“Kayaknya aku nyerah aja deh, Mbak. Udah lebih seminggu jualan tapi kueku sering bersisa. Sepertinya cita rasanya masih belum bisa memuaskan pembeli, deh. Yang ada hutangku malah makin banyak,” keluhku pagi ini pada Mbak Jum.“Yoh, masak baru seminggu jalan udah mau nyerah aja,” timpalnya disela menyusun sayuran yang baru pulang dari pasar.“Yah gimana lagi, Mbak. Jangankan berharap untung, balik modal aja enggak. Aku takut nggak sanggup bayar hutangku nanti.”Terlalu dini kalau aku bilang hampir putus asa. Namun, begitulah kenyataannya. Aku hilang semangat untuk melanjutkan ketika kue yang kubuat selalu bersisa setiap hari.“Nggak perlu dipikirkan lah kalau masalah hutang. Kan aku nggak minta, Mbak Sel.”“Aku yang segan, Mbak. Tiap hari ambil bahan tapi nggak pernah bayar,” ujarku masih dengan sikap pesimis.“Semua orang yang jualan juga pernah merasakan seperti Mbak Sel, nggak langsung laris jualannya. Asal Mbak Selvi tau aja, itu toko-toko besar yang jualannya bejibun mereka
“Papa ....” Ayuni terlepas dari genggamanku. Dia berlari pada sosok yang barusan menegurku.Mas Agus ternyata ada di warung Mbak Jum bersama dengan beberapa orang rekan kerjanya.Berbeda dengan Ayuni yang kegirangan bertemu papanya, jantungku malah hampir copot rasanya ketika melihat Mas Agus. Apalagi dia melihatku menenteng kantong plastik yang berisi kue jualanku.“Pagi Ayuni ... cantik bener pagi ini.” Mbak Jum ikut menyapa. Suaranya yang girang memecah ketegangan yang sempat tercipta. Ayuni langsung semringah mendengar ada yang memujinya. Dia tersenyum di samping Mas Agus.“Kamu belum berangkat ke pabrik, Mas?” tanyaku gugup. Berusaha menghilangkan debaran jantung yang bertalu, wajahku mungkin sudah pucat sekarang.Tanpa menjawab, Mas Agus justru memperhatikan kantong besar di tanganku.“Aku tanya kamu bawa apa itu?” Mas Agus justru bertanya balik dengan berkacak pinggang sambil menatapku garang. Dia tidak peduli dengan keberadaan rekan kerjanya yang menyaksikan kemarah
Usaha jualan kueku perlahan mulai memperlihatkan hasil. Apalagi semenjak Mbak Atun memesan dalam jumlah cukup banyak untuk acara yasinan di rumahnya minggu kemarin. Kueku mendapat promo gratis dari mulut ke mulut melalui ibu-ibu yang datang yasinan ke rumahnya. Pesanan pun mulai berdatangan, belum banyak memang, tetapi cukup membuat semangatku menggebu setiap hari.Setidaknya berguna untuk menghilangkan rasa putus asa yang sebelumnya dominan.“Ciee yang udah mulai bersemangat jualannya,” ujar Mbak Jum menggodaku ketika aku datang dengan wajah semringah. Tanganku menenteng satu kantong besar berisi kue.“Alhamdulillah, berkat semangat yang selalu Mbak Jum tularkan, aku nggak jadi terhenti di tengah jalan.” Sadar diri jika selama ini Mbak Jum lah yang berperan penting untuk membuatku tetap bertahan.“Aku ikut senang lihat kue Mbak Selvi mulai banyak peminatnya.” Ucapan Mbak Jum terdengar tulus. Kebaikan tetanggaku ini akan selalu kuingat sampai kapan pun. Dia yang selalu ada unt
“Mana kue yang kamu buat tadi? Apa cuma tinggal segini?” Mas Agus mengangkat piring berisi bolu yang tinggal sepotong.“Iya, Mas,” jawabku enteng tanpa menoleh padanya. Aku sedang menggoreng ayam, mau memasak ayam saus padang untuk makan siang ini.Mentang-mentang hari minggu, Mas Agus sengaja bangun kesiangan. Begitu pulang subuh tadi dia langsung tertidur.“Terus yang banyak tadi kamu ke manain?” tanyanya curiga.“Itu... Aku membuat pesanan orang, Mas.” Mau tak mau aku harus jujur. Lambat laun pun toh akan ketahuan juga.“Siapa?” “Bu Anggi, mau syukuran anaknya,” ujarku berterus terang.“Dari siapa dia tau kamu pandai membuat kue?” Mas Agus masih terus menanyaiku penuh selidik. Sekilas kuperhatikan dia menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi meja makan. Dengan wajah kusut bangun tidur, Mas Agus langsung melahap sepotong bolu yang tersisa.Sebenarnya tadi ada beberapa potong yang aku sisihkan, tapi sudah habis dimakan Rafni dan Ayuni. Mana tega aku melarang mereka memakannya.“N
