"Bagaimana, apa aku sudah terlihat tampan?" Bara telah berbalut setelan jas putih. Bahkan aroma maskulin begitu menyeruak.Bara mandi lebih lama dari biasanya. Pria itu juga menghabiskan waktu sangat lama untuk mempersiapkan penampilan terbaiknya."Van, Aku tampan atau sangat tampan? Apa istriku akan menyukai penampilanku ini?" Bara tersenyum lebar. Dia merentang tangan sambil memutar.Ivan mengangguk dengan mengangkat dua jempolnya. "Perfect, Tuan. Hanya saja kali ini Anda akan tampil bagaimana? Berdiri atau duduk di kursi roda?"Bara mondar-mandir di ruangan rawatnya. "Masih ada satu step lagi. Papa dan Mama masih belum puas jika belum menghadirkan beberapa wanita padaku. Jadi kali ini terpaksa masih harus duduk di kursi roda.""Sependapat, Tuan. Lagi pula akan lebih tampak manis dan menjiwai jika pernyataan Anda ditampilkan di atas kursi roda. Ya, sekalian menguji ketulusan nyonya.""Tanpa diuji pun Alya-ku sudah tulus sejak awal. Hanya saja aku belum buat bermanja-meja sama dia."
"Mas, ini?" Alya berdiri dengan wajah sendu dan rasa dilema. Dia tidak tahu harus membuat ekspresi bagaimana pada suaminya.Wanita itu masih melihat isi kotak bludru yang ternyata kosong. Apa artinya Bara sebenarnya tidak punya perasaan apa-apa pada Alya? Kotak kosong itu sebuah simbolis pernyataan perasaan kosongnya? Alya merangkai praduga soal perasaan suaminya.Bara melipat bibir saat melihat ekspresi istrinya. Dia sedang menahan senyum. "Bagaimana, Sayang apa kamu suka dengan pemberianku?"Alya menyodorkan kotak kosong yang dibukanya. "Sebuah perasaan kosong maksudmu, Mas?"Bara melihat kotak itu. "Apa kotaknya kosong?" Dia berlagak kaget dan menatap jeli.Alya jadi bingung sendiri. Apa isinya hilang atau tertinggal di suatu tempat? pikirnya. "Maksudnya harusnya kotak ini ada isinya begitu? Tapi mana?" Bara lantas menarik tangan istrinya dan memegangnya lembut. Tangan itu lalu diletakkan di dadanya. "Isinya ada di dalam sini. Aku hanya bingung bagaimana cara meletakkannya dalam
"Mas, itu Tiara dan Mas Ardi. Apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa mereka bertengkar di tempat umum, apa nggak malu?"Bara berpikir sebentar. Andai dia sedang tidak dalam misi memperjuangkan istri. Pasti akan membuat mereka terbungkam dengan memperlihatkan kemesraan dengan Alya. Bara sungguh sangat ingin pamer kemesraan di depan mereka terutama Ardi. 'Lain kali aku pasti akan membuat pertunjukan kemesraan di depan publik. Harus! Aku harus pamer siap istriku yang cantik bagai Mimi peri ini,' batin Bara."Ehem! Kamu mau ketemu si mantan tak tahu diri itu atas dasar apa? Kangen, cemas atau khawatir dia kenapa-napa karena lagi berantem sama mantan istri satunya?" Bara membuat wajah marah.Alya baru sadar. Ya, dia akan menemui pria yang pernah mengisi hati dan cerita utama hidupnya di masa lalu, jelas suaminya kini ngambek."Aku nggak lupa kalau yang di depan itu Mas Ardi, tapi aku kok lupa ya kalau pernah punya sesuatu yang spesial. Apa mungkin semua udah hilang saat aku ikhlas melepas
"Besok tiga wanita akan datang kemari secara bergantian untuk menemuimu. Kamu tinggal ngobrol dan menemukan kecocokan dari salah satunya. Setelah itu kamu harus menikah dengan wanita yang lebih pantas menjadi pendamping seorang pimpinan perusahaan besar!" Yudha tersenyum sinis pada Alya.Alya menunduk. Dia meremas dua sisi gamisnya. Meski sudah ada pengakuan cinta dari suaminya, tapi hatinya tetap saja gelisah dan takut."Bawa wanita-wanita itu kemari. Aku berharap ada salah satu yang mau menerimaku. Mama sangat benar, aku memang harus punya istri yang pantas mendampingi pria hebat sepertiku. Tapi ... jika setelah ini nggak ada yang mau sama aku, jangan paksa aku lagi. Aku ingin fokus dengan pekerjaan saja."Bara menampilkan wajah sedih. Dia sedikit menunduk, padahal ekor matanya melirik bagaimana respon istrinya. Sebentar Bara mengatup matanya. Dia merasa bersalah telah mengatakan hal itu, tapi mau bagaimana lagi? Pria itu sangat mencintai Alya dan harus membuat kedua orang tuanya ti
