Malam semakin beranjak larut, langit bertabur bintang. Luna masih terjaga, di benaknya kini terbayang seraut wajah tampan Arun yang sedang tersenyum padanya.
"Ahh...., sampai kapan aku bisa menunggumu?" desahnya di sela napasnya yang terasa menyesakkan dada.
Hari ini pun Arun belum juga membalas emailnya, seakan tak peduli dengan semua tentang dirinya. Tak ada kata lagi yang ingin dia ungkapkan untuk menghibur hatinya yang memang sangat kesepian.
Dia berjalan ke ruang tengah rumahnya, hanya sepi yang dia dapatkan. Kedua orang tuanya belum pulang dari rumah eyang. Matanya terpaku pada seraut senyum papanya yang ada di foto, dia teringat momen sepuluh tahun yang lalu saat usianya baru sembilan tahun. Ketika itu, mamanya sedang pergi ke luar kota untuk perjalanan dinas dari kantornya. Pak Kusuma papanya Luna yang pendiam dan jarang sekali bicara malam itu dengan sabar menemani sambil bercerita.
Sebenarnya Eyang putri menawarkan untuk menjaga Luna, hanya saja
“Akhirnya aku bisa menemuimu, Arun...,” ucap Luna dengan lirih, Tatapannya tertuju pada pemuda berkemeja putih yang terlihat sangat tampan.Pemuda yang memiliki sepasang mata teduh, senyuman manis, dan suara barithon-nya yang lembut menenangkan. Sebuah perpaduan yang sempurna. Dia juga pemuda yang sederhana. Tak banyak bicara, tak begitu ekspresif, namun tulus dan lembut hati. Pemuda yang sangat mengerti diri Luna luar dalam, di depan pemuda itu, Luna tak pernah ragu menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi lain yang selama ini selalu dia sembunyikan dengan baik agar tak orang lain yang mengetahuinya."Halo Luna," kata Arun sambil menghampiri Luna."Halo Arun, akhirnya aku bisa bertemu denganmu," kata Luna mengulangi ucapannya yang tadi tak terdengar oleh Arun.“Iya. Kita keluar yuk.” ajak Arun sambil meraih tangan Luna.Dia menuntun Luna meninggalkan gedung asrama, merasakan tangan hangat Arun yang menggenggamnya. Dia
Luna beranjak keluar dari kelas, waktu untuk mata kuliah ini sudah berakhir dan dia punya kegiatan lain. Saat sedang berjalan di koridor, seorang pemuda berkemeja biru tua sengaja menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu pun berdiri dua orang gadis berbaju seragam hitam dan putih, seragam yang biasa dipakai saat pentas paduan suara."Hai Luna, dengar-dengar kamu keluar dari group paduan suara ya?" tanya si pemuda tanpa basa-basi.Mendengar pertanyaan itu, Luna terdiam sekaligus merasa terkejut. Dia sama sekali tak keluar dari group paduan suara, walau dia akui dia banyak urusan di luar. Tapi kenapa ada berita itu?"Aku masih di grup kok, tak ada niat juga buat aku keluar," jawab Luna datar."Yang benar, bukannya kau juga gak pernah latihan?" kata gadis yang berdiri di sebelah kanan pemuda berkemeja biru sambil tersenyum sinis."Iya benar, aku gak keluar dari grup paduan suara, yaa walau aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar juga kan?" kat
Hymne universitas dibawakan dengan penuh penghayatan, diiringi denting lembut piano. Grup paduan suara berdiri dengan formasi sikap sempurna, alunan suara alto, sopran, tenor dan bass berpadu membentuk sebuah harmoni. Tak ada yang ingin menonjol semua bernyanyi mengikuti nada yang memiliki porsi masing-masing dengan kekuatan dan semangat yang sama.Riuhnya tepuk tangan penonton menjadi sebuah tanda dari suksesnya penampilan mereka malam ini, satu per satu anggota paduan suara turun dari panggung. Mereka saling memberi selamat, berpelukan dan berteriak riang. Penampilan yang luar biasa malam ini menjadi sebuah kebanggaan mereka. Malam yang bertabur bintang menjadi refleksi dari suasana hati mereka.“Yes! Yes! Kita tampil dengan sang
Pagi yang cerah di hari minggu, sejak tadi Luna bersama mamanya berada di halaman belakang. Mereka tampak kompak menyiram tanaman-tanaman kesayangan yang tumbuh subur di halaman belakang rumah. Hari ini Luna juga sengaja mengosongkan semua jadwalnya, entah ada dorongan apa masuk ke hatinya. Dia hanya merasa ingin berada di rumah seharian ini."Non, hari ini kamu benaran enggak akan ke ikut mama ke rumah tante Hilda?" tanya mamanya sambil menoleh ke arah Luna."Maaf ya Ma, Luna hanya ingin di rumah saja hari ini," kata Luna sambil tersenyum."Yaa...., enggak apa-apa sih. Barangkali saja kamu berubah pikiran," kata Mamanya sambil tersenyum.Hari ini Mama dan Papanya memang akan pergi ke rumah salah satu adik papa yang tinggal di daerah lembang. Tapi Luna bersikeras untuk tak mau ikut dan memilih untuk melewatkan waktunya dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Seperti dugaannya ketika mama dan papanya sudah berangkat, suasana rumah m
Hari ini jadwal Luna untuk siaran, tidak seperti waktu itu. Kali ini Luna sudah sangat siap dengan materi yang akan dibahasnya. Siarannya akan dimulai beberapa saat lagi. Siaran pun diawali dengan alunan lagu cinta dari Afgan. Kali ini Luna membawakan siaran program siaran Indigo."Halo sahabat, kita ketemu lagi di indigo..., Interaktif, Dialogis, On Air. Bersama saya Luna Swastamita. Okey sahabat, hari ini kita bakalan bahas apa nih?" Kata Luna dengan nada suara yang ceria.Di depannya ada Intan dan Anisa yang menjadi pendamping siaranya sekaligus narasumber.“Halo Luna, halo Anisa, halo sahabat. Hari ini kita bakal bahas tentang Pergaulan Bebas Masa Kini. Sahabat Kreatif tahu nggak tahu nggak sih? Tanpa sadar kita bisa terseret pada pergaulan bebas. Sahabat Kreatif pasti sering juga kan melihat tayangan di televisi dan media sosial,” sambung Intan.“Iya itu benar sekali, Intan. Pergaulan bebas masa kini sangat rentan terjadi pada usia
Hari minggu yang cerah, rumah keluarga Kusuma terlihat sangat ramai. Luna kedatangan saudara-saudara sepupunya, tapi hanya Radit yang sekarang ada di sampingnya dan berbicara berdua. Mereka banyak memiliki kesamaan, bahkan bisa saling berbagi cerita. Meskipun Radit lebih muda 3 tahun dari Luna. Mereka bernyanyi bersama, saling menumpahkan kegelisahan lewat lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Hanya saja kadang mereka merasa kesal, karena selalu dianggap anak kecil oleh orang-orang dewasa di sekeliling mereka."Hai...., kamu pasti sedang mengingat dia ya?" Kata Luna menggoda Radit dengan mengerlingkan sebelah matanya.Radit hanya tersenyum, pikirannya memang sedang melayang pada gadis pujaannya. Gadis cantik keturunan Gorontalo yang sejak bertemu pertama kali saat penerimaa
Pagi tadi saat Luna dan Mamanya baru sampai di rumah eyang putri, suasana rumah sudah ramai dengan celoteh para saudara sepupu Luna. Seperti saat ini, Luna yang duduk di bangku taman belakang sambil memandang Radit yang sedang bermain dengan Andi. "Lihat Andi, kakak bisa bikin bintang dengan karet ini," seru Radit sambil memperlihatkan benda yang membentuk bintang berukuran kecil di tangannya. Andi yang masih berumur 5 tahun itu tertawa dengan riang sambil menerima bintang dari karet yang ada di tangan Radit. Dia lalu berlari menghampiri sepupu yang lebih kecil, Fitri dan Zikri. Radit terus memperhatikan ketiga sepupu kecilnya sambil tersenyum. Pemuda berumur 16 tahun itu sangat menyukai anak-anak, mungkin karena dia sering merasa kesepian saat berada di rumah. Luna yan
Luna tersenyum sambil mengucapkan syukur dalam hatinya, dia kagum dengan perjuangan Arun yang melihat sebuah peluang akan kesembuhan sakitnya Arun. Dia juga sering memperhatikan bagaimana cara Arun menyibukkan dirinya dengan paduan suara dan sesi hipnoterapi dengan salah satu terapis yang baru-baru ini dikunjungnya dan itu membuat banyak kemajuan.Gadis bermata abu ini mulai lihai menyusun kata demi kata dalam merangkum semua cerita yang dia tulis kata per kata dengan meleburkan semua rasa dan dituangkan dalam kertas putih, berharap rasa yang dia tuangkan lewat surat itu bisa sampai pada pria yang namanya tertera di bagian atas kertas itu. Sebuah rasa yang sangat menyenangkan yang dia dengar saat latihan paduan suara, dengan notasi yang lembut hingga membuat alunan irama yang terdengar cantik merdu dan dinyanyikan dengan penuh keyakinan.Surat itu telah selesai dia tulis, dia melipatnya dengan rapi kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna pink, lalu menut
