"Alya? Gawat." Mata Bara membeliak saat mendengar suara pintu. Dia cepat berpikir membuat gaya aman. Pria itu celingukan sambil mengusap lehernya gusar.'Jika loncat dan berlari, apa akan aman? Lebih baik pelan-pelan dan lihat situasinya. Kalau pas loncat dia lihat, tamat riwayatku.'Posisinya masih ada di pintu balkon. Jarak antara balkon dengan ranjang lebih dari 5 langkah kakinya. Sedang istrinya ....Alya melangkah cepat buru-buru karena khawatir meninggalkan suaminya sendirian terlalu lama. Jadi dia bisa secepatnya berada di area kamar lagi."Mas Bara," lirih Alya masih bingung dan tertegun melihat suaminya.Langkahnya langsung terhenti saat melihat suaminya dalam posisi setengah berdiri. Dia berkedip-kedip memastikan pandangannya, tapi dalam hitungan detik sekarang suaminya sudah dalam posisi selonjor. Suaminya itu ada di sekitar dua langkah dari ranjang."Mas Bara, kamu kok?" Alya gegas menghampiri suaminya dengan cemas.Bara lantas memasang wajah sendu sambil memegang kakinya
"Alya?" Bara membelalak saat sedikit mendongak dan menangkap keberadaan istrinya.Padahal posisi wanita genit itu semakin dekat, bahkan wajah wanita itu mendekat pada wajah Bara dengan sedikit membungkuk dengan dada dimajukan ada Bara.Wanita itu adalah anak pengusaha kelas atas yang sangat berpengaruh dan merupakan salah satu kolega Bara."Bisakah kamu menjauh, kita bicara di sofa saja." Bara mendorong kuat wanita itu sambil mendongak, tapi tidak mendapati Alya di posisi tadi.'Di mana dia? Apa dia marah dan pergi? Gawat!' batin Bara panik.Wanita genit itu malah tidak mau menjauh. Dia malah mengambil posisi lain-di samping, memeluk dan memainkan dada Bara."Kamu! Kubilang kita bicara di sofa saja dan jangan seperti ini. Lepas!" Bara berusaha melepas tangan wanita itu.Ivan di sana hanya panik dan bingung. Dia menatap ke atas ada Alya yang masih menguntit dan berpindah-pindah tempat. Di bawah, dia tidak berani bertindak ceroboh pada wanita itu. "Tuan, maafkan saya. Semoga Anda bisa
"Nak Bara, kok bisa seperti ini?" Ayah Alya kaget melihat kondisi menantunya yang duduk di atas kursi roda. "Aku baik-baik saja, Ayah." Bara merasa bersalah saat melihat wajah kecemasan mertuanya."Ya Allah, Nak Bara. Apa yang terjadi, kenapa Alya tidak cerita? Suaminya sampai seperti ini kenapa bisa dirahasiakan dari ayah dan ibu?" Ibu Alya memegang kaki menantunya itu."Akan aku ceritakan di dalam."Bara masuk.Selama ini, rumah itu dijaga ketat oleh bawahan Bara. Entah sisi mana pun, terutama orang tuanya tidak bisa mengusik orang tua Alya."Kecelakaan? Kenapa ayah dan ibu tidak dikasih tahu kemarin?""Alya hanya tidak ingin ayah dan ibu khawatir.""Selama ini kami hanya disuruh di rumah saja, kalau keluar juga dijaga sama orang-orang badan besar. Bosen, sampai kemarin ibu bilang sama Alya agar kalian datang berkunjung. Tapi dia buat alasan terus. Nggak tahunya ternyata kamu sedang sakit.""Ayah, Ibu. Aku kemari ingin minta do'a agar semua lancar. Aku akan menjalani pengobatan kak
"Terjadi sesuatu pada Tuan Bara di sana, Nyonya. Anda diharap segera menyusul. Tuan Bara sangat butuh dukungan Anda saat ini. Dia-" Deg! Alya terhuyung memegang sisi sofa. Dia yang sedang berdiri melangkah pelan duduk di sofa. Tangannya langsung bergetar. Pikirannya sudah merambah pada praduga negatif. Jantungnya berdetak sangat kencang. Buliran keringat bahkan membasahi kening."Mas ...." Sesak rasanya. Alya hanya bisa menangis tanpa suara."Anda baik-baik saja, Nyonya?"Alya mengangguk. "Suamiku. Ya, aku harus cepat menyusulnya. A-aku akan bersiap."Alya gegas bersiap untuk menyusul Bara. Pikirannya sudah berkecamuk banyak macam.Wanita itu tidak berani bertanya apa pun pada bawahan Bara. Kenapa suaminya? Apa dia masih bernafas? Alya tidak sanggup meluapkan rasa takutnya. Dia takut akan mendapat jawaban yang tidak kuat didengar.'Mas, jangan berani macam-macam di sana! Jangan berani tidak sembuh! Jangan berani membuatku sendirian lagi. Aku mencintaimu Mas. Aku mau bersabar sampai m
Matahari belum tampak, tapi dua pasang mata itu sudah terbuka.Dua insan saling mendekap di bawah selimut putih tanpa sehelai benang pun. Mereka masih menikmati sisa rasa cinta yang selama beradu hangat.Bara mengecup rambut istrinya berkali-kali. Akhirnya ... dia mendapatkan raga dan hati Alya."Terima kasih sudah menerima hatiku, Al.""Terima kasih telah mencintaiku, Mas."Bara semakin mengeratkan pelukannya. "Aku berharap di sini segera datang buah cinta kita, Sayang.""Amin," cicit Alya. Dia tersenyum di sandaran dada bidang suaminya. Rasanya sungguh bahagia, seorang pria dengan tingkat harta dan tahta tinggi menginginkan anak dari rahimnya."Aku ingin punya lima anak. Jika pria pasti akan tampan sepertiku, dan jika wanita pasti akan mewarisi kecantikanmu.""Lima?" Alya melipat bibirnya.Mereka terus tersenyum-senyum sendiri karena gejolak kebahagiaan yang terus meluap.Sekian saat.Seketika Alya teringat sesuatu. Dia lantas mendongak. "Bukankah Mas mau mengakui sesuatu? Sekarang
Kini, Alya telah berbalut dress muslimah elegan warna putih. Bara juga memakai setelan jas warna putih. "Aku nggak mau lagi kena prank kamu, Mas. Jujur kita mau ke mana sekarang? Pakaian couple seperti ini, nggak mungkin kan kalau kita mau jalan-jalan di jalan kota ini?" "Kita akan datang ke pesta dan aku akan mengenalkanmu pada beberapa temanku. Aku ingin mereka tahu seperti apa wajah cantik istriku." Alya tersenyum manis. "Nggak malu kalau mereka tahu kamu menikahi janda? Bukan anak pengusaha lagi." "Memangnya dosa apa aku menikahi janda? Aku hanya menikahi wanita yang kucintai. Janda atau perawan aku nggak buat standar dalam hal itu." "Jangan membual." Alya tersenyum lebar. Hatinya terus dibuat berbunga-bunga oleh suaminya. "Bukannya kamu bilang aku harus jujur?" --- Tiba di sebuah restoran mewah kota itu. Bara sengaja booking restoran itu jauh hari. Kini di tempat itu sudah sangat ramai di penuhi rekan pengusaha dan teman sekolah Bara. Ya, semua seperti yang tela
"Kamu panggil kami apa?" Mata Desi nyalang pada Alya. Alya meremas tautan tangannya. "Maaf, Tuan, Nyonya. Maaf, karena saya telah ada di tengah Anda berdua dan Mas Bara. Jika memang Anda berdua ingin Mas Bara bahagia, mohon Carikan wanita yang lebih dariku, tapi yang disukai Mas Bara." Dia menunduk menahan tangis. Desi memegang tangan Alya yang bertaut. "Panggil kami Papa dan Mama." Deg! Alya sontak mendongak. Dia menatap tak percaya pada dua paruh baya di depannya itu. Sedang Bara tersenyum dengan mata berkaca. Dia cepat mendekat pada kedua orang tuanya. "Papa dan Mama bilang apa pada istriku?" Bara ingin meyakinkan sekali lagi. "Istrimu adalah menantu kami, Bara." Yudha menepuk bahu anaknya. Bara lantas memeluk ayah dan ibunya bersamaan. "Makasih, Pa, Ma. Aku tahu kalian akan melakukan hal ini." Alya menutup mulutnya dengan dua tangan. Dia menangis, tangisan haru bahagia karena kesabarannya benar-benar terbayarkan. Ketulusannya benar-benar terbaca oleh mertuanya.
"Bayimu sudah pasti akan mati dan tidak mungkin bisa diselamatkan. Dokter sudah angkat tangan dan diperkirakan hanya bisa hidup kurang dari seminggu. Jadi dari pada kamu sedih, lebih baik aku beli bayi itu. Aku pasti akan memakankan dengan kayak."Orang tua bayi malang itu saling pandang. Dari keluarga sangat miskin yang tidak mungkin bisa mengupayakan pengobatan terbaik untuk anaknya. Apalagi dengan kondisi yang sangat jelas."Beberapa yang akan Anda bayar untuk bayi kami?" Dalam hati Ayah bayi itu tidak mau melewatkan kesempatan.Sedang ibu bayi hanya diam. Sedari tadi ingin bicara, tapi tak mampu. Bukan karena masih lemah setelah melahirkan, tapi karena suaminya mengancam dan menekan sedemikian rupa agar mau mengikutinya."300 juta. Sangat cukup besar untuk bayi sekaratn dan 100 juta untuk uang tutup mulut kalian," ucap Desi dengan senyum kecut."Baik, deal."Akhirnya Desi dan Yudha mendapat pion utama. Selama ini mereka berdua sudah cukup sabar. 1 tahun, mereka membiarkan Bara ana