‘Astagfirullahal’adzim. Baru juga datang, tapi ucapannya sudah menyakiti hati. Anak dan emak sama saja ternyata, sama-sama berubah karena uang,' batinku merasa tersinggung dengan ucapan Emak.Ingin kujawab jika apa yang aku makan kini bukan lagi berasal dari uang pemberian Mas Agus, melainkan dari usahaku sendiri. Namun, aku tidak ingin menyakiti hati orang keduaku ini. Biar bagaimana pun, orang tua Mas Agus adalah orang tuaku juga semenjak aku menyerahkan diri menjadi istrinya.“Maaf, Mak. Aku belum makan dari pagi, jadi sempatkan makan dulu sebelum kalian datang. Bukannya Emak sudah diajak Mas Agus makan di luar?” ucapku berusaha bersikap tenang. Kutarik garis mulutku membentuk senyuman canggung.“Halah, palingan juga itu makan ke berapa kalinya dari pagi. Seneng kan kamu makan puas dari memeras anakku?” Sinis Emak menatapku.Ya, Allah. Menghadapi satu Mas Agus saja sudah hampir membuatku senewen, kini datang satu lagi yang ucapannya tak kalah pedas dibanding Mas Agus. Ada masalah
“Ini tambahan uang belanja bulan ini.” Setumpuk uang diletakkan Mas Agus di sampingku yang sedang mengulek cabe.Mungkin karena terlalu fokus pada ulekan di depanku, aku tidak menyadari derap langkahnya yang mendekat. Emak tidak suka cabe yang dihaluskan blender seperti yang sering aku lakukan, maka selama emak di sini aku harus sabar menghaluskan cabe dengan tangan.“Besok beli semua lauk kesukaan emak ke pasar. Jangan sampai emak nggak betah tinggal bersama kita,” ujar Mas Agus lagi menjelaskan kegunaan uang yang dia berikan. Sekilas aku menoleh pada tumpukan uang yang barusan diletakkan Mas Agus. Jumlahnya aku rasa hampir sama banyak dengan jatah yang dia berikan awal bulan kemarin.Bukannya senang, hatiku justru kian perih rasanya. Seperti ditetesi cuka pada luka yang menganga. Baru kemarin dia meminjam uang karena alasan pegangannya habis. Dan sekarang, dia malah menambah jatah belanjaku demi bisa menyenangi emak. Memang tidak salah sebagai bentuk pengabdian seorang anak, tap
Aku seperti menjadi orang asing dalam keluarga sendiri. Ketika aku memutuskan untuk ikut berbaur dengan mereka di ruang tengah, keberadaanku seperti tidak di anggap. Emak sibuk berbincang dengan Mas Agus tanpa membawaku ikut serta.Sementara anak-anakku diajak bermain oleh dua ponakan Mas Agus. Mereka seperti sengaja mengabaikanku.“Benar-benar nggak nyaman rasanya,” gumamku bicara sendiri.Dari pada terabaikan sendiri, aku memilih untuk bermain ponsel. Namun, aku tetap ikut duduk bersama mereka. Tidak sopan rasanya jika aku melipir ke kamar, padahal sekujur badan terasa remuk karena seharian hilir mudik di dapur. Hanya aku sendiri yang memasak untuk makan kami semua. Padahal Vely, ponakan Mas Agus itu sudah berusia 16 tahun. Seharusnya sudah tahu pekerjaan rumah dan sadar diri jika sedang bertamu ke rumah orang. Setidaknya ikut membantu lah meringankan pekerjaanku. Lah, ini seharian sibuk dengan ponselnya. Jika Mas Agus sudah pulang baru dia melupakan ponselnya dan ikut bermain be
“Gus, Emak mau pulang besok,” ucap Emak memecah senyap ketika kami sedang sarapan.“Kenapa mendadak ingin pulang, Mak? Baru juga dua minggu di sini.” Mas Agus mendelik curiga padaku. Mungkin dia mengira emaknya itu ingin pulang karena diriku.“Emak mulai tidak betah di sini. Lebih enak di rumah sendiri, lagi pula bebek dan kambing tidak ada yang jagain di sana kalau ditinggal lama,” ujar Emak mengutarakan alasannya.“Apa karena sikap Selvi, Emak nggak betah di sini?” tebak Mas Agus kembali melayangkan tatapan curiga ke arahku.“Mas!” Sontak saja aku protes. Sebenci apa pun aku pada emak karena perubahan sikapnya, tapi aku tidak pernah membalas sikapnya. Aku masih tahu diri, takut kualat jika melawan orang tua.Meski tidak bisa dipungkiri, aku tentu senang mendengar keinginan emak yang ingin segera hengkang dari rumahku. Capek lama-lama menghadapi kenyinyirannya.“Emak hanya ingin pulang saja. Lagi pula, Vely juga akan segera mendaftar ke SMA. Jika terlalu lama di sini, ponakanmu ini
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan