Kemarin pagi, seorang perempuan muda bertamu ke rumah. Ketika itu Lona tengah membantu ibu di dapur, suara ketukan pintu membuat ia bergegas menuju ke depan, mengecek siapakah gerangan yang datang. Tanpa ragu Lona membuka pintu. Niat hati ingin menyambut kedatangan seorang tamu, dia malah berakhir mematung terkejut menatap wanita muda yang ada di hadapannya.
Pertemuan tersebutlah yang kemudian membawa Lona Batara duduk di salah satu kafe, berhadapan dengan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Sabrina Ananta. Menceritakan segala hal yang tidak mudah untuk Lona maklumi begitu saja, tentang identitas Lona yang sebenarnya. Belum lagi, ketika Sabrina mengutarakan tujuan utamanya datang kepada Lona. "Meskipun ada sedikit perbedaan, aku yakin yang lain tidak akan menyadarinya." Mudah untuk dimengerti oleh Lona apabila Sabrina meminta ia kembali pada keluarganya sendiri, tapi permintaan Sabrina justru terdengar sedikit tidak masuk akal. Daripada harus bertukar peran, kenapa tidak langsung saja memperkenalkan dia pada keluarganya sendiri. Namun, Sabrina Ananta punya alasan tersendiri. Kepentingan yang mengantar ia ke hadapan Lona, membawa sebuah rencana demi kelangsungan hidupnya. "Aku melanjutkan kuliah di Jogja. Oma tidak mengizinkanku merantau awalnya, tapi aku bersikeras. Aku hanya ingin hidup lebih bebas, Lona. Aku tahu kamu mengerti." "Selama ini aku menjalani hubungan diam-diam dengan Devan, tidak ada satu pun diantara keluarga kami yang tahu, lalu waktu itu Devan mengunjungiku. Lona, aku jujur! Kami tidak pernah seperti itu sebelumnya! Malam itu, kami—" "Tidak perlu dilanjutkan, aku rasa, aku tahu kelanjutannya." Lona menghela napas berat. Memijit kedua pelipisnya secara bersamaan. "Lalu apa masalahnya. Pulang saja ke keluargamu, jangan beritahu soal itu." Sabrina menggeleng cepat. "Aku mengandung anak Devan." Mendengar kalimat yang diutarakan oleh Sabrina membuat kepala Lona pusing bukan main. Belum tuntas dia mencerna tentang asal muasalnya sendiri, permasalahan yang menimpa wanita seumuran yang ternyata adalah kembarannya semakin membuat Lona kelimpungan. "Kalau sampai Oma tahu, dia akan mengugurkan kandunganku, Lona! Aku tidak mau. Aku lebih memilih mempertahankannya, aku siap menjalani hidupku berdua dengan anak ini. Tolong bantu aku, aku mohon!" Lona stagnan. Tidak mudah baginya untuk mengerti akal pikiran Sabrina. "Kalau seandainya kamu tidak ingin, ku mohon, setidaknya bantu aku sampai anak ini lahir, tapi aku berharap kau mau menjaganya bersama Bi Sekar. Sebagai balasannya, aku juga akan membantu kalian. Aku akan membantu membiayai kehidupan kalian." Lona sulit menerima permintaan Sabrina. Lagipula jika tidak disatukan pada keluarga Ananta pun ia tidak akan membuat perkara ini menjadi sebuah permasalahan besar, tidak serta-merta datang pada keluarga itu, meminta mereka mengakui dirinya sebagai bagian dari keluarga dari garis keturunan yang sah.Dia pikir, kalau dari bayi ibu kandungnya sendiri sudah memisahkan dirinya dari keluarga, itu artinya Lona memang diminta untuk tidak hidup menjadi bagian dari keluarga tersebut. Meski tidak tahu pasti alasan Derina Batara memisahkan ia dari keluarga besarnya, Lona yakin wanita itu pasti punya alasan yang mendasari, penting atau tidak. "Aku rasa aku tidak bisa."Lona enggan mengambil resiko. Wanita muda itu berpikir, bagaimanapun keadaan yang menimpanya, Sabrina lebih baik bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.