Pagi tadi saat Luna dan Mamanya baru sampai di rumah eyang putri, suasana rumah sudah ramai dengan celoteh para saudara sepupu Luna. Seperti saat ini, Luna yang duduk di bangku taman belakang sambil memandang Radit yang sedang bermain dengan Andi. "Lihat Andi, kakak bisa bikin bintang dengan karet ini," seru Radit sambil memperlihatkan benda yang membentuk bintang berukuran kecil di tangannya. Andi yang masih berumur 5 tahun itu tertawa dengan riang sambil menerima bintang dari karet yang ada di tangan Radit. Dia lalu berlari menghampiri sepupu yang lebih kecil, Fitri dan Zikri. Radit terus memperhatikan ketiga sepupu kecilnya sambil tersenyum. Pemuda berumur 16 tahun itu sangat menyukai anak-anak, mungkin karena dia sering merasa kesepian saat berada di rumah. Luna yan
Hari minggu yang cerah, rumah keluarga Kusuma terlihat sangat ramai. Luna kedatangan saudara-saudara sepupunya, tapi hanya Radit yang sekarang ada di sampingnya dan berbicara berdua. Mereka banyak memiliki kesamaan, bahkan bisa saling berbagi cerita. Meskipun Radit lebih muda 3 tahun dari Luna. Mereka bernyanyi bersama, saling menumpahkan kegelisahan lewat lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Hanya saja kadang mereka merasa kesal, karena selalu dianggap anak kecil oleh orang-orang dewasa di sekeliling mereka."Hai...., kamu pasti sedang mengingat dia ya?" Kata Luna menggoda Radit dengan mengerlingkan sebelah matanya.Radit hanya tersenyum, pikirannya memang sedang melayang pada gadis pujaannya. Gadis cantik keturunan Gorontalo yang sejak bertemu pertama kali saat penerimaa
Hari ini jadwal Luna untuk siaran, tidak seperti waktu itu. Kali ini Luna sudah sangat siap dengan materi yang akan dibahasnya. Siarannya akan dimulai beberapa saat lagi. Siaran pun diawali dengan alunan lagu cinta dari Afgan. Kali ini Luna membawakan siaran program siaran Indigo."Halo sahabat, kita ketemu lagi di indigo..., Interaktif, Dialogis, On Air. Bersama saya Luna Swastamita. Okey sahabat, hari ini kita bakalan bahas apa nih?" Kata Luna dengan nada suara yang ceria.Di depannya ada Intan dan Anisa yang menjadi pendamping siaranya sekaligus narasumber.“Halo Luna, halo Anisa, halo sahabat. Hari ini kita bakal bahas tentang Pergaulan Bebas Masa Kini. Sahabat Kreatif tahu nggak tahu nggak sih? Tanpa sadar kita bisa terseret pada pergaulan bebas. Sahabat Kreatif pasti sering juga kan melihat tayangan di televisi dan media sosial,” sambung Intan.“Iya itu benar sekali, Intan. Pergaulan bebas masa kini sangat rentan terjadi pada usia
Pagi yang cerah di hari minggu, sejak tadi Luna bersama mamanya berada di halaman belakang. Mereka tampak kompak menyiram tanaman-tanaman kesayangan yang tumbuh subur di halaman belakang rumah. Hari ini Luna juga sengaja mengosongkan semua jadwalnya, entah ada dorongan apa masuk ke hatinya. Dia hanya merasa ingin berada di rumah seharian ini."Non, hari ini kamu benaran enggak akan ke ikut mama ke rumah tante Hilda?" tanya mamanya sambil menoleh ke arah Luna."Maaf ya Ma, Luna hanya ingin di rumah saja hari ini," kata Luna sambil tersenyum."Yaa...., enggak apa-apa sih. Barangkali saja kamu berubah pikiran," kata Mamanya sambil tersenyum.Hari ini Mama dan Papanya memang akan pergi ke rumah salah satu adik papa yang tinggal di daerah lembang. Tapi Luna bersikeras untuk tak mau ikut dan memilih untuk melewatkan waktunya dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Seperti dugaannya ketika mama dan papanya sudah berangkat, suasana rumah m
Hymne universitas dibawakan dengan penuh penghayatan, diiringi denting lembut piano. Grup paduan suara berdiri dengan formasi sikap sempurna, alunan suara alto, sopran, tenor dan bass berpadu membentuk sebuah harmoni. Tak ada yang ingin menonjol semua bernyanyi mengikuti nada yang memiliki porsi masing-masing dengan kekuatan dan semangat yang sama.Riuhnya tepuk tangan penonton menjadi sebuah tanda dari suksesnya penampilan mereka malam ini, satu per satu anggota paduan suara turun dari panggung. Mereka saling memberi selamat, berpelukan dan berteriak riang. Penampilan yang luar biasa malam ini menjadi sebuah kebanggaan mereka. Malam yang bertabur bintang menjadi refleksi dari suasana hati mereka.“Yes! Yes! Kita tampil dengan sang
