“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.
Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.
“Mama mau kemana?” tanyanya.
“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.
“Iya...”
“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.
“Anakmu bersamaku.”
Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.
“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sungguh..,” tukasnya.
“Iya, Uti. Aku percaya Uti bisa merasakan apa yang kurasakan.”
Rumah itu terasa hening. Putra-putri Eyang dan para menantu sebagian besar tertidur. Hanya Papa yang terjaga. Sibuk membersihkan rumah dibantu Tuan Frans, suami Nyonya Ambarwati. Tuan Frans menyapu halaman, Papa membersihkan bagian dalam rumah. Fitri dan Zikri diajak jalan-jalan oleh Sukma. Ishak, Kevin, dan Alan pergi menjemput kerabat mereka di bandara. Sementara Laras, Zaki, Shinta, dan Lili ikut bersama Mama. Situasi seperti ini dimanfaatkan Luna dan Nyonya Ambarwati untuk bicara dari hati ke hati.
“Panggilan adalah misteri. Hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu. Seperti Sandi saja. Dia awalnya mau jadi Romo, apa lagi setelah ke Seminari. Tapi akhirnya dia memutuskan jadi awam.”
Luna mengangguk membenarkan. Teringat cerita anak kedua Nyonya Ambarwati yang pernah terpanggil menjadi Pastor.
“Hidup sebagai Frater tidaklah mudah. Uti punya banyak teman Frater, Romo, dan mantan Frater serta Romo. Uti memahami kesulitan mereka, dan Uti sering bicara dari hati ke hati dengan mereka. Terlebih sewaktu Uti aktif di Mudika beberapa puluh tahun lalu.”
“Aku paham, Uti. Menjalani cara hidup membiara memang tidak mudah. Aku bahkan respek dan salut pada para Religius itu. Sering muncul pertanyaan di hatiku. Bagaimana cara mereka mengatasi kesepian? Apa mereka bahagia? Adakah beban di pikiran mereka? Aku sering kasihan pada mereka,” ungkap Luna.
“Mereka mengatasi kesepian dengan doa.”
Hening sesaat. Tuan Frans datang. Mengulurkan mangkuk berisi buah-buahan. Tersenyum, Nyonya Ambarwati menerimanya. Lembut berujar, “Terima kasih, Pa.”
“Sama-sama. Makanlah. Nanti kalau kurang, kuambilkan lagi.”
Kedua perempuan berbeda generasi itu memakan buah-buahan pemberian Tuan Frans. Luna terkesan pada sikap Tuan Frans. Tipikal suami dan ayah yang baik. Sabar, penuh perhatian, dan pengertian. Ayah tiga anak itu selalu ada untuk keluarganya.
"Luna jatuh cinta padanya, itu tidak salah. Seorang Frater jatuh cinta, itu pun tidak salah. Rasa cinta itu wajar, cinta adalah anugerah dari Tuhan. Kita tidak bisa mencegahnya. Akan ada dua kemungkinan, Luna. Keduanya adalah pilihan terbaik. Kita tidak bisa mendikte Tuhan untuk memberikan pilihan seperti yang kita inginkan, serahkan semua padaNya. Biarkan Tuhan yang mengaturnya.”
“Iya, Uti. Aku hanya bisa menunggu dan menyerahkan segalanya. Bagaimana dengan teman-teman Uti yang menikah dengan mantan Frater, Romo, Bruder, Diakon, atau Suster?”
“Mereka? Mereka sangat bahagia. Mereka mendapatkan figur yang mereka butuhkan dan cintai. Figur yang tulus menyayangi, mencintai, menerima kekurangan, dan memahami mereka luar-dalam.”
Seulas senyum merekah di wajah Luna. Pastilah orang-orang yang menikah dengan mantan kaum berjubah itu bahagia. Mungkin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Kenyamanan dan penerimaan yang tulus. Kebaikan hati dan kelembutan sikap. Kesabaran dan perhatian yang lebih besar. Seperti itulah yang Luna rasakan saat ia dekat dengan kaum Religius.
