Sebuah mobil berhenti tak jauh dari rumah duka. Mobil yang ditumpangi oleh tiga orang gadis muda yang terlihat matanya mengmbang oleh air mata. Dengan tergesa ketiga gadis itu turun dari mobil, kedatangan mereka ternyata yang paling ditunggu dari semua yang berada di rumah duka itu. Mereka adalah yang paling terakhir datang sebelum jenasah akan diberangkatkan ke pemakaman umum yang agak jauh dari rumah duka.
Anggota keluarga yang sudah datang lebih awal sebagian besar berdiri di tepi jalan depan rumah, mereka menyambut ketiga gadis itu. Memeluk mereka dengan erat, membisikkan sapaan dan kata-kata penghiburan untuk ketiga gadis itu.
“Syukurlah kalian sampai dengan cepat, Kalian memang gadis-gadis hebat yang kuat... ” bisik Tuan Lukman dan Tuan Frans hampir bersamaan sambil menepuk pelan bahu ketiga gadis itu bergantian.
Ke tiga gadis itu adalah Luna, Shinta dan Lili, mereka langsung menghampiri papanya, yang menyambut mereka dengan pelukan. Papa memeluk mereka dalam satu pelukan bersama. Ada air mata yang sempat menetes di mata Papa. Namun cepat-cepat dihapusnya dengan punggung tangannya.
“Kalian sempat beristirahat?” tanya papanya sambil melepaskan pelukannya.
Lili, Shinta, dan Luna saling bertatapan. Mereka bahkan tak memikirkan hal itu. Bahkan mobil mereka terus melaju sepanjang waktu dan sama sekali tidak beristirahat di perjalanan ke sini. Semua karena mereka tak mau ketinggalan waktu untuk datang tepat waktu sebelum pemakaman.
Nyonya Ambarwati dan Mama mereka mendekat. Lalu mereka bergantian memeluk Luna. Mengusap-usap kepala gadis itu. Menghapus air matanya. Menggandengnya ke dalam rumah.
“Mama nggak sedih?” tanya Luna perlahan di telinga mamanya, mamanya menatap Luna lalu berkata lembut.
“Nggak Non. Insya Allah Mama sudah ikhlas melepas eyang putri,” jawab Mama.
Panggilan 'Non' adalah salah satu panggilan khusus Mama untuk ketiga anak gadisnya.
“Nanti saja kita bicara ya? Nanti kita akan cerita-cerita semua ,” kata nyonya Ambarwati sambil menatap ketiga cucunya.
“Baik, Uti,” kata mereka hampir bersamaan.
Tak lama, beberapa pria mengangkat peti jenazah untuk dibawa ke halaman depan. Para pelayat yang sudah berkumpul terlihat berdiri berdekatan. Saling berangkulan. Saling menguatkan.
Mata Luna kembali berkaca-kaca, masih mellekat di matanya sosok Eyang Putrinya. Eyang putri adalah seseorang yang memenuhi seluruh memori masa kecilnya, kini dia telah pergi dipanggil Yang Maha Kuasa. Sosok wanita baik hati yang setiap pagi selalu mengantarkannya ke sekolah taman kanak-kanak, menyuapinya dengan kue-kue tradisional buatannya sendiri, juga hampir setiap malam membacakannya kisah-kisah inspiratif dari majalah Islami langganannya.
Luna pun selalu antusias mendengarkan saat dia bersiaran di Radio Bercahaya selama setahun lebih tiap Minggu pagi, selalu ingat ulang tahun semua anggota keluarga besar, kini telah pergi. Di belakangnya, keempat putra-putri Eyang yang lain menangis. Lili dan Shinta bersama para sepupu pun meneteskan air mata. Laras mendekat. Lembut menyodorkan sehelai tissue.
“Aku tidak percaya.., eyang putri kini telah tiada,” desah Laras. Gadis 21 tahun itu membantu Luna menghapus air matanya.
“Iya, aku juga.” jawab Luna sambil mengambil tisu dari tangan Laras.
Prosesi pengantaran jenasah akan di mulai, seorang pria paruh baya maju. Dia mewakili keluarga besar memberikan sambutan sebelum pemakaman dimulai. Satu ucapannya sempurna menyentuh langaung ke hati Luna.
“Hanya satu teman yang paling dekat di dunia ini, dia adalah kematian.”
Tepat pukul sepuluh, jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Para pelayat bergegas mengikuti dengan menggunakan beberapa unit kendaraan pribadinya. Mereka yang ingin mengantar almarhumah ke peristirahatan terakhir. Satu per satu mobil meluncur menuju tempat pemakaman.
Shina salah satu sepupu Luna, mengemudikan mobilnya. Dia berusaha mengemudikan mobilnya untuk tidak mengebut seperti saat dia memburu waktu tadi. Gadis 23 tahun ini sekarang terlihat lebih tenang dan tak tergesa-gesa. Lili duduk di sampingnya sambil memangku Zaki, adik sepupu mereka yang masih berusia 7 tahun. Di jok tengah duduk Papa, Laras dan Luna. Sedangkan di jok belakang ada Mama dan nyonya Ambarwati yang terlihat hanya diam dan termenung.
Keheningan seakan mengisi mobil tersebut, masing-masing orang sibuk dengan pikirannya sendiri, sibuk dengan kehilangan yang begitu terasa menusuk di hati mereka. Walau masing-masing berusaha untuk terlihat tegar dan kuat.
“Laras tolong Ceritakan padaku kronologinya,” bisik Luna pada Laras yang ada di sampingnya.
Laras menoleh ke arah Luna, lalu dia menghela nafas dalam-dalam. Meremas tisu yang ada dalam genggamannya. Perlahan dia mulai bercerita dengan suara yang pelan. Luna dengan serius mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Laras dan terus mendengarkan hingga selesai.
“Semoga eyang putri husnul khotimah, dilapangkan kuburnya, diterangkan kuburnya, dan diterima di sisi Allah SWT,” ucapnya dengan lirih saat Laras selesai bercerita.
“Aamiin.”
Namun tiba-tiba Shinta menghentikan mobil dengan mendadak. Shinta mengerutkan dahi, wajah cantiknya terlihat kebingungan. Sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dia melirik ke sana ke mari sambil memperhatikan jalan.
“Ada apa, Shinta?” Papa bertanya cemas.
“Maaf Pa, seperti aku sudah lupa jalan ke pemakamannya. Apa bisa pakai GPS aja ya?” kata Shnta sambil menoleh ke arah Papanya.
“Nggak, nggak usah. Ikuti mobilnya Om di depan. Ayo Gadisku, ikuti mobilnya,” kata Mama dari jok belakang sambil menunjuk ke arah mobil yang bari saja melintas melewati mobil mereka.
Shinta cepat-cepat menyalakan lagi mesin mobilnya dia langsung menuruti perkataan Mama. Shinta melajukan mobilnya mengikuti Inova milik Tuan Daus. Lili melirik adiknya sekilas, dia tak sempat menyarankan atau berpendapat pada Shinta, sebab terlalu sibuk mendengarkan celotehan Zaki. Pemuda kecil di pangkuannya ini begitu ekspresif dan banyak bicara.
“Mbak boleh tahu, Rankingmu naik, Dek?
"Tenti saja mbak, rangkingku naik terus," jawab Zaki.
"Kamu Pinter ya dek, trus gimana shalat Dhuha-nya?"
"Insya Allah kak, aku selalu sempatkan, aku juga belajar jadi imam loh kak," katanya dengan bangga.
"Alhamdulillah, kakak senang mendengarnya, kalau Kamu jadi Imam,” puji Lili sambil tersenyum pada Zaki.
lima belas menit kemudian, mereka tiba di pemakaman. Mobil-mobil berderet rapi. Luna mulai memperhatikan setiap mobil itu dengan Sepasang mata kelabu miliknya. Dia meneliti deretan mobil seakan sedang mengharapkan sesuatu.
“Kakak, Keluarga di Surakarta sudah diberi tahu?” tanya saat tak menemukan yang dicarinya.
“Sudah, mereka sudah di britahu,” jawab Laras.
Luna sesaat terdiam lagi, lalu tiba-tiba dia menepuk dahinya sendiri.
“Oh iya... harusnya aku kasih tahu Mas Indra tadi.”
“Nanti saja Luna, Tadi mereka sudah ngucapin bela sungkawa kok,” jawab Laras pelan.
Di gerbang pemakaman tuan Daus menyalami Luna dengan erat, dia adalah mantam hypnotherayst. Dia menempelkan keningnya di kening Luna.
“Kalian memang jagoan..., kamu dan Mbak-Mbakmu bisa datang secepat dengan secepat ini. Jazakillah...” pujinya sambil mengelus pundak Luna.
Luna hanya tersenyum, dia lalu melanjutkan langkahnya ke dalam lokasi pemakaman dan bergabung bersama Mama, Nyonya Ambarwati, Laras, Ishak, dan Kevin.
Upacara pemakaman dimulai dan berlangsung. Para pelayat mengikutinya setiap prosesi dengan khidmat. Doa-doa mengalir dan dilantunkan penuh ketulusan. Disetiap doa ada kesedihan, namun ada pula keikhlasan melepas almarhumah eyang putri.
Taburan bunga di atas pusara eyang putrinya, menjadi perlambang betapa wangi dan indahnya keikhlasan dari semua anggota keluarga yang di tinggalkan. Doa-doa punnterus dipanjatkan sebagai pelipuran hati. Kesedihan berganti dengan rasa ikhlas dan kehilangan bergantk dengan ketelaan hati untuk melepas.
***
Usai pemakaman, keluarga besar berkumpul. Bersama-sama bangkit dari kesedihan. Syukurlah mereka semua cepat melepaskan diri dari deraan kesedihan dan cepat mengikhlaskan. Mereka semua senang bercanda. Apa pun bisa mereka jadikan bahan candaan dan bisa membuat mereka tertawa.Saat si kecil Zikri yang tampan dan adiknya yang cantik, Fitri, tiba di rumah, suasana hangat dan ceria makin terasa. Celotehan Fitri dan tingkah lucu Zikri amat menggemaskan.“Zikri... sini Sayang, sini. Aduh, kamu ganteng banget sih. A
“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.“Mama mau kemana?” tanyanya.“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.“Iya...”“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.“Anakmu bersamaku.”Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Su
Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda.Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.“Lho, kenapa Mama tiba-tiba
Menjelang dini hari Luna terbangun, dia tak menemukan Shinta tidur di sampingnya. Dengan perasaan khawatir, dia pun mencari Shinta dan dia terkejut saat mendapati Shinta kakaknya tidur di kamar sebelah. Kamar tempat eyang putrinya di temukan meninggal. Shinta tergeletak tidur di sana dengan laptop yang masih menyala. Luna hanya menggelengkan kepalanya saat mendapati Shinta yang seperti itu.Rupanya Semalaman Shinta berkutat dengan pekerjaannya, Luna menarik napas dalam -dalam dengan tingkah kakaknya itu. Sudah jadi kebiasaan Shinta jika mengejar deadline pasti akan seperti itu. Shinta memang sudah sangat kental dengan sifat pekerja kerasnya, yang tentunya dia warisi dari Mama. Tapi bukan hanya Shinta yang seperti itu Luna dan Lili juga sudah tak biasa dielakkan lagi dan seluruh keluarga besarnya mengakui hal itu.Luna menyelimuti kakaknya yang tertidur pulas, dia tersenyum kecil melihat Shinta yang tak ada takut-takutnya tidur di kamar eyang putri sendiri
Hari ini Luna bersama Syifa sedang berada di rumah duka, Dewa pacar Syifa telah meninggal dunia. Dia terus menangisi kepergian pacarnya itu. "Luna, aku masih belum bisa mempercayai kalau Dewa sudah enggak ada, aku tak percaya ini.....," isak Syifa di pelukan Luna. Syifa gadis cantik berdarah sunda itu langsung Shock saat mendapat kabar kematian Dewa kekasihnya. Gadis supel yang berperasaan tajam dan penyabar. Sejak Luna mengenalnya, dia selalu memprioritaskan orang lain, jarang sekali Luna melihat Syifa mementingkan egonya sendiri. Selama mereka sekolah di SMAN Bunga Bangsa, Syifa aktif menjadi pengurus OSIS bahkan dia sampai menjabat selama 2 periode. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan rasa sosial dan pandai. Dia juga terkenal sangat ekspresif ketika mengikuti teater di sekolah. Setelah lulus Syifa menempuh S1 di Psikologi Linguistik dan menjadi salah satu pelatih teater di kampusnya. Dia juga salah satu alumni yang masih peduli dan masih ser
Syifa Amalia, gadis itu menyeka air matanya. Air mata duka tepatnya. Sepasang mata beningnya menatap sendu pada sepasang nama yang terukir indah di pelaminan. Atmosphere bahagia yang mengisi setiap sudut ballroom hotel ini bukanlah miliknya, musik romantis yang di mainkan pianis itu dengan jemarinya pun bukan untuknya. Begitu pun keluarga besar yang berkumpul, semua bukan keluarganya walau sesungguhnya sebagian besar dari mereka dia sudah mengenalnya.Pesta pernikahan Reno yang mau tak mau harus dia hadiri karena janjinya sendiri, ini perpisahannya untuk hatinya."Selamat berbahagia Reno dan selamat tinggal, aku melepasmu bukan berarti karena aku tak mencintaimu lagi....," kata Syifa dalam hati sambil menatap ke pelaminan.Pesta pernikahan yang sudah berhasil mematahkan hati gadis cantik berdarah sunda yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang perawat. Syifa Amalia melepas cinta pertamanya untuk wanita lain yang sudah dipilih.***Arun turun dari mobilnya, dia melangkah tertatih memasu
Menjelang tengah malam, Syifa kembali mengontrol ruang rawat. Dia terkejut saat menyadari kalau Arun masih berada di samping tempat tidur gadis yang tadi sore terluka di gendongannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, Arun harusnya beristirahat di ruangannya bukan menunggui gadis kecil ini."Hai, kamu kenapa masih di sini?" Kata Syifa dengan pelan menghampiri kasur di mana gadis kecil itu terbaring dan belum sadarkan diri."Iya, aku sudah janji pada gadis kecil ini untuk tidak meninggalkannya," jawab Arun."Tapi bukannya kamu harus istirahat juga. Ohh maaf aku sudah banyak tahu tentangmu dari dokter Tiara dan dokter Aris," jawab Syifa cepat sebelum Arun menanyakannya."Oh...., mereka sudah cerita banyak. Rupanya kita belum kenalan, siapa namamu?""Aku Syifa." Kata Syifa sambil mengulurkan tangannya."Sepertinya aku tak perlu menyebut namaku ya, hehe...," kata Arun sambil menyambut uluran tangan Syifa."Iya aku tahu, ta
Keesokan paginya Luna bangun, lingkaran hitam terlihat di keliling matanya. Setelah mengambil wudu lalu melaksanakan Shalat subuh, masih ada air mata yang mengalir di kedua matanya. Saat doa yang dia panjatkan untuk Arun, pemuda yang begitu melekat di hatinya.Matanya tertuju pada rekaman semalam, menurut para ahli terapi, musik salah satu sarana yang mampu menguatkan dan menghibur hati secara psikologis, apalagi musik instrumen. Musik juga mampu memulihkan kesehatan jiwa seseorang.Kepercayaan dari ilmu psikologi itu, yang membuat Luna yakin untuk mengirim rekaman musik dari permainan pianonya semalam untuk Arun. Sebenarnya dia tak sabar menunggu tanggapan Arun saat rekaman itu sudah terkirim, dia berharap rekaman itu mampu membantu Arun melewati semua kesulitan yang sedang dia hadapi dan rasa sakit dari penyakit yang selama ini belum tuntas proses penyembuhannya.Setiap hari dia menunggu kabar dari Arun dan seminggu kemudian, di pagi hari saat be
Pagi tadi saat Luna dan Mamanya baru sampai di rumah eyang putri, suasana rumah sudah ramai dengan celoteh para saudara sepupu Luna. Seperti saat ini, Luna yang duduk di bangku taman belakang sambil memandang Radit yang sedang bermain dengan Andi. "Lihat Andi, kakak bisa bikin bintang dengan karet ini," seru Radit sambil memperlihatkan benda yang membentuk bintang berukuran kecil di tangannya. Andi yang masih berumur 5 tahun itu tertawa dengan riang sambil menerima bintang dari karet yang ada di tangan Radit. Dia lalu berlari menghampiri sepupu yang lebih kecil, Fitri dan Zikri. Radit terus memperhatikan ketiga sepupu kecilnya sambil tersenyum. Pemuda berumur 16 tahun itu sangat menyukai anak-anak, mungkin karena dia sering merasa kesepian saat berada di rumah. Luna yan