■-■-■ Malam harinya, Sekar berbaring memeluk Lona sambil salah satu tangannya mengelus lembut surai Lona. Kehadirannya membantu Lona untuk memudahkannya mencerna segala hal yang terjadi hari ini, sekaligus memperjelas segala hal yang selama ini ia sembunyikan dari Lona Batara. "Ibu dan Bi Ratih tidak tahu pasti alasan yang mendasari Ibu kandungmu memberimu pada Ratih untuk dititipkan ke panti asuhan atau siapapun yang bisa merawatmu ..." Sekar menjeda ucapannya. Jari-jemarinya membenarkan poni Lona. " ... tapi Ibu yakin, dia tidak bermaksud untuk memisahkanmu tanpa sebab yang pasti. Barangkali ada sesuatu yang membuat ia memutuskan untuk melakukan itu." Yang Lona lihat dibalik mata Sekar ketika ia berbicara seperti itu adalah keteguhannya. Lona tidak melihat ada tatapan sedih yang teramat dari mata itu, atau barangkali wanita itu menyembunyikannya. "Ibu selama ini tidak mau menerka terlalu dalam bagaimana jika hari ini tiba, hari dimana ada seseorang yang mengenali asal muasalmu, atau hari dimana orangtua kandungmu mendatangi Ibu, meminta kamu kembali kepada mereka.""Tapi Ibu akan berusaha untuk menerimanya, memberikan semua keputusannya pada dirimu sendiri. Kamu sudah dewasa, sudah punya hak untuk memutuskan sesuatu dengan pikiran yang matang."Sekar membawa kedua telapak tangan Lona untuk digenggam, kemudian dielusnya. "Tapi, boleh Ibu beri sedikit saran?"Sekar segera melanjutkan kalimatnya setelah melihat Lona mengangguk. "Saat melihat wajahnya, Ibu benar-benar seperti tengah melihat dirimu, Lona. Kamu tahu kalau Ibu sangat-sangat menyayangimu, kan?" Lona kembali merespon dengan anggukan. "Melihatnya dalam kesulitan, seperti melihatmu dalam kesulitan. Ibu tidak bisa membayangkan kalau tidak ada seseorang yang berada di sisimu pada saat-saat seperti itu." Sekar tersenyum. Mengecup kening putri Batara yang selama ini sudah ia anggap seperti anak dari darah dagingnya sendiri. "Permasalahan Sabrina tampaknya berat. Ibu sarankan kamu untuk membantunya. Mau bagaimanapun, dia saudaramu." Lona menatap ragu pada Sekar."Kalau pun pilihanmu adalah tetap tinggal bersama Ibu, bantulah dia untuk beberapa bulan saja. Atau jika nanti kamu mau kembali pulang ke keluarga aslimu, itu bukan berarti kamu akan melupakan Ibu, kan?"Kesepakatan yang dicapai antara Lona dan Sabrina akhirnya menghantar putri Batara ke kediaman megah keluarga besar Ananta. Atas saran yang diberikan Sekar padanya, Lona akhirnya menyetujui permohonan Sabrina untuk mengisi peran kembarannya di dalam keluarga Ananta. Sebelumnya, Sabrina menawarkan dua pilihan padanya. Kalau nanti dia memutuskan untuk hidup sebagai bagian dari Ananta. Segala hak yang Sabrina miliki sebelumnya akan menjadi milik Lona, sementara Sabrina akan tinggal bersama Sekar. Namun, apabila Lona memilih untuk pulang setelah Sabrina melahirkan, Sabrina berjanji akan membantu untuk membiayai biaya hidup mereka. Di permulaan, opsi kedua menjadi pilihan Lona. Lona merasa, mau bagaimana pun, dia tidak pernah menyesali nasibnya yang hidup sederhana bersama Sekar. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap ingin bersama Sekar. Sabrina Ananta pun tidak keberatan dengan pilihan Lona. Kembarannya itu juga akan menerima keputusan Lona kalau-kalau suatu saat dia berubah pikiran. "
"Maaf sedikit terlambat. Ada sesuatu yang mendesak yang harus segera aku tangani." Oma mengangguk singkat. Tampak tak mempermasalahkan hal tersebut. Bersamaan dengan itu, para pelayan keluarga Ananta datang, meletakkan satu persatu sajian. "Wah Morris kita pasti sibuk sekali!" Morris hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat tante Widya, si bungsu Ananta, ibu pemuda yang duduk di sampingnya. Lona sejak tadi menyimak dengan hikmat obrolan diantara mereka, akan tetapi hidang-hidangan di hadapannya berhasil membuat setengah fokusnya membuyar. Dia tertegun melihat banyaknya hidangan nikmat yang akan mengisi perutnya kali ini. "Siang tadi Sabrina kembali ke rumah ini, setelah menyelesaikan kuliah dan membawa pulang gelar sarjana dengan lulusan predikat yang sangat memuaskan. Selamat sekali lagi untuk cucu Oma tercinta." Lona sedikit gelagapan. Merespon dengan senyum selebar mungkin karena tidak tahu harus menjawab apa. "Keponakan Tante, kenapa tidak bilang kalau kamu mau pulang?""A
Sabrina mengatakan hal jujur tentang Lusiana Ananta tempo hari. Wanita itu benar-benar tegas dan berpendirian kuat dalam mempertahankan keputusannya. Kalau sudah memutuskan sesuatu, akan susah bagi anggota keluarga menentangnya, sekali pun hal tersebut bertolak belakang dan tidak memuaskan salah satu atau beberapa diantaranya. Begitu pula yang Lona alami di hari pertamanya berada di rumah ini. Keluar dari ruang kerja Lusi, air muka Lona tidak secerah beberapa jam lalu. Kedua kakinya membawa tubuh Lona ke lantai atas bersamaan dengan perasaan yang bercampur aduk antara, cemas, takut, bingung, dan kesal. "Kenapa dia tidak bilang padaku kalau aku harus menangani hal ini juga!" Kalimat mengandung emosi itu Lona lontarkan dengan menggerutu. Seingatnya, selama Sabrina Ananta menjabarkan semua skenario yang direncanakannya, wanita itu tidak pernah sekali pun mengungkapkan soal konsekuensi yang akan didapat Lona karena berperan menjadi dirinya. "Kenapa jadi begini urusannya. Aku pikir ya
"Syukurlah kamu belum tidur. Keponakanku, Tante bawa teh chamomile kesukaanmu." Widya Ananta membawa masuk nampan berisi teko transparan dan segelas cangkir. Dia bahkan tak segan-segan menuangkannya untuk Lona."Teh chamomile memang banyak banget manfaatnya. Kamu ini memang pintar, deh!Pandai jaga kesehatan dan merawat diri seperti Tante. Nih, ayo sambil duduk!" Widya memberikan cangkir berisi teh tersebut sembari menuntun Lona yang setengah kebingungan menuju kursi."Sabrina, Tante mau sekalian ngobrol sedikit sama kamu."Dahi Lona berkerut samar. "Ngobrol apa, Tante?" Lona meletakkan cangkir itu di atas meja."Sudah lama sekali tidak lihat kamu, abisnya kamu selalu sibuk dengan urusan kuliah kamu, sih, sampai-sampai libur pun jarang sekali pulang Tante tuh kangen." Lona memaksa senyum mengembang di wajahnya. Dalam hati meringis kecil mengetahui kenyataan bahwa memang sebelumnya tidak pernah sekalipun ia menapakkan kakinya di rumah ini."Tante maklumi, deh, soalnya kamu pintar dan be
