[ Aku sedang sibuk, aku tidak bisa mengantarmu. Minta antar saja sama pria yang ada di foto itu. ]
Lagi-lagi Marsya hanya bisa menghela napas setelah membaca pesan dari Reval. "Padahal kamu selalu antusias jika sudah ada jadwal aku ke dokter kandungan. Tapi sekarang kamu seperti itu." Marsya bermonolog pada dirinya sendiri lalu berusaha untuk menahan air matanya yang sebentar lagi akan keluar.***"Oh, iya, Tuan. Sore ini jadwal nyonya Marsya ke dokter kandungan." Farhan melirik Reval di kaca spion lalu kembali fokus menyetir."Hhhmm." Reval hanya berdehem. "Antar aku apartemenku! Aku tidak akan pulang ke rumah," perintah Reval."Tapi, Tuan, 'kan ....""Aku tidak akan mengantarnya! Biarkan saja dia pergi sendiri," marah Reval.Farhan menghela napas pelan. Dia tidak mungkin memaksa Reval. Perkataan sang CEO tidak akan bisa diubah dan tetap akan pada pendiriannya.Beberapa menit kemudian Farhan sudah sampai dKamu tahu, justru aku menyesal pulang ke rumah ini. Aku pikir aku tidak akan mengingat foto-foto itu. Tapi setelah aku melihat wajahmu, pikiranku kembali kepada foto kamu dan pria berengsek itu! Aku benar-benar muak melihat wajahmu!" Reval menatap tajam wajah sang istri. Lagi-lagi perkataan Reval membuat Marsya sakit hati. Bulir air mata kembali menetes di atas pipinya. Dadanya kembali merasakan sesak yang luar biasa. "Sayang please kamu jangan begini terus sama aku! Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Aku Sayang kamu, tidak mungkin aku melakukan hal yang tidak sepantasnya." Marsya memegang tangan Reval. Reval menyunggingkan senyumnya sambil menatap tajam wajah sang istri. "Yakin kamu?" "Iya, aku yakin. Aku akan membuktikan ...." Marsya menghentikan perkataannya karena ponselnya berdering. Namun, Marsya diam saja, dia seakan malas mengambil benda pipih yang tergeletak di nakas. "Kenapa diam saja? Kamu tidak mau mengangkatnya?" Reva
"Nyonya tidak pernah berbuat salah sama Mbok. Mbok mohon jangan pergi dari rumah ini. Bagaimana nanti kalau tuan Reval menanyakan tentang, Nyonya? Mbok mau jawab apa? Yang ada nanti tuan Reval marah sama Mbok karena, Nyonya pergi dari rumah ini." Marsya melepaskan pelukan mbok Lasmi. "Suamiku tidak akan marah, Mbok. Marsya yakin.""Tapi kalau nanti tuan Reval bertanya soal, Nyonya bagaimana? Tuan Reval pasti nanti tanya sama Mbok. Mbok harus jawab apa, Nyonya?" "Mbok bilang saja tidak tahu. Lagian Marsya juga belum tahu mau ke mana," jawab Marsya lalu tersenyum. "Ya, ampun. Nyonya benar-benar belum punya tujuan! Mbok mohon jangan pergi. Nyonya mau tinggal di mana? Mbok sayang sama, Nyonya, Mbok tidak mau, Nyonya pergi dari sini. Mbok mohon, Nyonya." Mbok Lasmi berucap sambil menangis dan memegang kedua tangan Marsya. "Sudahlah, Mbok. Lagian suamiku juga sudah tidak menginginkan Marsya lagi. Sudah ya, Mbok, Marsya pamit," kata Marsya
"Maafkan aku, Tuan jika perkataanku lancang." Farhan menundukkan kepalanya. "Aku tahu, Tuan sakit hati dengan nyonya Marsya. Tapi sebaiknya, Tuan berpikir jernih. Aku yakin ini semuanya hanya jebakan."Reval yang sedang berdiri langsung menatap tajam ke arah Farhan. "Tahu dari mana kalau ini hanya jebakan? Sudah jelas-jelas di foto tersebut Marsya bermesraan dan juga pria berengsek itu menghubungi Marsya! Kalau memang itu jebakan, tidak mungkin pria itu tahu nomor Marsya dan juga menghubungi istriku" desis Reval lalu menyungginngkan senyumnya. "Tuan Reval lihat saja kebenaran akan terungkap." Farhan berucap penuh percaya diri.Reval menyunggingkan senyumnya lalu berjalan ke arah meja kerja. Dia kemudian duduk di kursi lalu meghela napas. Tidak bisa dipungkiri di hati kecilnya dia merindukan sosok yang selama ini selalu menemani Reval. Sosok yang membuat Reval bisa tersenyum, tertawa, dan juga merubahnya. ***Waktu menunjukkan pukul 19.