Hari minggu yang cerah, rumah keluarga Kusuma terlihat sangat ramai. Luna kedatangan saudara-saudara sepupunya, tapi hanya Radit yang sekarang ada di sampingnya dan berbicara berdua. Mereka banyak memiliki kesamaan, bahkan bisa saling berbagi cerita. Meskipun Radit lebih muda 3 tahun dari Luna. Mereka bernyanyi bersama, saling menumpahkan kegelisahan lewat lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Hanya saja kadang mereka merasa kesal, karena selalu dianggap anak kecil oleh orang-orang dewasa di sekeliling mereka."Hai...., kamu pasti sedang mengingat dia ya?" Kata Luna menggoda Radit dengan mengerlingkan sebelah matanya.Radit hanya tersenyum, pikirannya memang sedang melayang pada gadis pujaannya. Gadis cantik keturunan Gorontalo yang sejak bertemu pertama kali saat penerimaa
Hari ini jadwal Luna untuk siaran, tidak seperti waktu itu. Kali ini Luna sudah sangat siap dengan materi yang akan dibahasnya. Siarannya akan dimulai beberapa saat lagi. Siaran pun diawali dengan alunan lagu cinta dari Afgan. Kali ini Luna membawakan siaran program siaran Indigo."Halo sahabat, kita ketemu lagi di indigo..., Interaktif, Dialogis, On Air. Bersama saya Luna Swastamita. Okey sahabat, hari ini kita bakalan bahas apa nih?" Kata Luna dengan nada suara yang ceria.Di depannya ada Intan dan Anisa yang menjadi pendamping siaranya sekaligus narasumber.“Halo Luna, halo Anisa, halo sahabat. Hari ini kita bakal bahas tentang Pergaulan Bebas Masa Kini. Sahabat Kreatif tahu nggak tahu nggak sih? Tanpa sadar kita bisa terseret pada pergaulan bebas. Sahabat Kreatif pasti sering juga kan melihat tayangan di televisi dan media sosial,” sambung Intan.“Iya itu benar sekali, Intan. Pergaulan bebas masa kini sangat rentan terjadi pada usia
Pagi yang cerah di hari minggu, sejak tadi Luna bersama mamanya berada di halaman belakang. Mereka tampak kompak menyiram tanaman-tanaman kesayangan yang tumbuh subur di halaman belakang rumah. Hari ini Luna juga sengaja mengosongkan semua jadwalnya, entah ada dorongan apa masuk ke hatinya. Dia hanya merasa ingin berada di rumah seharian ini."Non, hari ini kamu benaran enggak akan ke ikut mama ke rumah tante Hilda?" tanya mamanya sambil menoleh ke arah Luna."Maaf ya Ma, Luna hanya ingin di rumah saja hari ini," kata Luna sambil tersenyum."Yaa...., enggak apa-apa sih. Barangkali saja kamu berubah pikiran," kata Mamanya sambil tersenyum.Hari ini Mama dan Papanya memang akan pergi ke rumah salah satu adik papa yang tinggal di daerah lembang. Tapi Luna bersikeras untuk tak mau ikut dan memilih untuk melewatkan waktunya dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Seperti dugaannya ketika mama dan papanya sudah berangkat, suasana rumah m
Hymne universitas dibawakan dengan penuh penghayatan, diiringi denting lembut piano. Grup paduan suara berdiri dengan formasi sikap sempurna, alunan suara alto, sopran, tenor dan bass berpadu membentuk sebuah harmoni. Tak ada yang ingin menonjol semua bernyanyi mengikuti nada yang memiliki porsi masing-masing dengan kekuatan dan semangat yang sama.Riuhnya tepuk tangan penonton menjadi sebuah tanda dari suksesnya penampilan mereka malam ini, satu per satu anggota paduan suara turun dari panggung. Mereka saling memberi selamat, berpelukan dan berteriak riang. Penampilan yang luar biasa malam ini menjadi sebuah kebanggaan mereka. Malam yang bertabur bintang menjadi refleksi dari suasana hati mereka.“Yes! Yes! Kita tampil dengan sang