"Ya, mau bagaimana lagi. Dia memaksaku." Suara gelak tawa Sabrina seketika itu juga terdengar di telinga Lona. Kedua bersaudara itu tengah mengobrol jarak jauh melalui ponsel pintar mereka.'Kamu tahu, Lona? Aku paling tidak suka pergi keluar bersama Tante Widya, karena jadinya, yah, seperti kamu.' Lona cemberut, masih mendengar suara tawa mengejek dari seberang."Yang benar saja, apa dia memang selalu begitu?"Masih dengan perasaan setengah dongkol, Lona mengingat kembali kegiatannya hari ini. Tentu saja bersama Widya. Seharian. Awalnya Lona menemani wanita itu menjajahi butik-butik brand besar, kemudian wanita itu membawa Lona untuk diperkenalkan dengan teman-teman sosialitanya. Pokoknya seharian ini dia sibuk membuntuti Widya selayaknya asisten pribadi wanita itu.'Jadi kamu dimarahi Oma, ya?'"Iya, sudah pasti. Kalau aku bersama Ibu, dia juga akan memarahiku. Seharian pergi dari pagi, baru pulang sudah malam begini." Netra Lona melihat ke arah jam dinding yang menunjuk pada angka
'Tiga bulan lagi kamu akan 'terjun' menjadi bagian dari Ananta Grup. Sebelum hari itu tiba, Oma akan mengatur perkenalan antara dirimu dan orang-orang penting dalam bisnis kita.'Kepala Lona dilanda pusing ketika ia kembali mengingat ucapan Lusiana selepas makan siang tadi.'Bulan depan, Ajeng akan mengadakan pameran seni di galeri seni keluarga kita. Akan ada banyak orang-orang penting yang menjadi tamu VIP, ini kesempatan untuk memperkenalkan kamu kepada mereka, Sabrina.'Bahkan masih terbayang jelas wajah Lusiana yang menatapnya serius ketika mengutarakan rencana yang dibuat untuk dirinya. 'Tapi sebelumnya Oma berencana untuk mengundang dewan komisaris, para direksi serta beberapa pemegang saham untuk makan malam bersama.'Hembusan napas sudah berkali-kali terdengar di dalam ruangan perpustakaan keluarga Ananta. Terdapat satu eksistensi seorang wanita yang tampak dalam kondisi kacau dengan buku-buku terbuka dan berserakan di atas meja.Kurang lebih sudah lima jam Lona berdiam diri
'Kalau kamu mau menghindarinya, lakukan tips yang aku berikan. Kalau kamu ingin menghadapinya, aku percaya kamu bisa menghadapinya, Lona.'Lona menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kasar. Wanita muda itu kemudian termenung menatap layar ponsel pintar yang diletakkannya begitu saja di atas kasur. Ponsel itu dalam keadaan hidup dan sedang tersambung pada panggilan jarak jauh serta berada pada mode speaker.Baru beberapa hari tinggal di atap rumah megah keluarga Ananta, Lona sudah seperti ini. Rasa takut menghadapi masa depan yang akan ia lalui sebagai Sabrina Ananta membuat kepalanya dilanda pusing bukan main. Lona yakin betul, jika Sabrina berada di posisi yang seharusnya, hal ini akan menjadi kewajiban yang tidak perlu ditakutkan, tetapi sayangnya Lona tidak bisa merasa demikian. Alih-alih bersikap santai, masa depan Sabrina malah menimbulkan kekhawatiran bagi dirinya."Sudahlah. Apa sesuatu yang ingin kamu katakan?"Selepas makan malam tadi, Lona memutuskan untuk kembali ke ka
