Garvin dan Reno sudah berada di cafe milik Marsya dan mereka sedang menikmati makanannya. Namun, Garvin malah tidak tenang. Matanya mencari-cari keberadaan sang pemilik cafe. Dia belum melihat adanya Marsya.
"Asisten Reno ke mana kira-kira ya, wanita itu? Kenapa malah tidak ada, padahal aku ingin melihat wajahnya." Mata Garvin menyapu seisi cafe."Mungkin lagi libur, Mr. Garvin," jawab Reno.Garvin menghela napas kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Marsya."Sudah, Mister nanti, 'kan bisa ke sini lagi.""Coba kamu tanyakan sama pelayan itu!" perintah Garvin karena secara kebetulan pelayan tersebut sedang melewati meja mereka."Apa, Mister?" kaget Reno."Coba cepat tanyakan!" Garvin menggerakkan kepalanya ke arah pelayan."Ya, sudah, Mister sebentar." Reno bangun dari duduknya lalu menghampiri pelayan tersebut.Sementara Garvin memperhatikan Reno yang sedang berjalan ke arah pelayan sambil senReval sudah selesai berdoa, dia lalu berdiri dan langsung meraih lengan sang mantan istri. Dia kemudian berjalan sambil memegangi lengan sang mantan istri. Sementara Marsya hanya bisa mengikuti Reval berjalan. Dia seakan terhipnotis oleh Reval, apa lagi wangi parfum sang mantan suami tercium oleh Marsya. Wangi yang selalu disukai olehnya. Jantung mereka berdebar sangat kencang. Apa lagi untuk Reval kerinduan yang teramat sangat kepada sang mantan istri. Reval begitu senang bisa bertemu dengan wanita yang sangat dia rindukan.Reval menatap sendu wajah Marsya setelah sampai di depan Mobil Reval. "Kamu tidak merindukanku?" tanya Reval lalu mengangkat tangan Marsya dan akan menciumnya. Marsya kemudian mengempaskan tangannya secara kasar dari pegangan Reval. Reval menghela napas berat. "Ternyata cuma aku yang merindukanmu, kamu sepertinya benar-benar sudah melupakanku." Hati Reval begitu sakit melihat Marsya memperlakukannya seperti itu. "Maafkan aku ... aku ...." Marsya menatap sendu
"Aku akan menunggumu untuk kembali lagi kepadaku. Aku hanya menginginkamu, Marsya. Tidak ada wanita lain yang bisa membuatku bahagia. Hanya kamu yang bisa membuatku bahagia," bisik Reval lalu melepaskan pelukan dari tubuh Marsya. Reval kemudian menatap sendu wajah sang mantan istri. Dia tersenyum lalu membenarkan rambut Marsya. Satu pandangan lurus beradu, perasaan dua hati yang sedang bertalu-talu. Marsya baru tersadar, dia baru saja menatap Reval. "Maaf, Reval aku harus keluar." Marsya langsung membuka pintu mobil.Namun, pintu tersebut masih tetap tidak bisa dibuka. Dia menoleh ke arah sang mantan suami dengan tatapan sinis. Reval menyadarinya, dia kemudian membuka kunci sambil tersenyum menatap Marsya. "Terima kasih sudah mengantarku," tandas Marsya kemudian ke luar dari dalam mobil.Reval hanya bisa memperhatikan Marsya yang sedang berjalan meninggalkannya sambil tersenyum. Walaupun perlakuan sang mantan istri begitu terhadapnya. Hatinya tetap saja merasa senang karena kerindua
Garvin langsung tersenyum senang ketika Marsya menemuinya. "Nona Marsya silakan duduk." Garvin menunjuk kursi yang ada di sampingnya. "Iya, terima kasih Mr. Garvin." Marsya duduk di kursi tersebut. "Maaf Mr. Garvin saya harus keluar dulu," ucap Reno lalu menoleh ke arah Marsya, "Nona Marsya, maaf saya harus keluar dulu," pamit Reno. "Iya, Pak Reno silakan," jawab Marsya. Reno pun bergegas meninggalkan mereka. Kini tinggallah Garvin dan Marsya. "Maaf ya, Nona Marsya aku mengganggu aktifitas bekerja Anda." Garvin menatap lekat wajah Marsya. "Iya, tidak apa-apa, Mister. Emm, ada perlu apa ya, Mister memanggil saya?" tanya Marsya. "Sebenarnya saya hanya ingin berkenalan saja dengan kamu, Nona Marsya." Garvin langsung berkata jujur kepada Marsya. "Hah!" kaget Marsya lalu tersenyum dipaksakan. "Tidak apa-apa, 'kan? Apa ada yang marah jika aku berkenalan dengan kamu?" "Em, tidak ada sih, Mis
Bima sudah duduk berhadapan dengan Garvin. "Ada perlu apa, Mr. Garvin?" tanya Bima. "Aku ingin meminta izin kepada Anda manajer Bima. Aku ingin berbicara dengan karyawan yang bernama Marsya. Hanya sebentar saja untuk menemaniku makan. Tidak apa-apa, 'kan? Tenang saja aku akan memberikan uang tip," pinta Garvin. "Maaf, Mister bukan maksud saya untuk tidak menerima permintaan Anda. Tapi tidak etis saja seorang kasir menemani Anda hanya untuk makan. Baru kali ini ada permintaan seperti ini." Bima berbicara dengan sangat hati-hati.Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, aku akan memberikan rate buruk untuk cafe ini karena pelayanannya tidak baik. Apa salahnya hanya menemaniku makan." Garvin menatap tajam wajah Bima. "Bukan begitu, Mister maksud saya. Ini hanyalah cafe bukan diskotek atau ...." "Oke, karena Anda menolak aku ingin bertemu dengan ownernya." Garvin memotong ucapan Bima. "Maksud ... maksud, Mister?" Bima bingung