Luna beranjak keluar dari kelas, waktu untuk mata kuliah ini sudah berakhir dan dia punya kegiatan lain. Saat sedang berjalan di koridor, seorang pemuda berkemeja biru tua sengaja menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu pun berdiri dua orang gadis berbaju seragam hitam dan putih, seragam yang biasa dipakai saat pentas paduan suara."Hai Luna, dengar-dengar kamu keluar dari group paduan suara ya?" tanya si pemuda tanpa basa-basi.Mendengar pertanyaan itu, Luna terdiam sekaligus merasa terkejut. Dia sama sekali tak keluar dari group paduan suara, walau dia akui dia banyak urusan di luar. Tapi kenapa ada berita itu?"Aku masih di grup kok, tak ada niat juga buat aku keluar," jawab Luna datar."Yang benar, bukannya kau juga gak pernah latihan?" kata gadis yang berdiri di sebelah kanan pemuda berkemeja biru sambil tersenyum sinis."Iya benar, aku gak keluar dari grup paduan suara, yaa walau aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar juga kan?" kat
“Akhirnya aku bisa menemuimu, Arun...,” ucap Luna dengan lirih, Tatapannya tertuju pada pemuda berkemeja putih yang terlihat sangat tampan.Pemuda yang memiliki sepasang mata teduh, senyuman manis, dan suara barithon-nya yang lembut menenangkan. Sebuah perpaduan yang sempurna. Dia juga pemuda yang sederhana. Tak banyak bicara, tak begitu ekspresif, namun tulus dan lembut hati. Pemuda yang sangat mengerti diri Luna luar dalam, di depan pemuda itu, Luna tak pernah ragu menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi lain yang selama ini selalu dia sembunyikan dengan baik agar tak orang lain yang mengetahuinya."Halo Luna," kata Arun sambil menghampiri Luna."Halo Arun, akhirnya aku bisa bertemu denganmu," kata Luna mengulangi ucapannya yang tadi tak terdengar oleh Arun.“Iya. Kita keluar yuk.” ajak Arun sambil meraih tangan Luna.Dia menuntun Luna meninggalkan gedung asrama, merasakan tangan hangat Arun yang menggenggamnya. Dia
Malam semakin beranjak larut, langit bertabur bintang. Luna masih terjaga, di benaknya kini terbayang seraut wajah tampan Arun yang sedang tersenyum padanya."Ahh...., sampai kapan aku bisa menunggumu?" desahnya di sela napasnya yang terasa menyesakkan dada.Hari ini pun Arun belum juga membalas emailnya, seakan tak peduli dengan semua tentang dirinya. Tak ada kata lagi yang ingin dia ungkapkan untuk menghibur hatinya yang memang sangat kesepian.Dia berjalan ke ruang tengah rumahnya, hanya sepi yang dia dapatkan. Kedua orang tuanya belum pulang dari rumah eyang. Matanya terpaku pada seraut senyum papanya yang ada di foto, dia teringat momen sepuluh tahun yang lalu saat usianya baru sembilan tahun. Ketika itu, mamanya sedang pergi ke luar kota untuk perjalanan dinas dari kantornya. Pak Kusuma papanya Luna yang pendiam dan jarang sekali bicara malam itu dengan sabar menemani sambil bercerita.Sebenarnya Eyang putri menawarkan untuk menjaga Luna, hanya saja
Setelah kepergian Hari, Luna terdiam di kamarnya. Dia tahu tak ada maksud lain dibalik kata-kata yang Hari ucapkan padanya, selain rasa kepedulian Hari terhadap dirinya. Di sisi lain dia juga kembali teringat bagaimana awal pertemuannya dengan Arun Bagaskara, pemuda tampan yang telah memikat hatinya di pertemuan itu.Pemuda itu tersenyum, yang membuat wajahnya semakin menawan. Gadis bergaun biru muda itu tak puas-puasnya menatap wajah itu. Wajah yang tampan dengan sepasang mata yang teduh, membuat hatinya merasa tenang. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, menambah sempurna penampilannya. Dia akui figur Arun sangat mem-pesona dengan segala kesederhanaannya.Luna mencoba untuk meraih tangan kokoh dari pemuda itu, namun tiba-tiba semua buyar dengan berkumandangnya adzan subuh. Gadis itu buru-buru bangun sambil mengusap wajahnya."Ahhh..., rupanya aku memimpikannya kembali," gumamnya pelan.Dia pun turun dari ranjangnya, lalu menuju kamar