“Tapi segala sesuatu ada sisi positif-negatifnya. Mereka pun mendapatkan itu.”
“Apa maksud Uti?”
“Luna, sisi positif dan negatif harus kamu pikirkan jika pada akhirnya kamu ditakdirkan hidup bersama mantan Frater.”
Detik berikutnya, Nyonya Ambarwati menjelaskan banyak hal. Luna menyimak, tak satu kata terlewat. Kini ia memahami sisi positif dan negatifnya. Ia jadi tahu banyak hal. Namun justru penjelasan Nyonya Ambarwati menjadi bahan perenungan baginya. Hatinya terasa ringan, tetapi masih banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya.
“Uti bisa memberi pandangan seperti ini,” Nyonya Ambarwati meletakkan tangannya di kepala Luna.
“Karena Uti melihat dan mendengar pengalaman teman-teman yang merasakan itu. Dan... Uti pernah berada di posisi Luna.”
Mendengar itu, Luna membelalakkan mata. Ditatapnya mata Nyonya Ambarwati lekat. Meminta kejujuran. Meminta cerita selengkapnya.
“Beberapa kali, Uti terlibat cinta dengan Frater dan mantan Frater.”
Dugaannya tepat. Ternyata Luna menitipkan rahasia kisah cintanya pada orang yang pernah berada di posisinya. Nyonya Ambarwati pun bercerita. Tentang aktivitasnya di Mudika dan kedekatannya dengan para Frater. Para Frater itu nyaman padanya, dan mulai membuka hati. Di tengah ceritanya, Nyonya Ambarwati terhenti. Tuan Frans menghampirinya.
“Sudah jam tiga. Aku ke dalam sebentar ya,” pamitnya.
“Iya, Pa,” sahut Nyonya Ambarwati hangat.
“Kenapa, Uti?” tanya Luna penasaran.
“Suami Uti mau melakukan doa khusus. Tepat jam tiga, mengenang wafatnya Kristus. Bukankah Kristus wafat jam tiga?” jelas Nyonya Ambarwati retoris.
Memastikan Tuan Frans masuk ke dalam rumah, Nyonya Ambarwati melanjutkan ceritanya. Dari sekian banyak Frater dan eks Frater yang dekat dengannya, ada satu orang yang selalu diingatnya. Seorang mantan Frater yang memiliki terlalu banyak kenangan dengannya. Sampai-sampai ia tidak bisa melupakannya hingga detik ini. Keduanya saling mencintai, namun situasi dan takdir Tuhan tidak berpihak.
“...Mami sangat menyayangi dia. Ketika Papi meninggal, dia yang mengurus semuanya. Dia yang banyak membantu Uti dan Mami. Tapi dia terlalu lama menggantungkan Uti. Uti ingin menunggu, di saat bersamaan Frans datang melamar Uti. Uti kasihan dan tidak bisa menolak. Beberapa tahun setelah pernikahan, dia akhirnya keluar dari biara. Sampai saat ini Uti masih merindukan dan mencintainya.”
Luna terhanyut dalam kisah Nyonya Ambarwati. Baru kali ini ia menemukan partner bicara yang benar-benar mengerti dan pernah berada di posisinya. Ia yakin seratus persen, Tuan Frans tidak tahu soal kisah cinta Nyonya Ambarwati dengan para Frater dan eks Frater.
“Uti menyesal, kenapa Uti terlalu terburu-buru dan tidak bisa menunggu lebih lama? Andai saja Uti bisa bersabar dan tidak mengasihani Frans, situasinya takkan begini. Uti masih menyimpan surat cintanya. Frans pernah menemukan surat itu, lalu dia marah. Tapi tentang hubungan Uti dengan Frater lainnya, dia tidak pernah tahu. Uti tidak bisa terbuka padanya.”
Mata wanita keibuan itu berkaca-kaca. Tanpa kata, Luna memeluknya. Segera saja Nyonya Ambareati menguasai diri.
“Uti sarankan, kamu jangan berharap untuk segera memperoleh jawaban. Biarkan semuanya mengalir mengikuti skenarioNya, jalan terus. Jalani prosesnya, okey? Apa pun jawabannya nanti, itu adalah keputusan terbaik.”
Tak lama, keduanya bangkit. Beranjak ke halaman. Berjalan-jalan di areal taman dan perkebunan yang sejuk itu.
“Jika pada akhirnya dia tetap menjadi Romo, apa yang akan Luna lakukan?” tanya Nyonya.
“Aku akan mendukung dan mengikhlaskannya. Mungkin aku harus mencintainya dengan cara lain, meski aku takkan pernah bisa melupakannya sekali pun aku sudah menikah dengan orang lain. Yah... seperti Uti.”
“Jika dia memutuskan keluar dan memilih panggilan hidup bersamamu?” lanjut Nyonya Ambarwati.
“Aku akan bahagia sekali. Hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Aku tidak akan menyia-nyiakan cinta dari pria sebaik dia. Uti tahu? Dia begitu tampan, baik, pengertian, sabar, tulus, dan lemah lembut. Dia sederhana namun memesona. Aku mencintai Arun sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai Frater.”
Nyonya Ambarwati menggenggam tangan kanannya. Tersenyum, lalu berkata.
“Tadi Mama juga sempat bicara dengan Uti. Mama sudah tahu ya?”
“Sudah, Uti. Bahkan Mama sudah melihat dia.”
Teringat Mama, Luna makin mengagumi partisipasi wanita 51 tahun itu. Mama dan Tuan Daus yang telah banyak membantu semua urusan tadi pagi secara moril dan materil. Mama yang tak pernah lelah mencurahi keluarganya dengan perhatian dan kasih sayang. Mama yang begitu royal mengeluarkan budget jika itu menyangkut keluarga. Masih segar dalam ingatan Luna ucapan Mama dua hari setelah bertemu Arun.
“Mama bahagia kalau kamu bahagia. Jika pada akhirnya kamu memang bersama dia, Mama ikhlas. Tapi... satu hal yang ingin Mama tanyakan. Kenapa kamu bisa menyukai dia?”
Mama sedikit-banyak tahu tentang siapa dan bagaimana latar belakang laki-laki yang disukai tiga anaknya. Beliau selalu tahu, selalu memperhatikan, dan selalu mengerti. Luna tahu pasti, Mamanya adalah wanita yang penuh perhatian, halus perasaannya, dan penuh empati.
Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda.Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.“Lho, kenapa Mama tiba-tiba
Menjelang dini hari Luna terbangun, dia tak menemukan Shinta tidur di sampingnya. Dengan perasaan khawatir, dia pun mencari Shinta dan dia terkejut saat mendapati Shinta kakaknya tidur di kamar sebelah. Kamar tempat eyang putrinya di temukan meninggal. Shinta tergeletak tidur di sana dengan laptop yang masih menyala. Luna hanya menggelengkan kepalanya saat mendapati Shinta yang seperti itu.Rupanya Semalaman Shinta berkutat dengan pekerjaannya, Luna menarik napas dalam -dalam dengan tingkah kakaknya itu. Sudah jadi kebiasaan Shinta jika mengejar deadline pasti akan seperti itu. Shinta memang sudah sangat kental dengan sifat pekerja kerasnya, yang tentunya dia warisi dari Mama. Tapi bukan hanya Shinta yang seperti itu Luna dan Lili juga sudah tak biasa dielakkan lagi dan seluruh keluarga besarnya mengakui hal itu.Luna menyelimuti kakaknya yang tertidur pulas, dia tersenyum kecil melihat Shinta yang tak ada takut-takutnya tidur di kamar eyang putri sendiri
Hari ini Luna bersama Syifa sedang berada di rumah duka, Dewa pacar Syifa telah meninggal dunia. Dia terus menangisi kepergian pacarnya itu. "Luna, aku masih belum bisa mempercayai kalau Dewa sudah enggak ada, aku tak percaya ini.....," isak Syifa di pelukan Luna. Syifa gadis cantik berdarah sunda itu langsung Shock saat mendapat kabar kematian Dewa kekasihnya. Gadis supel yang berperasaan tajam dan penyabar. Sejak Luna mengenalnya, dia selalu memprioritaskan orang lain, jarang sekali Luna melihat Syifa mementingkan egonya sendiri. Selama mereka sekolah di SMAN Bunga Bangsa, Syifa aktif menjadi pengurus OSIS bahkan dia sampai menjabat selama 2 periode. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan rasa sosial dan pandai. Dia juga terkenal sangat ekspresif ketika mengikuti teater di sekolah. Setelah lulus Syifa menempuh S1 di Psikologi Linguistik dan menjadi salah satu pelatih teater di kampusnya. Dia juga salah satu alumni yang masih peduli dan masih ser
Syifa Amalia, gadis itu menyeka air matanya. Air mata duka tepatnya. Sepasang mata beningnya menatap sendu pada sepasang nama yang terukir indah di pelaminan. Atmosphere bahagia yang mengisi setiap sudut ballroom hotel ini bukanlah miliknya, musik romantis yang di mainkan pianis itu dengan jemarinya pun bukan untuknya. Begitu pun keluarga besar yang berkumpul, semua bukan keluarganya walau sesungguhnya sebagian besar dari mereka dia sudah mengenalnya.Pesta pernikahan Reno yang mau tak mau harus dia hadiri karena janjinya sendiri, ini perpisahannya untuk hatinya."Selamat berbahagia Reno dan selamat tinggal, aku melepasmu bukan berarti karena aku tak mencintaimu lagi....," kata Syifa dalam hati sambil menatap ke pelaminan.Pesta pernikahan yang sudah berhasil mematahkan hati gadis cantik berdarah sunda yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang perawat. Syifa Amalia melepas cinta pertamanya untuk wanita lain yang sudah dipilih.***Arun turun dari mobilnya, dia melangkah tertatih memasu
Menjelang tengah malam, Syifa kembali mengontrol ruang rawat. Dia terkejut saat menyadari kalau Arun masih berada di samping tempat tidur gadis yang tadi sore terluka di gendongannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, Arun harusnya beristirahat di ruangannya bukan menunggui gadis kecil ini."Hai, kamu kenapa masih di sini?" Kata Syifa dengan pelan menghampiri kasur di mana gadis kecil itu terbaring dan belum sadarkan diri."Iya, aku sudah janji pada gadis kecil ini untuk tidak meninggalkannya," jawab Arun."Tapi bukannya kamu harus istirahat juga. Ohh maaf aku sudah banyak tahu tentangmu dari dokter Tiara dan dokter Aris," jawab Syifa cepat sebelum Arun menanyakannya."Oh...., mereka sudah cerita banyak. Rupanya kita belum kenalan, siapa namamu?""Aku Syifa." Kata Syifa sambil mengulurkan tangannya."Sepertinya aku tak perlu menyebut namaku ya, hehe...," kata Arun sambil menyambut uluran tangan Syifa."Iya aku tahu, ta
Keesokan paginya Luna bangun, lingkaran hitam terlihat di keliling matanya. Setelah mengambil wudu lalu melaksanakan Shalat subuh, masih ada air mata yang mengalir di kedua matanya. Saat doa yang dia panjatkan untuk Arun, pemuda yang begitu melekat di hatinya.Matanya tertuju pada rekaman semalam, menurut para ahli terapi, musik salah satu sarana yang mampu menguatkan dan menghibur hati secara psikologis, apalagi musik instrumen. Musik juga mampu memulihkan kesehatan jiwa seseorang.Kepercayaan dari ilmu psikologi itu, yang membuat Luna yakin untuk mengirim rekaman musik dari permainan pianonya semalam untuk Arun. Sebenarnya dia tak sabar menunggu tanggapan Arun saat rekaman itu sudah terkirim, dia berharap rekaman itu mampu membantu Arun melewati semua kesulitan yang sedang dia hadapi dan rasa sakit dari penyakit yang selama ini belum tuntas proses penyembuhannya.Setiap hari dia menunggu kabar dari Arun dan seminggu kemudian, di pagi hari saat be
