Lagi-lagi Marsya menyebut nama sang mantan suami. Yang terlintas dalam pikirannya hanyalah sang mantan suami. Dia pun tiba-tiba mengingat Reval ketika dia selalu dilindungi oleh Reval jika sang ayah angkat selalu marah dan meminta uang.
"Reval, kenapa aku selalu mengingatmu? Sekarang siapa yang akan melindungiku? Kamu yang selalu menjaga aku dan ... kamu selalu khawatir jika aku bertemu bapak. Justru sekarang aku malah kembali lagi sama bapak. Ternyata bapak belum berubah. Bapak mau menjadikan aku wanita malam. Aku tidak mau ... aku tidak mau Reval, aku mohon tolong aku." Marsya berucap sambil menangis sesenggukan dan membayangkan wajah Reval.***Sementara di kamar Bu Tasya. Bu Tasya tidak bisa keluar kamar karena sang suami mengunci pintu dari luar kamar. Pak Bowo sengaja mengunci pintu kamar agar Bu Tasya tidak ikut campur."Bapak apakan anak kita? Bapak jangan macam-macam sama Marsya! Kasihan Marsya, Pak." Bu Tasya memelas kepada Pak Bowo sMarsya tidak menyangka bahwa Reval ternyata sedang mengkhawatirkannya. "Apa aku harus benar-benar meminta bantuan Reval? Tapi ... aku, 'kan bukan siapa-siapa Reval lagi." Marsya bermonolog sambil memperhatikan layar ponsel, dia kemudian membalas pesan kepada Reval.[ Terima kasih Reval kamu sudah memperhatikanku. Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa. Kenapa kamu bisa berpikiran kalau aku tidak baik-baik saja? ]Marsya kemudian mengirim pesan tersebut kepada Reval. "Tapi aku bingung bagaimana nanti malam? Aku harus punya alasan tepat untuk menolaknya. Tapi gimana caranya?" monolog Marsya lalu berpikir, "Cindy! Aku harus minta bantuan Cindy." Marsya bangun dari duduknya lalu bergegas akan keluar ruangan. Namun, ketika Marsya akan membuka pintu. Ada bunyi pesan di ponsel yang masih dia pegang di tangannya. Dia kemudian membuka pesan tersebut dan Reval ternyata membalas pesan Marsya. Marsya kemudian membaca pesan dari sang mantan suami. [ Syukur
Marsya membelalakkan matanya ketika sang mantan suami ingin mengajaknya kembali bersama. Lidahnya seakan kelu. dia bingung harus menjawab apa. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya jika Reval akan menyatakan hal demikian. Reval menatap Marsya. "Kenapa kamu diam saja? Kamu tahu, 'kan aku memang tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak rela kamu dimiliki oleh orang lain. Apa lagi yang mendekatimu adalah Garvin, aku lebih tidak rela, Marsya," ungkap Reval. Marsya masih menatap sang mantan suami. Tidak bisa dia pungkiri debaran di dadanya masih sama sampai saat ini hanya untuk Reval. Reval tersenyum sambil melihat sang mantan istri. "Sudah kamu tidak usah menjawab kalau masih bingung dengan isi hatimu. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja. Kamu tahu, Marsya? Aku senang karena kamu sudah tidak menghindar dan tidak membenciku lagi. Hatiku pun lega karena aku sudah bisa mengungkapkan semuanya sama kamu.""Iya, Reval. Maafkan aku kalau aku belum
Keesokan hari, Marsya dan Cindy sudah berada di meja makan. "Kamu yakin, Marsya?" tanya Cindy sambil mengaduk nasi goreng. "Iya, Cindy mau gimana lagi. Aku takut banget kalau harus ikut kerja sama bapak," jawab Marsya, "Kamu ambil cuti saja, ini benar-benar darurat aku bisa saja sih, pergi sendiri. Tapi bapak pasti mencariku. Kalau sama kamu, 'kan ada alasan lagi? Bilang saja teman-teman ngajak jalan ke Bandung," lanjut Marsya. "Kalau aku sih, senang-senang saja ambil cuti jalan-jalan ke Bandung. Kapan lagi coba?" ucap Cindy. "Iya, sekalian kita refreshing," timpal Marsya. "Oke deh."***"Macam-macam saja ini anak. Awas saja kalau sampai bohong, malah mau ke Bandung sama teman-teman sekolahnya," gerutu Pak Bowo yang sedang duduk di kursi depan rumah. "Sudahlah, Pak biarkan saja. Lagian, 'kan mereka jarang bertemu. Marsya butuh rerfreshing, butuh jalan-jalan," kata Bu Tasya. "Bapak nanti mau ke te