"Alya? Gawat." Mata Bara membeliak saat mendengar suara pintu. Dia cepat berpikir membuat gaya aman. Pria itu celingukan sambil mengusap lehernya gusar.'Jika loncat dan berlari, apa akan aman? Lebih baik pelan-pelan dan lihat situasinya. Kalau pas loncat dia lihat, tamat riwayatku.'Posisinya masih ada di pintu balkon. Jarak antara balkon dengan ranjang lebih dari 5 langkah kakinya. Sedang istrinya ....Alya melangkah cepat buru-buru karena khawatir meninggalkan suaminya sendirian terlalu lama. Jadi dia bisa secepatnya berada di area kamar lagi."Mas Bara," lirih Alya masih bingung dan tertegun melihat suaminya.Langkahnya langsung terhenti saat melihat suaminya dalam posisi setengah berdiri. Dia berkedip-kedip memastikan pandangannya, tapi dalam hitungan detik sekarang suaminya sudah dalam posisi selonjor. Suaminya itu ada di sekitar dua langkah dari ranjang."Mas Bara, kamu kok?" Alya gegas menghampiri suaminya dengan cemas.Bara lantas memasang wajah sendu sambil memegang kakinya
"Alya?" Bara membelalak saat sedikit mendongak dan menangkap keberadaan istrinya.Padahal posisi wanita genit itu semakin dekat, bahkan wajah wanita itu mendekat pada wajah Bara dengan sedikit membungkuk dengan dada dimajukan ada Bara.Wanita itu adalah anak pengusaha kelas atas yang sangat berpengaruh dan merupakan salah satu kolega Bara."Bisakah kamu menjauh, kita bicara di sofa saja." Bara mendorong kuat wanita itu sambil mendongak, tapi tidak mendapati Alya di posisi tadi.'Di mana dia? Apa dia marah dan pergi? Gawat!' batin Bara panik.Wanita genit itu malah tidak mau menjauh. Dia malah mengambil posisi lain-di samping, memeluk dan memainkan dada Bara."Kamu! Kubilang kita bicara di sofa saja dan jangan seperti ini. Lepas!" Bara berusaha melepas tangan wanita itu.Ivan di sana hanya panik dan bingung. Dia menatap ke atas ada Alya yang masih menguntit dan berpindah-pindah tempat. Di bawah, dia tidak berani bertindak ceroboh pada wanita itu. "Tuan, maafkan saya. Semoga Anda bisa
"Nak Bara, kok bisa seperti ini?" Ayah Alya kaget melihat kondisi menantunya yang duduk di atas kursi roda. "Aku baik-baik saja, Ayah." Bara merasa bersalah saat melihat wajah kecemasan mertuanya."Ya Allah, Nak Bara. Apa yang terjadi, kenapa Alya tidak cerita? Suaminya sampai seperti ini kenapa bisa dirahasiakan dari ayah dan ibu?" Ibu Alya memegang kaki menantunya itu."Akan aku ceritakan di dalam."Bara masuk.Selama ini, rumah itu dijaga ketat oleh bawahan Bara. Entah sisi mana pun, terutama orang tuanya tidak bisa mengusik orang tua Alya."Kecelakaan? Kenapa ayah dan ibu tidak dikasih tahu kemarin?""Alya hanya tidak ingin ayah dan ibu khawatir.""Selama ini kami hanya disuruh di rumah saja, kalau keluar juga dijaga sama orang-orang badan besar. Bosen, sampai kemarin ibu bilang sama Alya agar kalian datang berkunjung. Tapi dia buat alasan terus. Nggak tahunya ternyata kamu sedang sakit.""Ayah, Ibu. Aku kemari ingin minta do'a agar semua lancar. Aku akan menjalani pengobatan kak
"Terjadi sesuatu pada Tuan Bara di sana, Nyonya. Anda diharap segera menyusul. Tuan Bara sangat butuh dukungan Anda saat ini. Dia-" Deg! Alya terhuyung memegang sisi sofa. Dia yang sedang berdiri melangkah pelan duduk di sofa. Tangannya langsung bergetar. Pikirannya sudah merambah pada praduga negatif. Jantungnya berdetak sangat kencang. Buliran keringat bahkan membasahi kening."Mas ...." Sesak rasanya. Alya hanya bisa menangis tanpa suara."Anda baik-baik saja, Nyonya?"Alya mengangguk. "Suamiku. Ya, aku harus cepat menyusulnya. A-aku akan bersiap."Alya gegas bersiap untuk menyusul Bara. Pikirannya sudah berkecamuk banyak macam.Wanita itu tidak berani bertanya apa pun pada bawahan Bara. Kenapa suaminya? Apa dia masih bernafas? Alya tidak sanggup meluapkan rasa takutnya. Dia takut akan mendapat jawaban yang tidak kuat didengar.'Mas, jangan berani macam-macam di sana! Jangan berani tidak sembuh! Jangan berani membuatku sendirian lagi. Aku mencintaimu Mas. Aku mau bersabar sampai m