Akhirnya, Marsya pun dibuat bingung. Bagaimana harus menolak keinginan sang bapak.
"Mudah-mudahan Bapak kamu mikir lagi. Masa tega bapak sendiri kaya begitu," harap Cindy."Ya, memang tega. Dia, 'kan bukan bapak kandungku," timpal Marsya, "Kamu tahu sendiri bapak sudah ngejual aku demi hutang sama Reval dan sekarang dia mau jadikan aku ...," keluh Marsya lalu tidak melanjutkan kata-katanya."Sabar ya mudah-mudahan ada solusinya. Bapak kamu juga tambah ke sini bukan tambah mikir. Eh, masih saja kaya begitu." Cindy geleng-geleng kepala."Iya, Cindy bingung aku sama bapakku."***Pak Bowo dan pemilik rumah bordir sedang berbincang di ruangan private. Mereka ditemani dua wanita cantik dan seksi."Bagaimana, Bowo? Kamu bilang anakmu mau dipekerjakan di sini? Mana sampai sekarang, anakmu belum dibawa ke sini?" tanya lelaki berkumis kepada Pak Bowo lalu menghisap rokok."Sabar dulu saja, aku sedang merayunya. KamLagi-lagi Marsya menyebut nama sang mantan suami. Yang terlintas dalam pikirannya hanyalah sang mantan suami. Dia pun tiba-tiba mengingat Reval ketika dia selalu dilindungi oleh Reval jika sang ayah angkat selalu marah dan meminta uang. "Reval, kenapa aku selalu mengingatmu? Sekarang siapa yang akan melindungiku? Kamu yang selalu menjaga aku dan ... kamu selalu khawatir jika aku bertemu bapak. Justru sekarang aku malah kembali lagi sama bapak. Ternyata bapak belum berubah. Bapak mau menjadikan aku wanita malam. Aku tidak mau ... aku tidak mau Reval, aku mohon tolong aku." Marsya berucap sambil menangis sesenggukan dan membayangkan wajah Reval.***Sementara di kamar Bu Tasya. Bu Tasya tidak bisa keluar kamar karena sang suami mengunci pintu dari luar kamar. Pak Bowo sengaja mengunci pintu kamar agar Bu Tasya tidak ikut campur. "Bapak apakan anak kita? Bapak jangan macam-macam sama Marsya! Kasihan Marsya, Pak." Bu Tasya memelas kepada Pak Bowo s
Marsya tidak menyangka bahwa Reval ternyata sedang mengkhawatirkannya. "Apa aku harus benar-benar meminta bantuan Reval? Tapi ... aku, 'kan bukan siapa-siapa Reval lagi." Marsya bermonolog sambil memperhatikan layar ponsel, dia kemudian membalas pesan kepada Reval.[ Terima kasih Reval kamu sudah memperhatikanku. Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa. Kenapa kamu bisa berpikiran kalau aku tidak baik-baik saja? ]Marsya kemudian mengirim pesan tersebut kepada Reval. "Tapi aku bingung bagaimana nanti malam? Aku harus punya alasan tepat untuk menolaknya. Tapi gimana caranya?" monolog Marsya lalu berpikir, "Cindy! Aku harus minta bantuan Cindy." Marsya bangun dari duduknya lalu bergegas akan keluar ruangan. Namun, ketika Marsya akan membuka pintu. Ada bunyi pesan di ponsel yang masih dia pegang di tangannya. Dia kemudian membuka pesan tersebut dan Reval ternyata membalas pesan Marsya. Marsya kemudian membaca pesan dari sang mantan suami. [ Syukur
Marsya membelalakkan matanya ketika sang mantan suami ingin mengajaknya kembali bersama. Lidahnya seakan kelu. dia bingung harus menjawab apa. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika Reval akan menyatakan hal demikian. Reval menatap Marsya. "Kenapa kamu diam saja? Kamu tahu, 'kan aku memang tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak rela kamu dimiliki oleh orang lain. Apa lagi yang mendekatimu adalah Garvin, aku lebih tidak rela, Marsya," ungkap Reval. Marsya masih menatap sang mantan suami. Tidak bisa dia pungkiri debaran di dadanya masih sama sampai saat ini hanya untuk Reval. Reval tersenyum sambil melihat sang mantan istri. "Sudah kamu tidak usah menjawab kalau masih bingung dengan isi hatimu. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja. Kamu tahu, Marsya? Aku senang karena kamu sudah tidak menghindar dan tidak membenciku lagi. Hatiku pun lega karena aku sudah bisa mengungkapkan semuanya sama kamu.""Iya, Reval. Maafkan aku kalau aku belum