Luna dan Sherin berjalan melewati Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, fakultas teknik, perpustakaan dan cafetaria. Dari arah cafetaria, samar terdengar alunan sebuah lagu yang mengingatkan Luna pada pemuda yang dicintainya. Lirik lagu itu sering mereka berdua nyanyikan saat bermain piano berdua. Sherin yang tahu akan lirik lagu itu, buru-buru memecah kebisuan di antara mereka sejak keluar dari masjid tadi.“Bagaimana kalau kita masuk, Kamu mau makan dulu? Atau aku belikan pizza kesukaanmu ya?” tanya Sherin sambil menoleh pada Luna yang berjalan di sisinya.“Nggak usah kak, aku belum lapar kok,” jawab Luna.“Tapi Kamu harus makan..., nanti kamu sakit,” bujuk Sherin sambil memluk bahu Luna.Namun Luna tetap menolak, Sherin seakan kehabisan akal untuk membujuk Luna. Akhirnya yang dia bisa lakukan hanya tetap berada di samping Luna dan menguatkan hati gadis cantik ini. Luna sangat bersyukur dengan keberadaan Sher
Sampai di rumah Luna, Hari langsung mendatangi gadis itu di ruang tengah yang cukup luas."Hai kak, kita mau langsung take video?" tanya Luna."Boleh, tapi bisakah aku minum dulu?" kata Hari sambil tersenyum."Hehehe...., tentu saja kak, tuh sudah aku siapkan," jawab Luna sambil tertawa.Luna sudah hafal dengan kebiasaan Hari, sebelum melakukan sesi wawancara pasti selalu meminta minum terlebih dulu. Itulah kenapa tadi sebelum Hari sampai dia sudah mempersiapkan semuanya termasuk beberapa camilan di meja."Mantap sekali kau, Luna. Membuatku merasa tersanjung sa
Pagi tadi saat Luna dan Mamanya baru sampai di rumah eyang putri, suasana rumah sudah ramai dengan celoteh para saudara sepupu Luna. Seperti saat ini, Luna yang duduk di bangku taman belakang sambil memandang Radit yang sedang bermain dengan Andi. "Lihat Andi, kakak bisa bikin bintang dengan karet ini," seru Radit sambil memperlihatkan benda yang membentuk bintang berukuran kecil di tangannya. Andi yang masih berumur 5 tahun itu tertawa dengan riang sambil menerima bintang dari karet yang ada di tangan Radit. Dia lalu berlari menghampiri sepupu yang lebih kecil, Fitri dan Zikri. Radit terus memperhatikan ketiga sepupu kecilnya sambil tersenyum. Pemuda berumur 16 tahun itu sangat menyukai anak-anak, mungkin karena dia sering merasa kesepian saat berada di rumah. Luna yan
Hari minggu yang cerah, rumah keluarga Kusuma terlihat sangat ramai. Luna kedatangan saudara-saudara sepupunya, tapi hanya Radit yang sekarang ada di sampingnya dan berbicara berdua. Mereka banyak memiliki kesamaan, bahkan bisa saling berbagi cerita. Meskipun Radit lebih muda 3 tahun dari Luna. Mereka bernyanyi bersama, saling menumpahkan kegelisahan lewat lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Hanya saja kadang mereka merasa kesal, karena selalu dianggap anak kecil oleh orang-orang dewasa di sekeliling mereka."Hai...., kamu pasti sedang mengingat dia ya?" Kata Luna menggoda Radit dengan mengerlingkan sebelah matanya.Radit hanya tersenyum, pikirannya memang sedang melayang pada gadis pujaannya. Gadis cantik keturunan Gorontalo yang sejak bertemu pertama kali saat penerimaa