Marsya tersenyum dipaksakan setelah mendengar ucapan Garvin. Dia bingung sendiri harus bagaimana, untuk menolak pun tidak mungkin. Marsya mengetahui Garvin bukanlah tipe orang yang bisa diajak bicara untuk hal ini. "Oh, iya aku minta nomor handphonemu." Garvin menyerahkan benda pipih kepada Marsya. Mau tidak mau Marsya mengambilnya. Dia lalu mengetik nomor handphonenya. Sementara Garvin tersenyum senang karena Marsya memberikan nomor kepada Garvin. Marsya pun sudah sampai di depan rumahnya. "Terima kasih, Mr. Garvin sudah mengantar saya," ucap Marsya. "Iya, sama-sama," sahut Garvin. Marsya tersenyum lalu keluar dari mobil Garvin. ***Marsya sedang melamun di atas kasur. Dia menatap langit-langit kamar sambil kedua tangan memeluk guling yang ada di atas perutnya. Marsya menghela napas panjang. "Untuk saat ini aku benar-benar malas berkenalan dengan lelaki. Mr. Garvin memang tampan, tapi tetap saja aku tid
Reval memberi semangat kepada Garvin sambil menepuk pundak Garvin. "Iya, aku harus cepat-cepat menyatakan cinta sama dia. Dia benar-benar berbeda dengan wanita lain, mungkin kalau wanita itu bukan dia. Sepertinya akan berbeda ceritanya. Dia benar-benar hati-hati dan tidak sembarangan menerima lelaki begitu saja. Jelas-jelas dia sudah tahu siapa aku, tetapi dia masih menjaga jarak dan ... seperti ragu. Makanya aku akan mendekati dia terus menerus sampai dia mau terhadapku. Walaupun dia terus menolak aku akan tetap mendekatinya. Sampai dia benar-benar luluh terhadapku." Garvin berucap dengan penuh semangat kepada Reval. Reval manggut-manggut mendengar ucapan Garvin. "Semanga! Semoga wanita itu menerimamu. Terus kejar dia kalau memang kamu sungguh-sungguh mencintainya. Apa lagi kata kamu wanita itu berbeda dan tidak memandang siapa kamu. Itu tandanya wanita yang kamu sukai adalah wanita yang sangat baik. Kamu harus perjuangkan wanita seperti itu," kata Reval, dia la
Reval terhentak kaget sambil membelalakkan matanya ketika Garvin menyebut nama Marsya. "Kenapa kamu memanggil Marsya?" tanya Reval lalu menutup buku menu. "Kamu kenal sama Marsya? Dia itu wanita yang aku ceritakan sama kamu," bisik Garvin. "Apa!?" Reval kembali membelalakkan matanya, dia lalu menggelengkan kepalanya dan menghela napas kasar.Reval tidak percaya wanita yang mereka bicarakan adalah wanita yang sama. Darahnya seakan mendidih, hatinya terasa panas terbakar. Sama sekali dia tidak akan rela dan tidak akan membiarkan sang mantan istri jatuh ke pelukan lelaki lain. Dia lalu menertawakan dirinya sendiri karena merasa bodoh dan dia pun tidak ada hak untuk melarang Marsya. "Ada apa, Reval?" tanya Garvin merasa bingung. "Emm, Marsya ...." "Reval!" Tiba-tiba Marsya memotong ucapan Reval dan membelalakkan matanya ketika melihat Reval sedang bersama Garvin. Reval pun langsung terdiam melihat sang mantan istri. Garvin menoleh kepada Reval lalu ke arah Marsya. "Kalian sudah sali
Garvin justru malah menantang Reval untuk mendapati Marsya. "Buat apa kita bertarung hanya untuk mendekati Marsya. Kalau untuk mendekati mungkin kamu yang unggul. Semalam kamu akan menjemputnya, 'kan? Walaupun sebenarnya aku tidak rela Marsya akan diantar pulang olehmu," ucap Reval, "dan kita tidak tahu isi hati Marsya yang sebenarnya," lanjut Reval. Garvin menyunggingkan senyumnya setelah mendengar ucapan Reval. ***"Marsya! Kamu malah melamun lagi." Cindy mengagetkan Marsya yang sedang menatap lurus ke depan di meja kasir. "Sudah tidak usah di pikirin. Ikuti kata hatimu. Kamu mau milih yang bule atau yang oriental? Kalau yang oriental, 'kan kamu sudah tahu bagaimana. Tapi kalau yang bule kamu belum tahu luar dalamnya seperti apa.""Tidak semudah itu Cindy. Aku di hadapkan oleh lelaki yang otoriter yaitu Mr. Garvin, padahal aku dari awal sudah menolaknya secara halus, tapi dia seolah-olah tidak mengerti dan mungkin pura-pura tidak m
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t