Garvin justru malah menantang Reval untuk mendapati Marsya. "Buat apa kita bertarung hanya untuk mendekati Marsya. Kalau untuk mendekati mungkin kamu yang unggul. Semalam kamu akan menjemputnya, 'kan? Walaupun sebenarnya aku tidak rela Marsya akan diantar pulang olehmu," ucap Reval, "dan kita tidak tahu isi hati Marsya yang sebenarnya," lanjut Reval. Garvin menyunggingkan senyumnya setelah mendengar ucapan Reval. ***"Marsya! Kamu malah melamun lagi." Cindy mengagetkan Marsya yang sedang menatap lurus ke depan di meja kasir. "Sudah tidak usah di pikirin. Ikuti kata hatimu. Kamu mau milih yang bule atau yang oriental? Kalau yang oriental, 'kan kamu sudah tahu bagaimana. Tapi kalau yang bule kamu belum tahu luar dalamnya seperti apa.""Tidak semudah itu Cindy. Aku di hadapkan oleh lelaki yang otoriter yaitu Mr. Garvin, padahal aku dari awal sudah menolaknya secara halus, tapi dia seolah-olah tidak mengerti dan mungkin pura-pura tidak m
Reval pulang dengan keadaan mabuk. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya dia menyebut nama mantan sang istri. Seperti biasa Farhan mengantar Reval ke rumah."Harusnya kamu pulang disambut dengan Marsya. Mantan istrimu akan mengurusimu kalau kamu mabuk. Sekarang siapa yang mengurusmu, Reval?" Farhan membawa Reval ke kamar milik Reval sambil berbicara dengan Reval. Sementara Mbok Lasmi memperhatikan tuannya yang sedang berjalan bersama Farhan sambil menggelengkan kepalanya. "Kasihan tuan Reval semenjak tidak ada Nyonya Marsya, tuan Reval selalu mabuk-mabukkan lagi dan tidak ada yang mengurusnya."***Farhan sudah berada di kamar Reval. Dia sudah membaringkan sang CEO ke atas kasur. Farhan kemudian memperhatikan Reval yang sedang tertidur. Farhan mengeluarkan benda pipih di dalam saku jasnya. Dia lalu memotret Reval yang sedang tertidur pulas setelah mabuk. "Harus aku kirimkan foto ini kepada Marsya." Farhan mengirimkan foto ke
Ketika Marsya membuka ponsel, dia melihat pesan dari sang mantan suami. Dia terkejut karena Reval mengirim pesan. Marsya kemudian membuka pesan tersebut lalu membacanya. Marsya menghela napas setelah membaca pesan tersebut. "Kenapa aku membuka blokir nomor Reval?" batin Marsya, "Ya, sudahlah tidak apa-apa. Lambat laun perasaan benciku menghilang terhadap Reval. Tidak seperti dulu lagi kalau aku melihat wajahnya aku benar-benar muak. Tapi sekarang perasaan itu sudah tidak ada. Justru aku malah mengkhawatirkan Reval. Ya, ampun kenapa dengan hatiku?" lanjut Marsya masih dengan lamunannya. Tyas memperhatikan Marsya yang sedang melamun sambil memegang ponsel. "Kak Marsya! Kak Marsya!" panggil Tyas sambil menggerakkan badan Marsya. Marsya terhentak kaget. "Iya, Tyas ada apa?" tanya Marsya bingung. "Tidak ada apa-apa. Habisnya lihat Kak Marsya malah melamun," jawab Tyas, "Mikirin siapa sih, Kak? Sudah, Kak nanti malam, 'kan Mr. Garvin jemput, Kakak k
Hari ini jadwal Marsya libur. Dia benar-benar malas menghadapi hari liburnya. Biasanya Marsya paling antusias bila waktunya libur. "Kamu kenapa, Marsya? Kok, tumben-tumbenan hari libur murung?" tanya Bu Tasya kepada Marsya yang sedang mencuci piring setelah selesai sarapan. "Iya, Bu. Marsya malas banget libur hari ini." Marsya fokus mencuci piring sambil berbicara kepada sang bunda. "Biasanya kamu senang kalau sudah hari libur," timpal Bu Tasya. Marsya menghela napas lalu mengeringkan tangan setelah selesai mencuci piring. "Justru sekarang Marsya tidak mau ada liburan, Bu," kesal Marsya. Bu Tasya mengerutkan keningnya. "Loh kenapa?" tanya Bu Tasya merasa bingung. "Marsya mau janjian, Bu sama Mr. Garvin nanti jam sepuluh," jawab Marsya lalu memajukan bibirnya. "Mr. Garvin! Siapa dia?" kaget Bu Tasya. "Dia langganan makan di cafe. Tahunya Mr, Garvin malah suka sama Marsya dan ...," jawab Marsya lalu meng