"Tuan Reval menyuruh saya untuk mencari, Nyonya," ucap Farhan. Marsya membelalakkan matanya sambil menatap wajah Farhan lalu tersenyum mencibir. "Untuk apa dia mencariku? Bukankah dia sudah mengusirku," ketus Marsya. "Sepertinya tuan Reval sangat rindu dengan, Nyonya dan ... tuan Reval sudah menyadari kalau itu hanya jebakan," jelas Farhan. Marsya tertawa mencibir. "Aku tidak mau! Aku mohon, asisten Farhan jangan beri tahu Reval kalau aku ada di sini. Aku sangat membenci Reval. Sama sekali dia tidak peduli sama aku. Aku pergi pun dia tidak peduli. Aku sengaja menunggu telepon dari dia untuk beberapa hari, tapi sama sekali dia tidak mencariku atau meneleponku. Akhirnya aku blokir nomornya," urai Marsya dan kedua matanya berkaca-kaca. "Mungkin tuan Reval lagi emosi makanya seperti itu," ujar Farhan. "Pokoknya aku tidak mau ketemu dia. Maaf, asisten Farhan untuk saat ini aku benar-benar tidak mau bertemu Reval. Sekali lagi aku mohon."
"Reval!" Marsya begitu kaget karena tiba-tiba di hadapannya melihat Reval sedang menatapnya tajam. Sementara Reval sedang merasakan cemburu yang luar biasa. Bagaimana tidak, dia melihat sang istri berjalan berdampingan sambil tertawa bersama. Hatinya kembali sakit di saat mendapati sang istri sedang berjalan dengan lelaki lain.Reval menggelengkan kepalanya kemudian menyunggingkan senyum. Kedua mata memerah, rahangnya mengeras melihat sang istri jalan berdampingan. Reval kemudian bangun dari duduknya lalu berjalan dan menatap tajam lelaki yang berada di samping Marsya. "Jadi ini lelaki selingkuhan kamu ...." Reval menarik kerah baju lelaki tersebut. "Reval kamu apa-apaan, sih! Kamu jangan membuat malu." Marsya menarik tubuh Reval. Lelaki yang tiba-tiba ditarik oleh Reval pun merasa kaget dan bingung karena tiba-tiba ditarik oleh Reval.Reval menoleh ke arah Marsya. "Kamu membela dia!" Reval menatap tajam Marsya dan tangannya
"Anak kita sudah ada di surga, Sayang." Reval berkata dengan kedua mata berkaca-kaca. "Apa?" Marsya menatap tajam wajah sang suami. "Tidak ini tidak mungkin! Anakku masih hidup! Kamu jangan berkata sembarangan. Mana anakku? Aku ingin bertemu anakku!" jerit Marsya lalu mengibaskan tangan Reval dan butiran air mata meleleh begitu saja di pelupuk matanya. "Sayang, anak kita sudah tenang di sana. Kamu harus menerimanya ya, Sayang." Reval berkata dengan suara bergetar, lelehan air mata pun keluar dari pelupuk mata Reval. Marsya menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Anakku masih hidup!" Marsya menjerit dengan perasaan hatinya yang tidak karuan, dadanya seketika sesak mendengar ucapan sang suami. Marsya kembali menangis tersedu-sedu. Dia menggerak-gerakkan badannya sambil berteriak. Merasa tidak percaya apa yang telah didengar dari mulut sang suami. "Mana anakku! Aku ingin bertemu dengan anakku!" Marsya menangis sambil berteriak dan ingi
Reval menggelengkan kepalanya karena merasa tidak percaya sang istri ingin berpisah dengannya. "Kamu benar-benar sangat membenciku, aku tidak mau berpisah denganmu, Marsya Anastasya." Reval berbicara dalam hati masih berdiri di depan pintu dan kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ketika Reval akan berangkat menemui sang istri, dia begitu antusias. Dia berpikir Marsya tidak akan marah kembali kepada dia. Dia tahu Marsya seperti apa, Marsya tidak akan pernah lama jika marah. Namun, kenyataannya apa yang dia dengar dari mulut Marsya membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Tuan Reval, kenapa Anda berdiri di sini?" tanya suster secara tiba-tiba, suster tersebut memang akan masuk ke ruangan Marsya. "Suster!" kaget Reval, "Suster mau masuk?" tanya Reval lalu mengambil bunga krisan yang tadi jatuh."Iya, Tuan.""Kalau begitu titip ini untuk istriku. Kebetulan aku mendadak ada perlu." Reval menyerahkan bunga krisan kepada suster. Suste
"Apa-apaan ini!" Reval menatap tajam wajah Pak Bowo. Farhan yang sedang berada di belakang Reval pun merasa kesal melihat tingkah Pak Bowo seperti itu. Pak Bowo terhentak kaget ketika mendengar suara Reval. Dia langsung menurunkan kakinya dan mempercepat mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Pak Bowo langsung berdiri dan menundukkan kepalanya. "Tuan Reval. Maaf saya benar-benar tidak mendengar kedatangan, Tuan," ucap Pak Bowo. Reval menyunggingkan senyumnya setelah mendengar ucapan Pak Bowo. "Mana istriku?" Reval mengalihkan pandangannya ke arah Kasur. "Marsya sedang berada di taman bersama istri saya, Tuan," jawab Pak Bowo. Reval langsung meninggalkan Pak Bowo setelah mendengar jawaban dari Pak Bowo. Pak Bowo langsung mengerutkan keningnya sambil memperhatikan Reval berjalan ke arah luar dan berbicara dalam hati. "Kalau dia bukan orang berpengaruh sudah aku hajar dia. Gini-gini juga saya tuh, mertuamu. Tidak ad
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t