“Rafni! Jangan tidak sopan begitu, dia adalah nenekmu!” hardik Mas Agus memarahi putri sulung kami.“Kamu didik lah anakmu itu baik Gus. Masih kecil tapi sudah kurang ajar, mau jadi apa dia besar nanti.” Emak ikut memarahi Rafni.“Begini akibatnya kalau anak salah asuhan. Tidak tahu sopan santun terhadap orang tua. Kamu masih bilang capek mengurus anak di rumah? Mendidiknya supaya melawan pada orang tua begini yang kamu maksud kan?” Mas Agus berbalik memarahiku. Matanya menatap nyalang padaku, seakan mampu membunuhku dengan tatapannya itu.Sementara aku masih syok mendengar Rafni berani bicara seperti itu pada neneknya. Memang sebelumnya aku sudah pernah melihat dia meneriaki papanya, tapi tidak menyangka jika Rafni juga berani memarahi neneknya.“Papa dan nenek sama kurang ajarnya. Suka memarahi mama, padahal mama tidak melakukan kesalahan,” cecar Rafni kembali meninggikan suaranya, dia tidak gentar melihat kemarahan papanya.“Rafni ....”Mas Agus segera berdiri, bersiap melayangkan
“Astaga! Memang dasar nenek-nenek mata duitan. Semua mau diembatnya,” umpat Mbak Jum kesal.Aku pun tak kalah kesal mendengarnya. Tak puaskah dengan uang pemberian Mas Agus yang diambilnya?“Buruan pulang, Mbak Sel. Selamat kan peralatan tapertupermu,” desak Mbak Jum tak sabar. “Mau aku bantuin memarahi nenek peot itu, nggak?” sambungnya menawarkan diri.“Nggak usah, Mbak Jum. Aku nggak mau menambah masalahku dengan mereka. Ini aja aku belum bertegur sapa dengan emak,” ujarku mencegah Mbak Jum untuk ikut campur. Aku merasa masih sanggup menghadapi mereka.Rafni berdiri dengan napas terengah di depanku. Dia sepertinya menghabiskan seluruh tenaganya untuk sampai ke sini. Pantas aku tidak melihatnya wara wiri di dekat warung Mbak Jum bersama Ayuni. Ternyata dia kembali ke rumah untuk mengintip neneknya. Padahal tadi dia ikut serta denganku ke warung Mbak Jum. “Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, Mbak,” ucapku pamit yang langsung dibalas anggukan oleh Mbak Jum.“Sebaiknya kamu tetap di
“Gus, istrimu itu baik banget, deh. Liat nih, semua barang-barangnya dia berikan pada Emak.” Baru saja Mas Agus menghempaskan tubuhnya di sofa ruang depan, emak sudah mengadu lebih dulu.Putranya yang baru pulang kerja itu tidak begitu menghiraukan ucapan emaknya. Mas Agus pun belum sadar jika lemariku sudah kosong.Berbeda saat berbicara dengan Mas Agus yang begitu lembut, Mak barubah ketus ketika berbicara denganku. “Awas ya kalau kau menjelek-jelekkan Emak pada Agus,” ucapnya mengancamku.“Nggak dijelek-jelekkan pun Emak sudah jelek, bukan di mata Mas Agus melainkan di mata semua orang,” gumamku berbisik. Beruntung emak yang mendekati usia lanjut itu tidak mendengar ucapanku, mungkin pendengarannya pun sudah mulai berkurang.Aku teringat dengan ekspresi Mbak Jum yang begitu jijik terhadap emak ketika menceritakan kelakuan mertuaku itu saat berada di warungnya.“Parah banget kelakuan mertuamu, Mbak sel. Sama busuknya kayak Agus. Memang benar kata orang, buah jatuh tidak jauh dari
“Mulai lagi, baru juga aku pulang. Tapi kamu sudah mau ngajak berantem. Emak pun belum meninggalkan Pulau Sumatera ini tapi kamu sudah membawa-bawa namanya untuk menutupi kelakuanmu,” ujar Mas Agus dengan setengah terpejam. Aku yakin dia ingin marah padaku, tapi tubuhnya seperti tidak mau diajak kompromi, harus segera diistirahatkan. Dia bahkan sudah terlelap sebelum mendengar balasanku.“Jika kamu tidak percaya, ya sudah. Tapi memang itu kenyataannya. Uangnya nggak ada sama aku, kalau Mas tetap mau silakan minta sama emakmu.”Aku seperti berbicara sendiri ketika mata Mas Agus sudah tertutup sepenuhnya.“Habis ngapain sih dia? Sampai kecapean banget gitu?” gumamku heran melihat Mas Agus cepat sekali tertidur.Hari itu aku terlepas dari kemarahan Mas Agus. Dia bahkan tidak lagi mengungkit masalah jatah belanja tambahan itu.***Semenjak kecil aku tidak pernah berjuang. Boleh dikatakan begitu, karena aku terbiasa menerima dari orang tuaku yang sudah berada. Apa pun yang aku inginkan sud