"Aku menemukan buku catatan milik Mama. Disimpan rapi di tempat persembunyiannya. Aku mengambilnya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan siapa pun." Sabrina Ananta mengeluarkan sebuah buku dari tasnya, kemudian buku itu ia letakkan di atas meja. "Aku yakin Oma akan marah besar padaku kalau dia tahu soal ini." Lona menatap benda itu dalam hening."Aku tahu tentangmu dari buku itu. Lebih tepatnya, buku itu yang membawa aku padamu." Melihat lawan bicaranya masih tampak kebingungan, Sabrina kembali buka suara. "Kamu dan aku seperti buah pinang dibelah dua, apa kamu tidak mencoba untuk berasumsi sesuatu tentang kita?" Saat itu juga Lona Batara tertegun. Cukup mengerti maksud dari perkataan wanita di hadapannya. Prasangka yang semula ia anggap konyol, ternyata benar. "Bagaimana bisa begini." Lona bergumam pelan. Masih sulit untuk menerima kenyataan tentang identitasnya sendiri. "Aku pun tak tahu pasti, tapi kurasa buku catatan Mama bisa menjawabnya kalau kamu mau mencari tahu lebih
'Kalau kamu mau menghindarinya, lakukan tips yang aku berikan. Kalau kamu ingin menghadapinya, aku percaya kamu bisa menghadapinya, Lona.'Lona menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kasar. Wanita muda itu kemudian termenung menatap layar ponsel pintar yang diletakkannya begitu saja di atas kasur. Ponsel itu dalam keadaan hidup dan sedang tersambung pada panggilan jarak jauh serta berada pada mode speaker.Baru beberapa hari tinggal di atap rumah megah keluarga Ananta, Lona sudah seperti ini. Rasa takut menghadapi masa depan yang akan ia lalui sebagai Sabrina Ananta membuat kepalanya dilanda pusing bukan main. Lona yakin betul, jika Sabrina berada di posisi yang seharusnya, hal ini akan menjadi kewajiban yang tidak perlu ditakutkan, tetapi sayangnya Lona tidak bisa merasa demikian. Alih-alih bersikap santai, masa depan Sabrina malah menimbulkan kekhawatiran bagi dirinya."Sudahlah. Apa sesuatu yang ingin kamu katakan?"Selepas makan malam tadi, Lona memutuskan untuk kembali ke ka
'Tiga bulan lagi kamu akan 'terjun' menjadi bagian dari Ananta Grup. Sebelum hari itu tiba, Oma akan mengatur perkenalan antara dirimu dan orang-orang penting dalam bisnis kita.'Kepala Lona dilanda pusing ketika ia kembali mengingat ucapan Lusiana selepas makan siang tadi.'Bulan depan, Ajeng akan mengadakan pameran seni di galeri seni keluarga kita. Akan ada banyak orang-orang penting yang menjadi tamu VIP, ini kesempatan untuk memperkenalkan kamu kepada mereka, Sabrina.'Bahkan masih terbayang jelas wajah Lusiana yang menatapnya serius ketika mengutarakan rencana yang dibuat untuk dirinya. 'Tapi sebelumnya Oma berencana untuk mengundang dewan komisaris, para direksi serta beberapa pemegang saham untuk makan malam bersama.'Hembusan napas sudah berkali-kali terdengar di dalam ruangan perpustakaan keluarga Ananta. Terdapat satu eksistensi seorang wanita yang tampak dalam kondisi kacau dengan buku-buku terbuka dan berserakan di atas meja.Kurang lebih sudah lima jam Lona berdiam diri
"Ya, mau bagaimana lagi. Dia memaksaku." Suara gelak tawa Sabrina seketika itu juga terdengar di telinga Lona. Kedua bersaudara itu tengah mengobrol jarak jauh melalui ponsel pintar mereka.'Kamu tahu, Lona? Aku paling tidak suka pergi keluar bersama Tante Widya, karena jadinya, yah, seperti kamu.' Lona cemberut, masih mendengar suara tawa mengejek dari seberang."Yang benar saja, apa dia memang selalu begitu?"Masih dengan perasaan setengah dongkol, Lona mengingat kembali kegiatannya hari ini. Tentu saja bersama Widya. Seharian. Awalnya Lona menemani wanita itu menjajahi butik-butik brand besar, kemudian wanita itu membawa Lona untuk diperkenalkan dengan teman-teman sosialitanya. Pokoknya seharian ini dia sibuk membuntuti Widya selayaknya asisten pribadi wanita itu.'Jadi kamu dimarahi Oma, ya?'"Iya, sudah pasti. Kalau aku bersama Ibu, dia juga akan memarahiku. Seharian pergi dari pagi, baru pulang sudah malam begini." Netra Lona melihat ke arah jam dinding yang menunjuk pada angka
"Syukurlah kamu belum tidur. Keponakanku, Tante bawa teh chamomile kesukaanmu." Widya Ananta membawa masuk nampan berisi teko transparan dan segelas cangkir. Dia bahkan tak segan-segan menuangkannya untuk Lona."Teh chamomile memang banyak banget manfaatnya. Kamu ini memang pintar, deh!Pandai jaga kesehatan dan merawat diri seperti Tante. Nih, ayo sambil duduk!" Widya memberikan cangkir berisi teh tersebut sembari menuntun Lona yang setengah kebingungan menuju kursi."Sabrina, Tante mau sekalian ngobrol sedikit sama kamu."Dahi Lona berkerut samar. "Ngobrol apa, Tante?" Lona meletakkan cangkir itu di atas meja."Sudah lama sekali tidak lihat kamu, abisnya kamu selalu sibuk dengan urusan kuliah kamu, sih, sampai-sampai libur pun jarang sekali pulang Tante tuh kangen." Lona memaksa senyum mengembang di wajahnya. Dalam hati meringis kecil mengetahui kenyataan bahwa memang sebelumnya tidak pernah sekalipun ia menapakkan kakinya di rumah ini."Tante maklumi, deh, soalnya kamu pintar dan be
Sabrina mengatakan hal jujur tentang Lusiana Ananta tempo hari. Wanita itu benar-benar tegas dan berpendirian kuat dalam mempertahankan keputusannya. Kalau sudah memutuskan sesuatu, akan susah bagi anggota keluarga menentangnya, sekali pun hal tersebut bertolak belakang dan tidak memuaskan salah satu atau beberapa diantaranya. Begitu pula yang Lona alami di hari pertamanya berada di rumah ini. Keluar dari ruang kerja Lusi, air muka Lona tidak secerah beberapa jam lalu. Kedua kakinya membawa tubuh Lona ke lantai atas bersamaan dengan perasaan yang bercampur aduk antara, cemas, takut, bingung, dan kesal. "Kenapa dia tidak bilang padaku kalau aku harus menangani hal ini juga!" Kalimat mengandung emosi itu Lona lontarkan dengan menggerutu. Seingatnya, selama Sabrina Ananta menjabarkan semua skenario yang direncanakannya, wanita itu tidak pernah sekali pun mengungkapkan soal konsekuensi yang akan didapat Lona karena berperan menjadi dirinya. "Kenapa jadi begini urusannya. Aku pikir ya
"Maaf sedikit terlambat. Ada sesuatu yang mendesak yang harus segera aku tangani." Oma mengangguk singkat. Tampak tak mempermasalahkan hal tersebut. Bersamaan dengan itu, para pelayan keluarga Ananta datang, meletakkan satu persatu sajian. "Wah Morris kita pasti sibuk sekali!" Morris hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat tante Widya, si bungsu Ananta, ibu pemuda yang duduk di sampingnya. Lona sejak tadi menyimak dengan hikmat obrolan diantara mereka, akan tetapi hidang-hidangan di hadapannya berhasil membuat setengah fokusnya membuyar. Dia tertegun melihat banyaknya hidangan nikmat yang akan mengisi perutnya kali ini. "Siang tadi Sabrina kembali ke rumah ini, setelah menyelesaikan kuliah dan membawa pulang gelar sarjana dengan lulusan predikat yang sangat memuaskan. Selamat sekali lagi untuk cucu Oma tercinta." Lona sedikit gelagapan. Merespon dengan senyum selebar mungkin karena tidak tahu harus menjawab apa. "Keponakan Tante, kenapa tidak bilang kalau kamu mau pulang?""A