Luna beranjak keluar dari kelas, waktu untuk mata kuliah ini sudah berakhir dan dia punya kegiatan lain. Saat sedang berjalan di koridor, seorang pemuda berkemeja biru tua sengaja menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu pun berdiri dua orang gadis berbaju seragam hitam dan putih, seragam yang biasa dipakai saat pentas paduan suara."Hai Luna, dengar-dengar kamu keluar dari group paduan suara ya?" tanya si pemuda tanpa basa-basi.Mendengar pertanyaan itu, Luna terdiam sekaligus merasa terkejut. Dia sama sekali tak keluar dari group paduan suara, walau dia akui dia banyak urusan di luar. Tapi kenapa ada berita itu?"Aku masih di grup kok, tak ada niat juga buat aku keluar," jawab Luna datar."Yang benar, bukannya kau juga gak pernah latihan?" kata gadis yang berdiri di sebelah kanan pemuda berkemeja biru sambil tersenyum sinis."Iya benar, aku gak keluar dari grup paduan suara, yaa walau aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar juga kan?" kat
“Akhirnya aku bisa menemuimu, Arun...,” ucap Luna dengan lirih, Tatapannya tertuju pada pemuda berkemeja putih yang terlihat sangat tampan.Pemuda yang memiliki sepasang mata teduh, senyuman manis, dan suara barithon-nya yang lembut menenangkan. Sebuah perpaduan yang sempurna. Dia juga pemuda yang sederhana. Tak banyak bicara, tak begitu ekspresif, namun tulus dan lembut hati. Pemuda yang sangat mengerti diri Luna luar dalam, di depan pemuda itu, Luna tak pernah ragu menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi lain yang selama ini selalu dia sembunyikan dengan baik agar tak orang lain yang mengetahuinya."Halo Luna," kata Arun sambil menghampiri Luna."Halo Arun, akhirnya aku bisa bertemu denganmu," kata Luna mengulangi ucapannya yang tadi tak terdengar oleh Arun.“Iya. Kita keluar yuk.” ajak Arun sambil meraih tangan Luna.Dia menuntun Luna meninggalkan gedung asrama, merasakan tangan hangat Arun yang menggenggamnya. Dia
Malam semakin beranjak larut, langit bertabur bintang. Luna masih terjaga, di benaknya kini terbayang seraut wajah tampan Arun yang sedang tersenyum padanya."Ahh...., sampai kapan aku bisa menunggumu?" desahnya di sela napasnya yang terasa menyesakkan dada.Hari ini pun Arun belum juga membalas emailnya, seakan tak peduli dengan semua tentang dirinya. Tak ada kata lagi yang ingin dia ungkapkan untuk menghibur hatinya yang memang sangat kesepian.Dia berjalan ke ruang tengah rumahnya, hanya sepi yang dia dapatkan. Kedua orang tuanya belum pulang dari rumah eyang. Matanya terpaku pada seraut senyum papanya yang ada di foto, dia teringat momen sepuluh tahun yang lalu saat usianya baru sembilan tahun. Ketika itu, mamanya sedang pergi ke luar kota untuk perjalanan dinas dari kantornya. Pak Kusuma papanya Luna yang pendiam dan jarang sekali bicara malam itu dengan sabar menemani sambil bercerita.Sebenarnya Eyang putri menawarkan untuk menjaga Luna, hanya saja
Setelah kepergian Hari, Luna terdiam di kamarnya. Dia tahu tak ada maksud lain dibalik kata-kata yang Hari ucapkan padanya, selain rasa kepedulian Hari terhadap dirinya. Di sisi lain dia juga kembali teringat bagaimana awal pertemuannya dengan Arun Bagaskara, pemuda tampan yang telah memikat hatinya di pertemuan itu.Pemuda itu tersenyum, yang membuat wajahnya semakin menawan. Gadis bergaun biru muda itu tak puas-puasnya menatap wajah itu. Wajah yang tampan dengan sepasang mata yang teduh, membuat hatinya merasa tenang. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, menambah sempurna penampilannya. Dia akui figur Arun sangat mem-pesona dengan segala kesederhanaannya.Luna mencoba untuk meraih tangan kokoh dari pemuda itu, namun tiba-tiba semua buyar dengan berkumandangnya adzan subuh. Gadis itu buru-buru bangun sambil mengusap wajahnya."Ahhh..., rupanya aku memimpikannya kembali," gumamnya pelan.Dia pun turun dari ranjangnya, lalu menuju kamar