Marsya bingung harus menjawab apa setelah mendengar ucapan sang mantan suami. "Sebenarnya aku ingin minta tolong sama kamu, tetapi apa pantas? Aku juga tidak mau merepotkanmu." Marsya terdiam sambil berbicara dalam hati. Cindy yang sedang duduk di belakang memperhatikan Marsya yang sedang duduk di depan. "Si Marsya kenapa diam? Malah melamun lagi ini bocah," batin Cindy merasa geregetan. Reval menoleh ke arah Marsya. "Marsya kenapa kamu diam?" tanya Reval lalu kembali fokus menyetir."Iya, Reval maafkan aku. Aku malah melamun." Marsya menoleh ke arah Reval."Aku perhatikan kamu sering banyak melamun. Ada apa? Sudah kamu cerita saja sama aku jangan sungkan-sungkan," perintah Reval. "Aku tidak apa-apa kok, Reval," ucap Marsya lalu tersenyum. "Yakin kamu? Kamu jangan bohong, Marsya, aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Ada masalah apa?" tanya Reval. "Tidak ada apa-apa, Reval. Benaran kok. Ya, aku cuma tidak enak saja sa
Mendengar perkataan Reval, Cindy benar-benar bingung apa yang harus dikatakan. Reval tidak mengalihkan pandangannya kepada Cindy. Sementara Cindy merasa mati kutu karena Reval masih saja menatapnya dengan tajam. Cindy meremas-remas jari jemarinya untuk menghilangkan rasa gugup. "Ayolah, Cindy katakan! Sebelum Marsya selesai mandi." Reval melihat jam tangannya."Iya ... iya, Tuan Reval." Cindy berkata dengan gugup. "Ya sudah ayo, cepat katakan!" perintah Reval, "Kamu tidak mau, 'kan teman dekatmu terkena masalah?" lanjut Reval. "Iya, Tuan." Cindy menoleh ke arah kiri, dia takut tiba-tiba Marsya muncul. "Sebenarnya Marsya memang sedang ada masalah, Tuan. Makanya kita jalan-jalan ke sini," ungkap Cindy. Reval menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya. "Sudah kuduga. Ini ada hubungannya dengan Pak Bowo, 'kan?" tanya Reval. "Iya, Tuan. Bapaknya Marsya memaksa Marsya untuk ikut kerja bersama Pak Bowo sebagai w
Jantung mereka berdetak tidak karuan. Dua hati yang seakan masih saling ingin memiliki. Ketika bibir Reval mengenai bibir sang mantan istri, Marsya langsung membelalakkan matanya."Maaf, Reval." Marsya langsung bangun dari duduknya dan meninggalkan Reval begitu saja. Sepersekian detik Marsya menikmati ciuman tersebut. Namun, dia langsung tersadar. Reval menghela napas berat lalu mengacak-acak rambutnya. "Marsya maafkan aku. Tidak bisa aku pungkiri kalau aku menginginkanmu. Aku merindukan setiap inci tubuhmu. Aku lelaki normal ...." Reval tidak melanjutkan kata-katanya, dia langsung bangun dari duduknya dan bergegas pergi ke kamar. Sementara di kamar Marsya, dia merutuki dirinya sendiri. "Aduh, kenapa aku ini? Kenapa tiba-tiba aku bisa ciuman sama dia? Untung saja aku langsung tersadar." Marsya memegangi bibirnya lalu membayangkan kembali kejadian tersebut dan jantungnya masih berdetak tidak karuan. "Reval ini ada-ada saja ngapain coba dia ciu
Tiga hari berlalu, Marsya, Cindy, dan Reval sedang dalam perjalanan pulang. "Terima kasih ya, Reval. Kamu sudah bela-belain tiga hari sama kita. Maaf kalau merepotkan dan juga jadi mengganggu pekerjaanmu." Marsya menoleh kepada Reval yang sedang fokus menyetir. "Iya sama-sama, Marsya. Lagian ini, 'kan kemauanku. Kamu tidak usah merasa bersalah justru aku senang bisa ikut. Aku juga sekalian refreshing sama kalian berdua," ucap Reval lalu tersenyum kepada sang mantan istri. Marsya pun membalas senyuman Reval. Satu pandangan lurus beradu. Dua hati yang sama-sama merasakan debaran di dalam dada masing-masing.***Garvin menyunggingkan senyumnya ketika dia melihat foto Marsya dan Reval sedang berpelukan. "Sialan kamu Reval! Kamu sengaja memanas-manasiku. Tidak, aku tidak akan membiarkan mereka kembali bersatu," desis Garvin, "Marsya aku mencintaimu, aku tidak rela jika kamu harus kembali bersama mantan suamimu."Garvin tetap saja i
Marsya sedang berdiam diri di ruangan kerjanya. Dia memperhatikan foto-foto bersama Reval ketika di Bandung. Dia senyum-senyum sendiri ketika melihat foto di galeri ponselnya."Kebahagiaanku hanya sesaat, sekarang aku harus memikirkan nasibku lagi. Bagaimana ini? Aku tidak mau menjadi wanita penghibur," keluh Marsya lalu kembali melihat foto. Ketika Marsya masih melihat foto-foto tersebut, ponselnya berdering. Dia melihat layar ponsel dan ternyata sang bunda yang menghubungi dia. Marsya kemudian Mengangkatnya. "Hallo, Ibu ada apa?" tanya Marsya."Marsya malam ini kamu selamat, Nak. Bapak mau keluar kota selama seminggu bersama dua orang temannya," ucap Bu Tasya. "Benaran, Bu? Ya ampun Marsya senang banget, Bu. Eemm, tapi benaran, 'kan pergi ke luar kotanya? Takutnya tidak jadi, bapak, 'kan pernah kaya gitu.""Tidak, Marsya. Sepertinya yang ini memang jadi. Soalnya bapak bawa beberapa pakaian. Sebelum berangkat bapak sama dua