“Lagi ngomongin apa, nih? Seru banget keknya sampe tertawa kompak gitu. Tapi kenapa pas aku datang kalian mendadak berhenti tertawa?” Yuni melangkah masuk ke warung Mbak Jum, dia menatap kami satu persatu curiga.Aku juga sedikit terkejut mendengar ucapan Tika barusan. Memang sebelumnya aku sempat curiga pada Yuni tapi sudah kutepis kecurigaan itu. Mana mungkin wanita berkelas seperti Yuni mau menjadi perempuan perusak rumah tangga orang. Dia bisa mendapatkan bujangan yang jauh lebih baik dari bekas pakai orang.Selain itu, aku kira Tika sama sepertiku yang jarang berkumpul dengan ibu-ibu komplek, jadi kurang tahu informasi. Ternyata, sekali Tika berbicara langsung mengejutkan aku dan Mbak Jum.“Tau nih, Tika ngelucu aja. Dia minta carikan kerja tuh, Mbak Yun,” ujar Mbak Jum membuka suara.“Ngapain kerja, kan sudah ada suami yang memberi nafkah. Aku kalau ada yang nafkahin juga ogah capek-capek kerja,” balas Yuni sambil ikut duduk di sampingku.“Ya kan, Mbak Selvi,” lanjutnya seraya
‘Apa lagi ini?’ batinku.Baru juga aku berharap bisa bernapas lega setelah kepulangan emak, kini datang lagi masalah baru.“Mungkin mereka ada kerjaan bareng, Mbak. Secara kan satu tempat kerja,” ucapku berusaha menghalau pikiran buruk. Foto perempuan yang mirip Yuni di whatsapp Mas Agus kembali membayang di kepalaku.“Tapi aku liatnya mereka datang boncengan berdua ke sana, Mbak Selvi. Terus malamnya baru keluar, itu pun suamimu sudah berganti pakaian dan tampak rapi pula.” Mbak Tisna terus saja mengurai apa yang dilihatnya.Perasaanku semakin tak enak saja. Sejak kapan pula Mas Agus membawa pakaian ganti ketika bekerja. Aku pun selama ini tidak terlalu memperhatikan dirinya, perasaanku dia selalu pulang dengan pakaian yang sama dengan saat dia berangkat.“Entah lah, Mbak. Aku memang sedikit renggang dengannya sekarang. Mungkin saja dia bersenang-senang di sana.” Aku menyerah menutupi hubunganku dengan Mas Agus, toh semua orang di komplek ini juga sudah mengetahui jika aku memang m
“Mbak Selvi, sebaiknya pilih bahan-bahan kue yang mau diambil. Nanti suamimu pulang, dan dia mengetahui usahamu.” Mbak Jum menarik tanganku menjauh dari ibu-ibu yang sedang nongkrong. Seperti sengaja menjauhiku dari Tika.Memang benar aku ingin meremas mulut Tika rasanya, beruntung Mbak Jum segera menjauhiku dari sana.“Jangan dengarkan dia,” ucap Mbak Jum ketika kami sudah berada di dalam warungnya.“Tika ada masalah apa sih sama aku?” dengkusku kesal sambil mendelik ke arah bangku tempat ibu-ibu nongkrong. Tika terang-terangan membelakangiku.“Biasalah dia mulutnya lemes, asal jangan masukin ke hati aja ucapannya.” Mbak Jum mengibaskan tangannya.“Memangnya dia punya bukti kalau Mas Agus selingkuh?” Meski kabar angin sudah sampai ke telingaku, tetap saja dadaku panas mendengar orang lain menuduh suamiku berbuat serong ketika bukti nyatanya belum ada.“Bentar lah, Mbak Jum. Biar aku pastikan dulu sama Tika. Aku nggak mau dia nuduh suamiku sembarangan, gimana kalau suami dia yang ditu
“Nggak sarapan dulu, Mas,” tegurku ketika Mas Agus langsung saja memakai sepatunya di depan pintu.Aku berusaha mengabaikan amarah yang memuncak di dada, demi menjaga perasaan anak-anakku. Di depan mereka aku harus terlihat berbaikan dengan Mas Agus.“Nanti saja sarapan di pabrik. Mas buru-buru, nggak bisa antar Rafni,” timpalnya datar.Melihat Mas Agus yang tidak begitu ramah, aku menahan keinginanku untuk mengajaknya berbicara. Ingin kutanyakan siapa yang telah mencumbunya sehingga meninggalkan bekas di lehernya. “Mas ....” Aku memanggilnya ketika Mas Agus hendak melangkah.“Apa lagi? Nggak ada tambahan jatah belanja! Bersabar aja sampai lusa, puasa dulu kalau perlu,” bentak Mas Agus. Mungkin dia kesal karena aku menghentikan langkahnya.“Hmm, nggak jadi deh. Hati-hati di jalan, kalau boncengin perempuan suruh dia pegangan biar nggak jatoh, jalan ke pabrik kan lumayan jelek.” Padahal bukan itu yang ingin kusampaikan. Aku ingin menyuruh dia untuk menyembunyikan bekas cupang di lehe