Hari ini jadwal Luna untuk siaran, tidak seperti waktu itu. Kali ini Luna sudah sangat siap dengan materi yang akan dibahasnya. Siarannya akan dimulai beberapa saat lagi. Siaran pun diawali dengan alunan lagu cinta dari Afgan. Kali ini Luna membawakan siaran program siaran Indigo."Halo sahabat, kita ketemu lagi di indigo..., Interaktif, Dialogis, On Air. Bersama saya Luna Swastamita. Okey sahabat, hari ini kita bakalan bahas apa nih?" Kata Luna dengan nada suara yang ceria.Di depannya ada Intan dan Anisa yang menjadi pendamping siaranya sekaligus narasumber.“Halo Luna, halo Anisa, halo sahabat. Hari ini kita bakal bahas tentang Pergaulan Bebas Masa Kini. Sahabat Kreatif tahu nggak tahu nggak sih? Tanpa sadar kita bisa terseret pada pergaulan bebas. Sahabat Kreatif pasti sering juga kan melihat tayangan di televisi dan media sosial,” sambung Intan.“Iya itu benar sekali, Intan. Pergaulan bebas masa kini sangat rentan terjadi pada usia
Pagi yang cerah di hari minggu, sejak tadi Luna bersama mamanya berada di halaman belakang. Mereka tampak kompak menyiram tanaman-tanaman kesayangan yang tumbuh subur di halaman belakang rumah. Hari ini Luna juga sengaja mengosongkan semua jadwalnya, entah ada dorongan apa masuk ke hatinya. Dia hanya merasa ingin berada di rumah seharian ini."Non, hari ini kamu benaran enggak akan ke ikut mama ke rumah tante Hilda?" tanya mamanya sambil menoleh ke arah Luna."Maaf ya Ma, Luna hanya ingin di rumah saja hari ini," kata Luna sambil tersenyum."Yaa...., enggak apa-apa sih. Barangkali saja kamu berubah pikiran," kata Mamanya sambil tersenyum.Hari ini Mama dan Papanya memang akan pergi ke rumah salah satu adik papa yang tinggal di daerah lembang. Tapi Luna bersikeras untuk tak mau ikut dan memilih untuk melewatkan waktunya dengan membaca buku dan mendengarkan musik. Seperti dugaannya ketika mama dan papanya sudah berangkat, suasana rumah m
Hymne universitas dibawakan dengan penuh penghayatan, diiringi denting lembut piano. Grup paduan suara berdiri dengan formasi sikap sempurna, alunan suara alto, sopran, tenor dan bass berpadu membentuk sebuah harmoni. Tak ada yang ingin menonjol semua bernyanyi mengikuti nada yang memiliki porsi masing-masing dengan kekuatan dan semangat yang sama.Riuhnya tepuk tangan penonton menjadi sebuah tanda dari suksesnya penampilan mereka malam ini, satu per satu anggota paduan suara turun dari panggung. Mereka saling memberi selamat, berpelukan dan berteriak riang. Penampilan yang luar biasa malam ini menjadi sebuah kebanggaan mereka. Malam yang bertabur bintang menjadi refleksi dari suasana hati mereka.“Yes! Yes! Kita tampil dengan sang
Luna beranjak keluar dari kelas, waktu untuk mata kuliah ini sudah berakhir dan dia punya kegiatan lain. Saat sedang berjalan di koridor, seorang pemuda berkemeja biru tua sengaja menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu pun berdiri dua orang gadis berbaju seragam hitam dan putih, seragam yang biasa dipakai saat pentas paduan suara."Hai Luna, dengar-dengar kamu keluar dari group paduan suara ya?" tanya si pemuda tanpa basa-basi.Mendengar pertanyaan itu, Luna terdiam sekaligus merasa terkejut. Dia sama sekali tak keluar dari group paduan suara, walau dia akui dia banyak urusan di luar. Tapi kenapa ada berita itu?"Aku masih di grup kok, tak ada niat juga buat aku keluar," jawab Luna datar."Yang benar, bukannya kau juga gak pernah latihan?" kata gadis yang berdiri di sebelah kanan pemuda berkemeja biru sambil tersenyum sinis."Iya benar, aku gak keluar dari grup paduan suara, yaa walau aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar juga kan?" kat