Kesepakatan yang dicapai antara Lona dan Sabrina akhirnya menghantar putri Batara ke kediaman megah keluarga besar Ananta. Atas saran yang diberikan Sekar padanya, Lona akhirnya menyetujui permohonan Sabrina untuk mengisi peran kembarannya di dalam keluarga Ananta. Sebelumnya, Sabrina menawarkan dua pilihan padanya. Kalau nanti dia memutuskan untuk hidup sebagai bagian dari Ananta. Segala hak yang Sabrina miliki sebelumnya akan menjadi milik Lona, sementara Sabrina akan tinggal bersama Sekar. Namun, apabila Lona memilih untuk pulang setelah Sabrina melahirkan, Sabrina berjanji akan membantu untuk membiayai biaya hidup mereka. Di permulaan, opsi kedua menjadi pilihan Lona. Lona merasa, mau bagaimana pun, dia tidak pernah menyesali nasibnya yang hidup sederhana bersama Sekar. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap ingin bersama Sekar. Sabrina Ananta pun tidak keberatan dengan pilihan Lona. Kembarannya itu juga akan menerima keputusan Lona kalau-kalau suatu saat dia berubah pikiran. "
Kemarin pagi, seorang perempuan muda bertamu ke rumah. Ketika itu Lona tengah membantu ibu di dapur, suara ketukan pintu membuat ia bergegas menuju ke depan, mengecek siapakah gerangan yang datang. Tanpa ragu Lona membuka pintu. Niat hati ingin menyambut kedatangan seorang tamu, dia malah berakhir mematung terkejut menatap wanita muda yang ada di hadapannya. Pertemuan tersebutlah yang kemudian membawa Lona Batara duduk di salah satu kafe, berhadapan dengan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Sabrina Ananta. Menceritakan segala hal yang tidak mudah untuk Lona maklumi begitu saja, tentang identitas Lona yang sebenarnya. Belum lagi, ketika Sabrina mengutarakan tujuan utamanya datang kepada Lona. "Meskipun ada sedikit perbedaan, aku yakin yang lain tidak akan menyadarinya." Mudah untuk dimengerti oleh Lona apabila Sabrina meminta ia kembali pada keluarganya sendiri, tapi permintaan Sabrina justru terdengar sedikit tidak masuk akal. Daripada harus bertukar peran, kenapa tidak langs
"Aku menemukan buku catatan milik Mama. Disimpan rapi di tempat persembunyiannya. Aku mengambilnya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan siapa pun." Sabrina Ananta mengeluarkan sebuah buku dari tasnya, kemudian buku itu ia letakkan di atas meja. "Aku yakin Oma akan marah besar padaku kalau dia tahu soal ini." Lona menatap benda itu dalam hening."Aku tahu tentangmu dari buku itu. Lebih tepatnya, buku itu yang membawa aku padamu." Melihat lawan bicaranya masih tampak kebingungan, Sabrina kembali buka suara. "Kamu dan aku seperti buah pinang dibelah dua, apa kamu tidak mencoba untuk berasumsi sesuatu tentang kita?" Saat itu juga Lona Batara tertegun. Cukup mengerti maksud dari perkataan wanita di hadapannya. Prasangka yang semula ia anggap konyol, ternyata benar. "Bagaimana bisa begini." Lona bergumam pelan. Masih sulit untuk menerima kenyataan tentang identitasnya sendiri. "Aku pun tak tahu pasti, tapi kurasa buku catatan Mama bisa menjawabnya kalau kamu mau mencari tahu lebih