Keesokan hari, Marsya dan Cindy sudah berada di meja makan. "Kamu yakin, Marsya?" tanya Cindy sambil mengaduk nasi goreng. "Iya, Cindy mau gimana lagi. Aku takut banget kalau harus ikut kerja sama bapak," jawab Marsya, "Kamu ambil cuti saja, ini benar-benar darurat aku bisa saja sih, pergi sendiri. Tapi bapak pasti mencariku. Kalau sama kamu, 'kan ada alasan lagi? Bilang saja teman-teman ngajak jalan ke Bandung," lanjut Marsya. "Kalau aku sih, senang-senang saja ambil cuti jalan-jalan ke Bandung. Kapan lagi coba?" ucap Cindy. "Iya, sekalian kita refreshing," timpal Marsya. "Oke deh."***"Macam-macam saja ini anak. Awas saja kalau sampai bohong, malah mau ke Bandung sama teman-teman sekolahnya," gerutu Pak Bowo yang sedang duduk di kursi depan rumah. "Sudahlah, Pak biarkan saja. Lagian, 'kan mereka jarang bertemu. Marsya butuh rerfreshing, butuh jalan-jalan," kata Bu Tasya. "Bapak nanti mau ke te
Marsya bingung harus menjawab apa setelah mendengar ucapan sang mantan suami. "Sebenarnya aku ingin minta tolong sama kamu, tetapi apa pantas? Aku juga tidak mau merepotkanmu." Marsya terdiam sambil berbicara dalam hati. Cindy yang sedang duduk di belakang memperhatikan Marsya yang sedang duduk di depan. "Si Marsya kenapa diam? Malah melamun lagi ini bocah," batin Cindy merasa geregetan. Reval menoleh ke arah Marsya. "Marsya kenapa kamu diam?" tanya Reval lalu kembali fokus menyetir."Iya, Reval maafkan aku. Aku malah melamun." Marsya menoleh ke arah Reval."Aku perhatikan kamu sering banyak melamun. Ada apa? Sudah kamu cerita saja sama aku jangan sungkan-sungkan," perintah Reval. "Aku tidak apa-apa kok, Reval," ucap Marsya lalu tersenyum. "Yakin kamu? Kamu jangan bohong, Marsya, aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Ada masalah apa?" tanya Reval. "Tidak ada apa-apa, Reval. Benaran kok. Ya, aku cuma tidak enak saja sa
Mendengar perkataan Reval, Cindy benar-benar bingung apa yang harus dikatakan. Reval tidak mengalihkan pandangannya kepada Cindy. Sementara Cindy merasa mati kutu karena Reval masih saja menatapnya dengan tajam. Cindy meremas-remas jari jemarinya untuk menghilangkan rasa gugup. "Ayolah, Cindy katakan! Sebelum Marsya selesai mandi." Reval melihat jam tangannya."Iya ... iya, Tuan Reval." Cindy berkata dengan gugup. "Ya sudah ayo, cepat katakan!" perintah Reval, "Kamu tidak mau, 'kan teman dekatmu terkena masalah?" lanjut Reval. "Iya, Tuan." Cindy menoleh ke arah kiri, dia takut tiba-tiba Marsya muncul. "Sebenarnya Marsya memang sedang ada masalah, Tuan. Makanya kita jalan-jalan ke sini," ungkap Cindy. Reval menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya. "Sudah kuduga. Ini ada hubungannya dengan Pak Bowo, 'kan?" tanya Reval. "Iya, Tuan. Bapaknya Marsya memaksa Marsya untuk ikut kerja bersama Pak Bowo sebagai w
Jantung mereka berdetak tidak karuan. Dua hati yang seakan masih saling ingin memiliki. Ketika bibir Reval mengenai bibir sang mantan istri, Marsya langsung membelalakkan matanya."Maaf, Reval." Marsya langsung bangun dari duduknya dan meninggalkan Reval begitu saja. Sepersekian detik Marsya menikmati ciuman tersebut. Namun, dia langsung tersadar. Reval menghela napas berat lalu mengacak-acak rambutnya. "Marsya maafkan aku. Tidak bisa aku pungkiri kalau aku menginginkanmu. Aku merindukan setiap inci tubuhmu. Aku lelaki normal ...." Reval tidak melanjutkan kata-katanya, dia langsung bangun dari duduknya dan bergegas pergi ke kamar. Sementara di kamar Marsya, dia merutuki dirinya sendiri. "Aduh, kenapa aku ini? Kenapa tiba-tiba aku bisa ciuman sama dia? Untung saja aku langsung tersadar." Marsya memegangi bibirnya lalu membayangkan kembali kejadian tersebut dan jantungnya masih berdetak tidak karuan. "Reval ini ada-ada saja ngapain coba dia ciu
Tiga hari berlalu, Marsya, Cindy, dan Reval sedang dalam perjalanan pulang. "Terima kasih ya, Reval. Kamu sudah bela-belain tiga hari sama kita. Maaf kalau merepotkan dan juga jadi mengganggu pekerjaanmu." Marsya menoleh kepada Reval yang sedang fokus menyetir. "Iya sama-sama, Marsya. Lagian ini, 'kan kemauanku. Kamu tidak usah merasa bersalah justru aku senang bisa ikut. Aku juga sekalian refreshing sama kalian berdua," ucap Reval lalu tersenyum kepada sang mantan istri. Marsya pun membalas senyuman Reval. Satu pandangan lurus beradu. Dua hati yang sama-sama merasakan debaran di dalam dada masing-masing.***Garvin menyunggingkan senyumnya ketika dia melihat foto Marsya dan Reval sedang berpelukan. "Sialan kamu Reval! Kamu sengaja memanas-manasiku. Tidak, aku tidak akan membiarkan mereka kembali bersatu," desis Garvin, "Marsya aku mencintaimu, aku tidak rela jika kamu harus kembali bersama mantan suamimu."Garvin tetap saja i
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t