“Akhirnya aku bisa menemuimu, Arun...,” ucap Luna dengan lirih, Tatapannya tertuju pada pemuda berkemeja putih yang terlihat sangat tampan.Pemuda yang memiliki sepasang mata teduh, senyuman manis, dan suara barithon-nya yang lembut menenangkan. Sebuah perpaduan yang sempurna. Dia juga pemuda yang sederhana. Tak banyak bicara, tak begitu ekspresif, namun tulus dan lembut hati. Pemuda yang sangat mengerti diri Luna luar dalam, di depan pemuda itu, Luna tak pernah ragu menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi lain yang selama ini selalu dia sembunyikan dengan baik agar tak orang lain yang mengetahuinya."Halo Luna," kata Arun sambil menghampiri Luna."Halo Arun, akhirnya aku bisa bertemu denganmu," kata Luna mengulangi ucapannya yang tadi tak terdengar oleh Arun.“Iya. Kita keluar yuk.” ajak Arun sambil meraih tangan Luna.Dia menuntun Luna meninggalkan gedung asrama, merasakan tangan hangat Arun yang menggenggamnya. Dia
Malam semakin beranjak larut, langit bertabur bintang. Luna masih terjaga, di benaknya kini terbayang seraut wajah tampan Arun yang sedang tersenyum padanya."Ahh...., sampai kapan aku bisa menunggumu?" desahnya di sela napasnya yang terasa menyesakkan dada.Hari ini pun Arun belum juga membalas emailnya, seakan tak peduli dengan semua tentang dirinya. Tak ada kata lagi yang ingin dia ungkapkan untuk menghibur hatinya yang memang sangat kesepian.Dia berjalan ke ruang tengah rumahnya, hanya sepi yang dia dapatkan. Kedua orang tuanya belum pulang dari rumah eyang. Matanya terpaku pada seraut senyum papanya yang ada di foto, dia teringat momen sepuluh tahun yang lalu saat usianya baru sembilan tahun. Ketika itu, mamanya sedang pergi ke luar kota untuk perjalanan dinas dari kantornya. Pak Kusuma papanya Luna yang pendiam dan jarang sekali bicara malam itu dengan sabar menemani sambil bercerita.Sebenarnya Eyang putri menawarkan untuk menjaga Luna, hanya saja
Setelah kepergian Hari, Luna terdiam di kamarnya. Dia tahu tak ada maksud lain dibalik kata-kata yang Hari ucapkan padanya, selain rasa kepedulian Hari terhadap dirinya. Di sisi lain dia juga kembali teringat bagaimana awal pertemuannya dengan Arun Bagaskara, pemuda tampan yang telah memikat hatinya di pertemuan itu.Pemuda itu tersenyum, yang membuat wajahnya semakin menawan. Gadis bergaun biru muda itu tak puas-puasnya menatap wajah itu. Wajah yang tampan dengan sepasang mata yang teduh, membuat hatinya merasa tenang. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, menambah sempurna penampilannya. Dia akui figur Arun sangat mem-pesona dengan segala kesederhanaannya.Luna mencoba untuk meraih tangan kokoh dari pemuda itu, namun tiba-tiba semua buyar dengan berkumandangnya adzan subuh. Gadis itu buru-buru bangun sambil mengusap wajahnya."Ahhh..., rupanya aku memimpikannya kembali," gumamnya pelan.Dia pun turun dari ranjangnya, lalu menuju kamar