"Kamu mau, 'kan menjadi kekasihku." Garvin menatap lekat wajah Marsya lalu tersenyum. "Aku menyukaimu sejak pandangan pertama," lanjut Garvin. Sementara Marsya bingung sendiri, dia tidak menyangka Garvin akan menyatakan cintanya. Dia menatap Garvin lalu melihat kotak yang berisi cincin yang berhiaskan berlian-berlian kecil dan di tengahnya terdapat berlian berukuran sedang. Garvin mengambil cincin di dalam kotak lalu melihat Marsya. "Kamu mau, 'kan menerima cincin ini?" Garvin memperlihatkan cincin kepada Marsya. Marsya memperhatikan Garvin dengan perasaan hati tidak karuan. Dia sama sekali tidak menginginkan hal ini. Garvin mengerutkan keningnya sambil memperhatikan Marsya. "Kamu kenapa diam saja?" tanya Garvin. Marsya tersenyum kaku mendengar ucapan Garvin. Dia lalu membenarkan rambutnya yang tertiup angin. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya seakan kelu. Garvin kembali memperhatikan Marsya lalu meraih tangan Marsya. "Maaf, Mister!" Secara refleks Marsya malah menari
Ketika Garvin masuk ke cafe Marsya. Dia merasa senang karena akan bertemu kembali dengan Marsya. Walaupun dia sudah ditolak, tetapi dia masih akan tetap mengejar cinta Masya. Namun, ketika Garvin akan mencari tempat duduk. Dia melihat Marsya sedang bersama Reval. Hatinya tiba-tiba panas melihat Marsya sedang menemani Reval.Garvin menyungginggkan senyumnya sambil melihat ke arah Marsya dan Reval. Dia langsung berjalan cepat menghampiri mereka. "Aku keduluan nih, datangnya. Ternyata ada yang sudah mendahului makan siang aku." Garvin langsung menarik kursi lalu duduk.Marsya yang melihat kedatangan Garvin tiba-tiba merasa kaget. "Mr. Garvin!" "Kenapa memangnya kalau aku duluan? Tidak ada yang melarang, 'kan?" ketus Reval. Garvin tertawa mencibir setelah mendengar ucapan Reval. "Memang tidak ada yang memaksa. Ya, tumben-tumbenan saja kamu datang ke sini." Marsya menoleh ke arah kanan, dia lalu memberi kode agar pelayan menghampirinya. "Oh, iya, Mr. Garvin silakan mau pesan apa?" tany
"Apa? Bapak apaan, sih? Marsya tidak mau!" Marsya bangun dari duduknya dengan sangat kesal. Pak Bowo kemudian menarik Marsya kembali agar duduk di sofa. "Dasar anak tidak sopan! Bapakmu belum selesai bicara. Dengarkan Bapak dulu!" Pak Bowo menatap tajam wajah Marsya dengan penuh emosi. Dada Marsya kembang kempis ketika dirinya disuruh berhenti bekerja dan dimarahi oleh Pak Bowo. "Pokoknya kamu berhenti kerja di cafe. Kamu ikut kerja sama Bapak!" Pak Bowo tetap memaksa Marsya. "Marsya tidak mau! Kenapa, Bapak selalu memaksa Marsya. Pokoknya Marsya akan tetap kerja di cafe, titik!" Marsya tetap pada pendiriannya. Hatinya tiba-tiba sakit karena sang ayah angkat selalu memaksa kehendaknya sendiri. "Kamu berani menolak, hah! Ingat kamu bukan istri dari tuan Reval lagi. Jadi mulai sekarang Bapak yang mengatur hidup kamu!" perintah Pak Bowo sambil menatap tajam Marsya. Marsya menggelengkan kepalanya sambil melihat Pak Bowo. "Aku b
Akhirnya, Marsya pun dibuat bingung. Bagaimana harus menolak keinginan sang bapak. "Mudah-mudahan Bapak kamu mikir lagi. Masa tega bapak sendiri kaya begitu," harap Cindy. "Ya, memang tega. Dia, 'kan bukan bapak kandungku," timpal Marsya, "Kamu tahu sendiri bapak sudah ngejual aku demi hutang sama Reval dan sekarang dia mau jadikan aku ...," keluh Marsya lalu tidak melanjutkan kata-katanya. "Sabar ya mudah-mudahan ada solusinya. Bapak kamu juga tambah ke sini bukan tambah mikir. Eh, masih saja kaya begitu." Cindy geleng-geleng kepala. "Iya, Cindy bingung aku sama bapakku."***Pak Bowo dan pemilik rumah bordir sedang berbincang di ruangan private. Mereka ditemani dua wanita cantik dan seksi. "Bagaimana, Bowo? Kamu bilang anakmu mau dipekerjakan di sini? Mana sampai sekarang, anakmu belum dibawa ke sini?" tanya lelaki berkumis kepada Pak Bowo lalu menghisap rokok. "Sabar dulu saja, aku sedang merayunya. Kam