaminya. Aku merasa diasingkan tanpa tahu seperti apa nasibku setelah penolakan Pak Arik yang ngotot tidak akan menikahiku tanpa wali nikah. Ternyata lelaki tersebut paham agama juga, tapi kenapa mengizinkan istrinya berbuat zalim padaku?
Ketiga orang yang mendandaniku ini juga diam seribu kata setiap kutanya untuk apa aku didandani seperti pengantin. Mereka tampak kaget mengetahui ketidaktahuanku kenapa berada di sini dan didandani mereka. Lelaki kemayu yang kutahu bernama Soni itu menggeleng tidak bisa memberitahukan, karena itu adalah perintah Alisa.
"Tanyakan saja pada Bu Alisa, tugas kami hanya mendadanimu agar tampil cantik malam ini," jawabnya menatapku lewat pantulan cermin.
Lagi-lagi Alisa.
Setelah selesai didandani, aku ditinggal sendiri di dalam kamar. Beberapa menit berlalu dan aku masih dalam kebingungan. Mungkin karena sudah putus asa, dan mencoba mengikhlaskan semuanya, aku sampai berharap kalau yang menikahiku memang Pak Arik. Bukan karena aku menyukainya. Setidaknya dia lebih baik daripada orang asing lainnya yang aku tidak tahu seperti apa rupanya.
Sampai akhirnya terdengar suara pintu kamar ini dibuka.
"Varel!" pekikku saat seseorang yang kukenal baik masuk dengan wajah luka lebam.
"Mbak Luna?" serunya seakan tidak percaya.
Aku merangsek mendatanginya dengan hati yang menyayat perih. Kusentuh pelan luka di wajahnya. Ia sedikit meringis.
"Maaf, aku membawa adikmu dengan tampilan begini. Bukan salahku kalau mereka memukulinya. Dia melawan saat diajak kemari," ucap Alisa yang muncul di belakang Varel.
"Mbak, ini apa? Mbak Luna mau nikah? Sama siapa? Dan siapa dia?" Sorot matanya mengarah ke Alisa." Varel tampak keheranan melihat tampilanku dengan kebaya pengantin, serta bingung dengan sosok Alisa di sebelahnya.
"Kak, aku nikah sama siapa?" tanyaku hati-hati pada Alisa, dan mengabaikan pertanyaan Varel.
"Kamu lupa? Arik--suamiku. Siapa lagi. Untuk apa aku memaksa membawa adikmu ke sini kalau bukan untuk itu."
"Siapa Arik? Dan suamiku itu apa maksudnya?" Varel masih merongrongku dengan pertanyaan. Dia meminta penjelasan.
"Jelaskan pada adikmu, biar dia mengerti dan dapat membantu kita. Kutunggu di depan. Semua sudah dipersiapkan, sepuluh menit lagi, keluarlah." Alisa beranjak meninggalkanku berduaan saja dengan Varel.
Aku menghela napas dalam sebelum menceritakan semuanya pada Varel setelah kepergian Alisa. Tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi darinya. Varel sudah berada di hadapanku dan sedang menuntut penjelasan.
"Apa? mbak Luna serius?" tanyanya setelah mendengar kisahku.
"Nggak. Varel tidak mau. Kenapa mengambil keputusan sendiri dan mengorbankan masa depan Mbak? Harusnya Mbak cerita biar kita selesaikan bersama. Kalau perlu Varel kerja buat bantu Mbak," kilahnya menolak dengan wajah memerah.
"Apa yang bisa kamu lakukan Rel? Kerja apa untuk golongan anak SMA sepertimu?Apa mungkin dalam semalam dapat uang segitu banyaknya untuk operasi Ibu?" cecarku menuntut jawab.
Varel membisu. Aku kembali meminta kesediaannya untuk menjadi wali nikah. Kupastikan tidak akan terjadi apa-apa ke depannya, karena Kak Alisa--calon kakak maduku sendiri yang menginginkanku menikah dengan suaminya. Bukan seperti PeLaKor yang menjadi kekhawatirannya saat ini. Aku mencoba meyakinkannya lagi. Aku juga tidak sampai hati menceritakan tentang adanya perjanjian diantara aku dan Alisa. Cukup ia tahu kalau aku bakal bahagia dan hidup nyaman menikah dengan orang kaya. Meskipun kenyataannya tidak seperti itu.
Varel tetap dengan pendiriannya tidak setuju dengan rencana pernikahanku. Namun setelah melewati perdebatan yang pelik, dan bujuk rayuku padanya, akhirnya Varel menyerah, ia bersedia menjadi wali nikah.
***
"Sah," koor serempak suara saksi yang menyatakan 'sah' ijab kabul yang barusan diucapkan Pak Arik. Akhirnya aku memang menikah dengannya, lelaki yang kujuluki Om songong. Sedang Varel yang berada di hadapanku, menatapku dengan rasa Iba. Matanya sampai memerah, tapi secepat kilat ia memalingkan muka saat kubalas tatapannya tersebut.
Semua orang satu per satu meninggalkan tempat ini. Tersisa hanya kami berempat, yaitu aku, Pak Arik, Alisa, dan Varel.
"Rel, Varel kan namamu?" Varel diam saja saat ditanya Alisa. Ia duduk menunduk di sebelahku.
"Iya, Kak. Namanya Varel," jawabku.
Alisa tersenyum. "Biar kuantar pulang. Biarkan kakakmu menikmati malam pengantinnya di sini. Kita tidak boleh mengganggu mereka," tukasnya lagi tersenyum menyeringai membuat seluruh badanku menegang.
Malam pengantin? Bersama Pak Arik? Secepat inikah? Aku menatap lelaki dingin, yang memilih diam tanpa bicara sepatah kata pun setelah mengucapkan ijab Kabulnya beberapa menit yang lalu.
Ya, Tuhan. Aku belum siap. Bagaimana ini?
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
"Sudah lama tidak melihatmu di cafe. Aku rindu."Astaga, apa yang dikatakannya? Aku sekilas menatap ke arah Alisa yang membalasku dengan tatapan penuh tanya, lalu kutundukkan wajah yang terasa terbakar dengan jemari yang sedingin es. Aku malu, gugup, semua jadi satu. Semoga Alisa tidak berpikir macam-macam dengan apa yang barusan dikatakan oleh Axel.Lelaki yang masih berdiri di depanku ini malah tersenyum semringah tanpa beban setelah mengatakan hal tersebut. Menyebalkan.***Alisa membawa kami ke ruangannya. Aku tahu dia ingin menginterogasi kami. Aku terpaksa duduk di sebelah Axel yang berhadapan dengan Alisa."Ini, minumlah. Jangan terlalu sering menunduk, itu menyulitkanku untuk melihat wajah cantikmu."Astaga! Apa lagi ini? Tanpa malu ia menggodaku di hadapan A
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.